Wah, nggak nyangka. Ntar lagi blog ini ulang tahun. Sudah hampir 2 tahun umurnya. Kalo manusia, udah bisa jalan, ngomong dikit2, and udah mulai mengenal orang2. Hmm, kalo analogi utk blog mungkin pengunjungnya jadi makin banyak. Sebenarnya kalo dibandingkan postingan pas kuliah dan pas udah kerja, lebih banyak pas waktu masih kuliah. Mungkin karena banyak waktu luang dan saya bukan mahasiswi yang sibuk2 amat. Hehehe. By the way, i'll write a story. Terinspirasi dari lagu di playlist saya sekarang. Semoga kejadian di dunia nyata nggak se-tragis ini. Cekidot!
***
Surat keputusannya keluar. Aku harus pergi ke Alaska. Sempat shock sewaktu dibilang harus kesana. Perasaanku bercampur-aduk. Dulu sewaktu masih kecil, kadang2 sering bilang ke Papa
begini, “Pa, kalau nanti udah gede, pengen ke Alaska ya. Disana banyak hutan dan pohon pinus, bisa naik kuda sepuasnya.” Dan Papa cuma jawab, “Perkataan adalah doa, semoga Allah mendengarnya. Aminn.”
Masih melihat berkas2 yang berserakan diatas meja. Saat itu langsung meraih handphone dan menelepon Papa. Papa terdengar sangat gembira tapi agak sedih juga karena aku bakalan sangat jauh darinya. Mama juga jadi ikut2an sedih. Padahal aku pergi maksimal 2 tahun. Tapi Mama masih aja sedih dan menyuruh aku pulang dulu ke rumah sebelum benar2 berangkat kesana. Aku setuju. Mungkin aku berangkat ke Alaska dari Singapore aja. Lebih dekat juga dengan kampung.
Kali ini aku meneleponnya, dan seperti biasa, jam segini dia nggak akan mengangkat telepon. Ku tulis pesan singkat, “Call me back. Urgent!”
Sejam kemudian dia meneleponku, “Kenapa, Yank?” Aku bingung mau bilang apa. “Aku mau pulang nih.” Trus dia nanya, “Kapan? Aku lagi diluar kota. Kayaknya nggak bisa jemput.” Aku langsung kecewa. “Belum tau sih. Nanti deh aku kabarin lagi.” Setelah itu dia bilang, “Oh, ya udah. Nanti lagi yah. Dadah!”
Jadinya aku nggak mengabarinya. Mungkin aku udah bête duluan kali yah. Mama dan Papa yang menjemputku di bandara. Aku peluk mereka se-erat mungkin bahkan sampai menangis. Baru nyadar, sejak SMA aku udah tidak berada disamping mereka. Kali ini aku harus berada benar2 jauuuh dari mereka. Aku juga bertemu dengan Tommy di bandara, dan kita sama2 kaget. “Kok ada disini? Nggak dijemput sama dia ya?” Aku malah heran. “Bukannya dia lagi ada di luar kota?” Tommy jawab, “Udah balik kok semalem. Emangnya nggak ngasih tau?” Aku cuma tersenyum.
Sampai di rumah, aku pinjam mobil Papa dan meluncur ke rumahnya. Mobilnya nggak ada. Jangan2 dia masih kerja. Tiba2 dia datang. Semula aku ingin langsung turun dari mobil dan menghampirinya. Tapi dia bersama dengan seorang cewek. Dia keluar dari mobil dengan terburu2 dan masuk rumah. Mungkin kaca film mobilku terlalu hitam sampai dia nggak ngeh kalo aku parkir pas di depan rumahnya. Aku telpon handphonenya dan aku melihat cewek itu mengangkat handphone-nya tapi nggak dijawab. Dia keluar lagi dari rumah, masuk mobil, dan langsung pergi. Aku shock! Masa’ dia nggak tanda sama mobilku?? Dan dia sama sekali nggak lihat handphonenya.
Aku ikuti dia. Dia pergi ke sebuah rumah. Dia dan cewek itu turun. Sepertinya ada orang meninggal. Aku jadi merasa aneh karena nggak turun. Nggak nyampe’ 15 menit, dia udah keluar lagi dari rumah itu. Aku seperti pengintai deh. Aku ikuti lagi kemana dia pergi. Wah, kali ini dia datang ke acara pernikahan. Duh, aku mulai lapar. Aku turun dari mobil dan ikut2an masuk ke gedung tempat pesta berlangsung. Untung aja aku selalu menyediakan make-up kit komplit di tas. Jadinya bisa langsung dandan ala pesta.
Aku melihatnya bersama cewek itu. Bersalaman dengan banyak orang dan pasti semua mengira itu adalah pasangannya. Aku baru ngeh, ternyata ini adalah pesta salah satu temen SMA-ku dan banyak sekali teman2ku hadir. Semua surprise melihatku di pesta itu dan aku masih tidak mau terlalu menarik perhatian orang2. Aku nggak mau orang2 tau kalo aku sedang mengintai, mengintai dia. Aku tidak terlalu banyak ngobrol, hanya menikmati hidangan.
