Desember 24, 2015

Dear December Part 3 : My Love

Dear December,
Cinta itu ibarat paku. Jika kita semakin sayang, semakin banyak aral melintang yang dilalui bersama, seolah palu yang menghantam paku, maka semakin dalam paku menancap dan semakin kokoh. Tapi, ketika cinta itu harus pergi atau dipaksa pergi, semakin sulit dan sakit ketika harus ditanggalkan sampai benar-benar lepas.
 
 
 
Mungkin hal ini yang terjadi pada saya. Bulan-bulan akhir di tahun 2015, saya memasuki masa-masa sulit lainnya. Menemukan kenyataan kalau orang yang selama ini saya sayangi, sudah tidak bisa bersama lagi. Orang yang selalu ada disisi saya, bahkan ketika Ayah meninggal, sekarang sudah tidak ada. Saya tidak akan menceritakan keburukan orang di postingan saya, karena bukan tipe saya untuk menuliskan hal yang negatif karena blog ini salah satu media sosial. Saya akan menulis dari sisi saya sendiri. Berat rasanya sudah kurang lebih tiga bulan sama sekali tidak menyapa satu sama lain. Padahal dulu, dia adalah orang yang paling dekat dengan saya.
Kurang lebih 4 tahun saya dan dia menjalani hubungan. Dari mulai tidak ada rasa cinta sama sekali, sampai sayang banget. Menyesuaikan diri dengan kebiasaan masing-masing selama hampir 4 tahun itu sebenarnya nggak gampang. Kita tertawa bareng, ngegosip bareng, nonton, makan, pergi ke berbagai tempat, mencoba hal baru, semuanya sama-sama. Sebelum jadi pacar, kita adalah best friend. Memang pacaran sama best friend itu sangat menyenangkan. Kita bisa menjadi diri sendiri, bisa nyaman bertingkah seperti apa pun, selalu ingin memperhatikannya, dan selalu mengkhawatirkannya. Apalagi pekerjaan kita sama, dimulai dari kantor yang sama, pindah ke kantor yang berbeda, dan berakhir di kantor yang sama pula.

