November 17, 2015

Rahasia Stalking

Cerita ini sebenarnya pernah terjadi dulu sekali. Setelah saya memposting cerita The Detective. Tiba-tiba teringat lagi karena nonton SPY dan Mission Impossible. Kalau dulu saya ceritakan, mungkin agak gawat karena takut ada yang men-stalking saya. Kalau sekarang sih cuek aja, hahaha. Seperti biasa, saya akan menceritakan dengan menambahkan bumbu, karena nggak mungkin 100% saya ceritakan semua. Silahkan menebak-nebak, mana yang asli dan mana yang rekayasa. Selamat membaca :)

***

Aku masih sibuk mengerjakan pekerjaanku di kantor tanpa mempedulikan apa pun. Sebenarnya hari ini aku cuma sok sibuk doang karena sebentar lagi pasti atasanku juga teman-temanku akan bertanya sebuah hal besar padaku. Aku hanya sedang menunggu waktu.

"Mily," sapa atasanku yang bernama Chika. Aku menatap wajahnya. "Kamu tau kalau Ian sudah hilang selama seminggu?"
"Oh, Ian? Pantesan seminggu ini nggak 'ngeliat dia." jawabku cuek. Sebagai informasi, aku dan Ian sudah bertengkar lama, karena masalah pekerjaan, dan Chika tau akan hal itu. Kami sudah tidak mengobrol mungkin selama 2 bulan.
"Tapi ini serius, Mily. Gw sudah menghubungi keluarganya, teman-temannya, tapi nggak ada balasan." Kata teman kerjaku.
Aku masih tetap diam saja.
"Kamu nggak khawatir?" tanya Chika lagi.
Aku menggeleng. "Kenapa harus khawatir? Seharusnya dia baik-baik saja. Trus, kenapa kalian serius banget menceritakan ini kepadaku?"
Tiba-tiba handphone Chika berdering. Dia kaget karena yang menelepon adalah Ian. Chika keluar dari ruangan dan aku masih cuek saja. Sampai kemudian Chika datang menghampiriku. "Tolong jelaskan apa yang terjadi!"
Semua orang di dalam ruangan mulai kebingungan dan mendekati meja kerjaku untuk mencari jawaban.
Aku mendengus. Aku menaikkan bajuku sedikit dan memperlihatkan balutan perban di pinggang sepanjang 15 cm. "Ini karena Ian." kataku.
Chika dan rekan kerjaku yang lain langsung kaget dan semakin tidak mengerti.
"Baiklah aku akan menceritakan apa yang terjadi."

Aku sadar betul ketika Ian menghilang. Dia sering pergi ke Puncak ketika weekend untuk mengurusi resort milik keluarganya. Hari Sabtu itu aku berniat untuk baikan dengannya dan meminta maaf atas semua kesalahanku. Sudah 2 bulan tidak menyapa teman itu rasanya aneh sekali. Tetapi ketika aku meneleponnya, handphonenya tidak aktif. Aku pikir, mungkin dia me-reject teleponku.

Senin tiba, Chika bertanya pada rekan kerjaku kemana Ian. Ditelepon nggak aktif. Semua menyangka masih wajar saja kalau orang nggak masuk sehari. Mungkin saja sedang sakit. Selasa juga begitu, Ian nggak masuk. Rekan yang lain malah mempertanyakan apakah Ian cuti? Tapi Chika meyakinkan kami kalau Ian nggak cuti. Ketika hari Rabu, Chika menelepon ke rumah orang tua Ian dan mereka bilang kalau Ian nggak pulang sejak hari Sabtu. Memang Ian sering nggak pulang dalam waktu lama dan keluarganya nggak khawatir. Chika agak panik dan aku agak cuek. Seolah-olah aku berpikir kalau palingan juga nanti Ian datang sendiri.

Tapi ternyata aku sama sekali nggak bisa cuek. Hari Kamis aku minta ijin kerja hanya setengah hari karena sakit (memang asmaku sedang kambuh). Aku mau mencari tau keberadaan Ian karena seluruh peralatan penunjang pencarian orang ada di rumahku. Sebenarnya aku beberapa kali kerja part time di perusahaan Intel untuk melacak banyak orang atau menyelesaikan sebuah kasus, bersama adikku Zaki. Karena rasa penasaranku yang besar, ilmu pengetahuanku bisa bermanfaat untuk mencari tau dimana seseorang berada, sedangkan Zaki sangat hebat dalam ilmu bela diri. Aku bisa juga bela diri, tapi aku punya asma yang sering kambuh. Kalau sudah menghajar terlalu banyak lawan, asmaku pasti kambuh (pahlawan penyakitan).

Di beberapa komputerku yang ada di rumah, aku punya software untuk mencari orang dan juga peralatan komputer dengan sangat lengkap dengan beberapa layar monitor. Mulai dari melacak melalui social media, jaringan komputer, sinyal handphone, dan juga langsung dari satelit. Aku hanya tinggal mengetak-ngetik sedikit untuk memerintahkan semua software menjalankan fungsinya masing-masing. Biasanya aku menunggunya sambil nonton TV atau menikmati secangkir teh. Karena sekarang aku sedang sakit demam dan asmaku kambuh, aku memilih untuk tiduran dulu sambil menunggu sistemku mencari dimana Ian berada.

