Mei 09, 2015

Kangen Ayah

Sampai tanggal hari ini, sudah 72 hari kepergian Ayah. Sudah 72 hari juga saya tidak pernah mendengarkan suara Ayah lagi, tidak bisa bercerita banyak hal, tidak bisa mengirimi oleh-oleh, atau tidak bisa lagi memaksa Ayah untuk datang menjenguk anaknya di Jakarta.  Rasanya sangat sedih harus menerima kenyataan kalau tidak akan melihat Ayah lagi selama-lamanya. Tidak akan pernah lagi…

Kalian tau, postingan seperti ini adalah hal yang paling berat buat saya. Menulisnya pun dengan hampir nggak kuat menahan sedih. Udah 2 bulan lebih rasanya hati saya terlalu hampa. Kayaknya kalau putus dari pacar nggak sesakit ini deh, padahal dulu nangis juga 2 hari. Sewaktu tsunami Aceh juga nggak sesedih ini, padahal dulu sangat banyak orang meninggal. Mungkin ini rasanya separuh jiwa hilang. Dimana biasanya ada Ayah tempat saya berbagi urusan kerjaan, tempat minta ijin kalau mau ke luar kota bahkan keluar negri, tempat merasa sangat terlindungi dan nggak akan pernah mengkhianati saya, sekarang udah nggak ada lagi. Apalagi, bulan depan udah bulan Ramadhan. Teringat Ayah selalu minta dibikinin Es Timun Serut dan Onde-onde untuk buka puasa. Kangen suara  Ayah ketika mengaji atau memimpin kami shalat berjamaah, kangen senyumnya, kangen nasehatnya, semuanya...

Rasanya selama 72 hari ini otak saya agak nge-hang. Malas ngapa-ngapain, malas mikir, malas kerja, malas juga buka toko makeup, malas nge-blog (walaupun tetap posting), malas mikirin tujuan liburan saya selanjutnya, bahkan malas memikirkan hidup saya sendiri. Tapi semenjak Mama datang sebulan yang lalu dan menginap lama di Jakarta, barulah semangat mulai datang lagi. Jadi pengen beli modem internet baru untuk ngeblog lagi (untuk melengkapi cerita postingan sebelumnya yang saya tulis alakadarnya karena masih malas.) Dapat rejeki juga karena teman baik saya meminjamkan modem Bolt.

Karena internet kenceng (walaupun sering banget putus), saya jadi mulai buka toko lagi dan mulai browsing destinasi jalan-jalan lagi. Sebenarnya rencana saya dan keluarga mau ke Shanghai bulan November (sudah beli tiket) dan Ayah ikut. Nah, setiap melihat nama Ayah tertera di tiket pesawat, saya jadi malas lagi. Langsung nggak mau browsing lagi dan terdiam larut dalam kesedihan. Seharusnya nggak boleh seperti ini, tapi memang hati nggak bisa dibohongin. Selalu sedih mengingat Ayah. Jalan kaki ke kantor teringat Ayah, pulang dari Bandung di dalam travel teringat Ayah, ke RS Jakarta teringat Ayah yang menemani saya berobat, apalagi kalau ke kosan abang saya tempat Ayah di sebelum di opname.

Yang nomor satu paling sedih kalau melihat RS Dharmais. Rasa sedih pas Ayah meninggal seolah langsung datang ketika melihat RS ini.  Memang semua dokter sudah bekerja sangat maksimal tapi tidak ada yang mungkin menghindar dari maut. Ayah seolah pergi begitu cepat. Padahal baru saja pemeriksaan menyeluruh ke seluruh tubuh selesai dilakukan, belum sampai tahap pengobatan, tapi Ayah sudah pergi. Pengen menulis suasana Rumah Sakit hebat ini, hanya saja saya masih sedih. Masih teringat kamar 409 tempat Ayah dirawat. Masih teringat juga sama pasien-pasien disana. Ya Allah, sembuhkan mereka.
Miss U
Sudah cukup deh nulisnya. Menulis hal ini membuat air mata terus mengalir. “Papa…. Tia kangen!”

2 comments:

Claude C Kenni mengatakan...

Baca postingannya bikin sedih...hiks...

Death leaves a heartache no one can heal, love leaves a memory no one can steal

Mila Said mengatakan...

Mut, yang sabar ya *hugs

Follow me

My Trip