Beberapa kali saya merasa hubungan kami sudah tidak sehat. Memang kita nggak pernah berantem sampai cakar-cakaran. Tapi dalam beberapa kondisi memang sudah tidak memungkinkan. Saya memilih bersabar. Menganggap hal ini mungkin adalah cobaan pacaran. Masih memegang prinsip kalau semakin banyak cobaan, maka semakin kuat hubungan kita. Apalagi kami sudah sering putus nyambung. Makanya saya kebanyakan mencoba cuek, menyibukkan diri dengan beberapa hal, sampai akhirnya saya malah dihantam berita buruk kalau kami memang harus benar-benar putus.
Putus kali ini saya mengambil sikap untuk sama sekali tidak mencari tau tentang dia. Di sisi lain, saya tidak mau dia mencari tau tentang saya. Semua social media dan social texting saya block. Hanya nomor handphonenya saja yang ada di handphone dan di otak saya (terlanjut terhafal). Saya tidak terlalu menceritakan tentang kehidupan saya kepada teman saya yang juga temannya, sekalian mengantisipasi kalau teman saya bercerita padanya tentang saya. Saya juga berharap agar dia tidak tahu lagi tentang saya dan saya tidak perlu tahu lagi tentangnya. Kalau kita sama-sama mau move on, berarti kita harus sama-sama menjaga perasaan satu sama lain untuk move on. Tidak perlu terus diceritakan hal baik yang membuat kita sedih dan bisa jadi balikan lagi. Tidak perlu juga terus menyakiti satu sama lain lagi, karena semakin tersakiti, semakin penasaran, semakin ingin membalas, dan semakin nggak bisa move on. Biarkanlah berjalan apa adanya dan biasa saja, agar kita sama-sama bisa ikhlas dan saling memaafkan.
Saya juga melarang semua teman-teman saya membahas dia. Pernah ada yang kelepasan membahasnya dan mengirim fotonya yang membuat rasa sakit di hati saya menganga lagi. Apalagi fisik saya juga akan bereaksi kalau sakit hati. Ya muntahlah, sakit kepalalah, sakit perutlah, dan lainnya. Alhamdulillah ada adik saya di rumah yang bisa menenangkan, sehingga saya nggak sendirian. Untung juga punya Mama yang super pengertian. Pernah bilang ke Mama kalau saya mendoakan hal buruk agar menimpanya, supaya dia juga bisa merasakan sakit hati yang saya rasakan. Tapi Mama bilang, "Allah paling tau bagaimana harus membalas kebaikan atau keburukan. Allah juga Maha Mengetahui rahasia yang paling rahasia. Jadi nggak usah mendoakan yang buruk-buruk, karena bisa jadi hal yang sedang menimpa kita itu sebenarnya baik ke depannya." Jadilah saya berdoa agar Allah mengampuni dosa saya karena telah berdoa yang buruk-buruk dan berdoa agar Allah mengampuni dosa dia juga. Dengan begitu jadi lebih lega.
Sebenarnya saya juga menginginkan hubungan kami selesai tahun ini dan seharusnya hal itu membuat saya lebih gampang move on. Pada kenyataannya nggak segampang itu bagi saya. Semula saya tetap menjalani kehidupan saya dan sedang menghindar dari kenyataan kalau harus ketemu dia setiap hari. Tapi setiap pergi ke Cafe atau Restaurant baru, punya gosip baru, pergi nonton bioskop, pasti teringat dia. Dulu setiap saya pergi ke Cafe tanpa dia, saya pasti akan menceritakan tentang keunikan Cafe itu dan berjanji padanya untuk suatu hari mengajaknya kesana. Sayangnya sekarang hanya bisa diam saja. Paling terasa ketika menonton film di bioskop yang berseri. Contohnya mungkin Film Hunger Games. Dari film pertama sampai Mocking Jay Part 1, masih menonton dengannya. Rasanya ada yang mengganjal apabila tidak menyelesaikan film dengannya sampai selesai. Apalagi tahun depan tayang Kung Fu Panda dan Captain America. Teringat kami selalu antusias untuk menonton film-film animasi dan superhero di bioskop.
  
Kehilangan dia itu seperti kehilangan teman dekat dan sahabat yang selalu ada dimana pun dan kapan pun. Membahas urusan pekerjaan bersama, menceritakan dan saling menjaga rahasia, mencari ide-ide bisnis, mencari solusi di setiap masalah, makan bareng, masak bareng, belanja bareng, mengantar ke dokter, menemani di saat salah satu diantara kita di opname, saling menunggu pulang kantor, saling membawakan makanan, saling memberikan hadiah, saling menghibur, merasa senang hanya ketika nggak punya duit tapi masih bisa makan Sushi Tei, merencakan jalan-jalan baik dalam dan luar negeri yang sering menguras dompet, mengoleksi ribuan foto berdua, dan lainnya yang nggak bisa disebutkan satu-demi satu.
 


Kalau ada yang berpikir cara untuk berpisah yang paling ampuh adalah menyakiti hati saya yang akan membuat saya benci sama dia dan gampang untuk move on, itu salah besar. Mungkin memang marah, tapi cuma sebentar. Sisanya hanya sedang menahan diri. Karena melihat dia terpuruk, mengulangi lagi kebiasaan buruk yang dulu sempat dia hentikan ketika bersama saya, melihat matanya yang sendu, hal itu jauh lebih menyakitkan lagi. Mau bagaimana pun juga, setelah selama ini bersama, saya adalah orang yang paling mengenal dia. Mungkin lebih dari dia mengenal dirinya sendiri. Bahkan jawaban 'iya' dia saja, saya bisa tau artinya hanya dari intonasi yang dia ucapkan.
 