Adikku Zaki tiba-tiba masuk ke ruang kerjaku. Padahal tadi aku sudah memastikan kalau Zaki sedang tidak ada di rumah. Adikku heran karena aku sedang menjalankan sistem. "Ada kerjaan intel lagi ya, Kak?" tanyanya sambil menatap ke seluruh layar monitor. Jujur aja aku kaget melihat adikku. Sebenarnya aku ingin mencari Ian sendiri, tanpa perlu Zaki.
"Um, teman kakak hilang udah seminggu." jawabku.
Zaki menatapku, "Tumben banget mau mencari teman sampai sedetail ini?"
Aku hanya diam saja sambil terus tiduran.
Zaki melihat layar monitor kembali, lalu mengatakan, "Udah ketemu, Kak."
Aku bangun dari tidurku dan mendekati monitor. Aku kaget melihat Ian ternyata berada di hutan. Berarti dia beneran diculik. Zaki menekan beberapa tombol untuk mencari tau suasana disana. Aku ikut memperhatikan.
"Kak, hutannya terlalu lembab dan dingin. Asma kakak disana bisa tambah parah."
"Nggak apa-apa. Ntar kakak bawa inhaler deh." Aku membuka lemari, mengambil beberapa jaket tebal, syal, dan beberapa obat-obatan.
"Zaki ikut, Kak!" kata Zaki.
Aku terkejut. "Jangan Zaki, ini urusan kakak!"
"Kalau kakak sehat sih Zaki nggak peduli, tapi ini kakak sakit."
Aku memang sedang sakit. Masa' lagi demam dan sesak napas malah mau menyelamatkan orang lain? Aku menyetujui permintaan Zaki dan mengangguk pelan. Hari itu memang dadaku sangat sesak. Biasanya kalau sudah begini aku sering diopname. Tapi kayaknya memang Ian sedang butuh bantuan. Terpaksa aku menunda kontrol ke dokter.

Adikku mempersiapkan berbagai senjata di mobil dan juga ransel. Takut terjadi sesuatu ketika disana. Aku masuk ke mobil dan kami pun berangkat. Sepanjang jalan aku hanya diam untuk menghemat nafas. Setelah 3 jam perjalanan menggunakan mobil, kami dikepung kabut tebal. Adikku terpaksa harus menyalakan lampu. Semakin ke dalam hutan, semakin tebal kabutnya dan semakin dingin. Kondisi seperti ini membuatku lebih sulit bernafas. Kami memarkir mobil di tempat yang tidak begitu jauh dari sebuah gudang kumuh yang ada di dalam hutan. Menurut radar, Ian berada disitu, dan yang pasti dia tidak sendiri.
Zaki berjalan di depan sambil bersiaga dengan sebuah pistol. Aku mengikutinya. Sayangnya dadaku terlalu sesak. Aku jadi sulit berjalan dan gampang ngos-ngosan. Adikku menendang pintu gudang dan mendapati lebih dari 20 orang dengan bersenjatakan golok, celurit, dan berbagai senjata tajam lainnya. Oh tidak, jumlah mereka banyak sekali. Ada urusan apa Ian dengan orang-orang seperti ini?
"Dimana Ian?" tanyaku.
"Oh, kau mencari anak ingusan itu? Tenang saja, dia belum mati kok." jawab salah satu diantara mereka.
"Kalian hebat bisa menemukan tempat ini."
Aku dan Zaki langsung mengarahkan pistol ke mereka.
"Kalian tidak takut mati?" tanya Zaki sambil mengarahkan pistol.
"Serbu!!!!" Mereka berlarian ke arah aku dan Zaki secara brutal. Kami menembak beberapa diantara mereka tanpa melesat sedikit pun. Sayangnya para musuh jumlahnya terlalu banyak sehingga untuk mengisi peluru pada pistol perlu berlari menghindar. Beberapa kali Zaki melawan mereka dengan tangan kosong, sedangkan aku berlari mencari tempat dimana Ian berada.

Aku menendang dan mendobrak beberapa pintu. Sayangnya aku hanya bisa melakukannya agak perlahan karena dadaku semakin sesak. Sambil terus mengisi peluru di pistolku. Akhirnya aku menemukan Ian. Aku sangat panik melihatnya. Wajahnya penuh darah dan memar. Untung dia masih hidup.
"Ian, lo nggak apa-apa?" tanyaku panik sambil mencoba menyentuh pipi dan kepalanya. Begitu banyak lebam dan darah.
Ian membuka matanya sedikit dan mencoba menatapku. "Akhirnya lo menemukan gw..." katanya lirih. Aku mencoba memotong tali di tangan dan kaki Ian. "Gw tau, lo pasti bakalan 'nyariin gw. Karena lo suka gw 'kan?" Aku kaget, dia masih bisa bercanda dalam situasi seperti ini. Aku berusaha untuk nggak mempedulikan Ian. Aku memapahnya. Tubuh Ian begitu lemah dan memberatkanku. Mana aku tambah sesak napas. Aku berharap saat itu Zaki datang, tapi malah para penjahat yang datang. Aku mempertahankan diriku dari penjahat, sekalian menyeret Ian. 