Tiba2 cewek itu naek ke atas panggung. Seperti acara pernikahan biasanya, pasti pengunjung sering diminta untuk menyanyikan sebuah lagu.
ku menunggu, ku menunggu kau putus dengan kekasihmu
tak akan ku ganggu kau dengan kekasihmu
ku kan selalu di sini untuk menunggumu
cinta itu ku berharap kau kelak kan cintai aku
saat kau telah tak bersama kekasihmu
ku lakukan semua agar kau cintaiku
haruskah ku bilang cinta
hati senang namun bimbang
ada cemburu juga rindu
ku tetap menunggu
haruskah ku bilang cinta
hati senang namun bimbang
dan kau sudah ada yang punya
ku tetap menunggu
Rossa – Ku menunggu
Aku langsung terbelalak. Suaranya sebening embun. Semua tamu sampe memberikan applause meriah, termasuk dia. Tapi, apa maksud cewek itu nyanyi seperti itu? Matanya malah nggak lepas memandang dia. Hatiku mulai kacau. Aku menarik lengan dia. Dia kaget setengah mati melihatku. “Kamu? Ada disini?” Mataku berkaca2. Aku melihat ke panggung lagi dan cewek itu kembali menyanyikan lagu kedua.
ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
mencoba mencari celah dalam hatimu
aku tahu ku takkan bisa
menjadi seperti yang engkau minta
namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
menjadi seperti yang kau minta
dan aku tahu dia yang bisa
menjadi seperti yang engkau minta
namun selama aku bernyawa aku kan mencoba
menjadi seperti yang kau minta
Seperti Yang Kau Minta - Chrisye
“Kenapa dia nyanyi lagu itu?” Aku menahan supaya nggak nangis dan aku agak mengecilkan suara. “Aku ngeliat kamu sama dia terus dari tadi.” Dia mengalihkan pembicaraan. “Kamu nyampe hari ini yah?” Aku mengangguk. “Dalam rangka apa kamu pulang tiba2?” Cewek itu turun dari panggung dan mendekati kami. “Suaraku bagus kann??” Dia tersenyum. Aku menatap cewek itu dan cewek itu tersenyum padaku. “Temanmu ya?” Dia malah bertanya padaku, “Kamu kesini pake’ apa? Mobil?” Aku mengangguk. Dia mengeluarkan kunci mobil dan memberikan pada cewek itu, “Kalo mau pulang pake’ aja mobilku. Aku pergi dulu.” Kemudian dia menarik lenganku, “Kita pulang yuk.”
“Dia bukan siapa2 kok,” katanya tiba2 sambil menyetir mobil. “Mungkin dia memang selalu berada disampingku ketika aku dalam masalah. Langsung mendengar curhatku, membawakanku makanan kalo aku sakit, dan selalu meneleponku setiap hari. Walaupun dia tau aku punya kamu.” Aku terdiam. “Dan hari ini dia mau menemaniku pergi ke acara pernikahan.”
“Aku mau berangkat ke Alaska," kataku berat.
Dia langsung kaget setengah mati. “HAH?”
Aku melanjutkan, “Dan aku pulang kesini karena aku mau pamitan dengan kamu.”
Dia langsung meminggirkan mobil karena takut nggak konsen nyetir. “Berapa lama?”

Aku jawab, “Minimal 6 bulan.”
Matanya langsung berkaca2. Aku nggak pernah melihatnya seperti itu. “Aku nggak bisa terima…”
Aku diam saja.
“Kamu sama aja memberikan cewek itu kesempatan untuk berhasil mendapatkanku.”
Aku masih diam saja.
“Kamu nggak pernah sayang sama aku ‘kan sebenarnya?”
Pertanyaan itu membuat aku seperti disambar petir. Aku langsung nangis.
“Kamu lebih milih kerjaan. Aku sibuk, kamu sibuk. Sekarang kamu pasti seneng banget ‘kan dikirim ke Alaska?”
“Itu mimpiku dari kecil. Baru kali ini aku punya kesempatan untuk mewujudkannya.”
Dia mendengus. “Kita udah jarang banget ketemu dan jarang bicara. Bagaimana kalau aku kasih kamu pilihan?”
Aku menatapnya lekat2, begitu juga sebaliknya.
“Berhenti kerja dan berada disini bersamaku, atau bulan depan aku akan mengirimkanmu undangan?”
“Undangan apa?” Air mataku mengalir tambah deras.
“Menurutmu undangan apa?” Dia turun dari mobil. “Until next time!” Lalu berjalan pergi.
Aku terdiam terisak. Aku tidak mengejarnya. Bagaimana aku bisa memilih salah satu dari hal itu. Aku butuh uang dan cinta dia. Sampai sekarang aku masih berpikir. Mana mungkin aku tahan melihat undangan darinya, melihat semua foto2 pernikahannya di facebook, atau bahkan 2 tahun kemudian, aku melihat anaknya. Andai aku bisa memilih? Bagaimana menurut kalian?