Ketika aku sedang mengisi peluru pistol lagi, JLEB!! Sebuah pisau menembus pinggangku. Seketika tubuhku membeku. Ian juga terjatuh dari papahanku. Dengan sekuat tenaga aku menarik pelatuk dan menembak penjahat itu. Aku melihat adikku berlari ke arahku dengan sangat khawatir. Aku menyuruhnya membawa Ian terlebih dahulu sementara aku sedang berusaha mencabut pisau dari pinggangku. Aku menyandarkan tubuh ke tembok, lalu menarik pisau dengan perlahan. Aku mengerang karena prosesnya super duper menyakitkan.

Aku tidak menyadari kalau di depanku masih ada penjahat yang sedang mengangkat golok tinggi-tinggi. Aku ketakutan setengah mati ketika dia menyeringai ganas. Aku mengumpulkan tenaga untuk menarik pelatuk pistol tapi sudah tidak kuat lagi. Dada semakin sesak dan darah yang mengalir semakin banyak. Ah, matilah aku!

DORR! Terdengar tembakan. Seketika penjahat dihadapanku jatuh tersungkur dan golok terlepas dari genggamannya. Untung nggak jatuh menimpaku. Zaki berhasil menembaknya tepat sebelum penjahat itu menebasku. Aku menatap adikku dan berusaha tersenyum. Dia mengangkatku dan melarikan aku ke dalam mobil. Setelah mendudukkanku di jok depan mobil, Zaki bergagas membuka bagasi mobil. Antara sadar dan nggak sadar, aku melihat adikku memasangkan oksigen ke hidung dan mulutku. Setelah itu semua gelap.

Aku terbangun dan melihat seluruh ruangan serba putih. Ternyata aku sudah berada di rumah sakit. Oksigen masih terpasang di mulut dan hidungku. Aku melihat perban sepanjang 15 cm menutupi luka tusukan di pinggang. Rasanya masih nyeri, tapi sudah jauh lebih baik.
Zaki menyadari kalau aku sudah bangun.
"Untung Zaki bawa oksigen kemarin. Coba kalau nggak, kakak bisa tewas di mobil."
"Sudah berapa lama kakak pingsan?" tanyaku.
"Jumat dan Sabtu. Berarti 2 hari."
"Senin pagi kakak harus masuk kantor. Kalau nggak, orang kantor akan curiga."
"Zaki udah bilang sama dokter dan katanya memang bisa kok keluar hari minggu malam. Asmanya juga udah stabil dan luka tusukan sudah terjahit dengan rapi."
"Bagaimana dengan Ian?"
"Hmmm.... Mungkin dia masih lama di rumah sakit. Badannya penuh luka lebam dan beberapa patah tulang."
"Jadi, kenapa dia diculik?" tanyaku.
"Ini terkait dengan utang Ayahnya yang belum lunas karena pembangunan resort. Sebenarnya Zaki agak malas mencari tau permasalahan seperti ini. Jadi, jangan tanya lebih jauh ya."

Dengan menggunakan kursi roda, aku menghampiri Ian di kamarnya. Tubuhnya sudah seperti mumi, ditambah lagi kakinya digantung karena patah tulang. Dia di kamar sendiri, tanpa ada yang menemani. Dia juga menyadari kedatanganku. Aku menyuruh Zaki menungguku di luar kamar Ian.
"Terima kasih karena telah menolong gw," katanya.
Aku hanya tersenyum. "Loe parah banget."
"Kalau loe nggak datang setengah jam lagi aja, gw sudah mati."
"Kenapa loe tau kalau gw pasti mencari dimana loe berada?" tanyaku penasaran.
"Sudah gw jawab 'kan disana, karena loe suka gw."
"Darimana loe tau?" 
"Karena gw sering mergokin loe sedang stalking gw. Hahahaha. Jadi walaupun kita berantem, loe pasti tau gw sedang apa dan dimana."
Aku hanya terseyum malu. Tapi bagian ini nggak kuceritakan ke Chika. Biarlah menjadi misteri antara gw dan Ian. Semoga Zaki juga nggak tau.

5 comments:

ade rosiva mengatakan...

Hmmmmmmmmmm =p

Meutia Halida Khairani mengatakan...

jangan baca kakros...

Unknown mengatakan...

Mau donk teknologi intel nya...wkwkwkwkwk

Mr Bubu mengatakan...

hmmmm... kayanya gua pernah denger cerita awal2nya :p :p

zachflazz mengatakan...

saya pelajari format penulisan cerintanya Mbak. secara saya awam banget nih, masih.

Follow me

My Trip