Allah punya 1000 cara untuk memisahkan dua insan yang tak berjodoh dan memiliki 1000 cara untuk menyatukan dia yang berjodoh. Walaupun kali ini terlihat sakit, terlihat berakhir, tapi kita tidak tau apa yang akan terjadi di depan. Mungkin memang akan terus sakit, mungkin juga memang sudah berakhir. Tapi siapa yang tau? Bahkan hari esok saja masih misteri. Saya sedang sangat berusaha untuk bersabar dan berdoa. Kalau sudah tidak bisa lagi mendekati yang di bumi, masih selalu bisa mendekatkan diri pada Yang di Langit.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Qs. Az Zumar: 10).
“dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. (Qs Al Baqarah: 155).
Anyway, thank you very much www.HJ-STORY.com for the beautiful pictures. They show us how pure, kind, and sweet the love is. They represent all of my feelings now and these months. Me and him used to enjoy the pictures while we were on the train, heading to Jakarta from Bogor in the rainy day and we smiled to each other. The moment i never forget. Even though there are so many people out there thought that by killing the love i felt for him will makes everything better, but love will always there. Waiting and being patience, as your pictures show. Thank you again, with all my heart ♥
Is it possible?
I'm going to Sabang, enjoying beaches, first time without you... 

Desember 21, 2015

Dear December Part 2 : My Home

Dear December,
Dulu ketika masih jadi anak kost, saya selalu menginginkan punya rumah sendiri. Mungkin karena ibu kosan yang super rese' dan anak-anak kos yang nggak mau ngalah. Padahal yang namanya tinggal di rumah orang, ya mau nggak mau saling toleransi dan tenggang rasa dong. Apalagi dulu kosan saya tuh gelap. Ibu kos paling males beli lampu, ntah kenapa? Memang, di daerah Karet Kuningan itu, kosan seharga 1 juta dan sudah AC termasuk murah. Mana ada lagi yang semurah itu sekarang.

Sejak Ayah sakit, kami sekeluarga memutuskan untuk beli rumah. Mungkin supaya lebih gampang untuk melakukan pengobatan Ayah. Sayangnya ketika Ayah meninggal, keinginan itu langsung sirna. Berpikir lebih baik tinggal di kosan aja sampai suatu hari harus menikah. Atau pun setelah menikah, bakalan mencari kosan suami-istri. Bahkan tawaran kerja di luar negri juga menjadi salah satu alasan nggak beli rumah. Hal-hal seperti itu yang membuat saya malas punya rumah baru.

Setelah rapat keluarga, kami memutuskan untuk beli rumah di Jakarta dan sekitarnya. Hitung-hitung investasi. Saya tonton di Bloomberg TV kalau tahun 2018 setelah MRT, LRT, dan kereta cepat ke bandara selesai, semua properti di sekitar jalur kereta bakalan naik berlipat-lipat. Ya udah, akhirnya menyetujui untuk beli rumah yang di dekat jalur kereta. Mulailah saya browsing di berbagai web jual beli rumah, mengontak beberapa agen, dan berkeliling berbagai tempat untuk mencari rumah baru. Alhamdulillah akhirnya dapat rumah juga di bulan Ramadhan. Berharap rumah saya berkah seperti bulan penuh berkah.

Ternyata punya rumah nggak sesepele itu. Awalnya saya percaya aja sama mandor untuk mengurusi rumah dan menambah bangunan bagian belakang. Oke, semua penambahan bangunan selesai dan 'kelihatan' baik-baik saja. Nah, ketika musim hujan seperti sekarang, rumah saya BANJIR! Bukan bocor lagi deh, udah banjir!!! Bahkan langit-langit rumah berderik-derik dan amblas menimpa dapur. Sungguh mengerikan! Sampai suatu malam saya 'nyari tukang untuk membobok saluran air agak air hujan bisa mengalir ke pembuangan. Adik saya sudah keliling komplek untuk mencari tukang dan nggak ada yang tersedia. Semua pada sibuk membangun rumah orang lain. Akhirnya kami mencari tukang melalui kaskus dan langsung datang hari itu juga. Besoknya langsung dikerjain dan hanya dalam 2 hari, bereslah urusan bocor-bocoran. Bahkan ada angin puting beliung pun, alhamdulillah udah nggak bocor.

Masalah selanjutnya adalah, tiba-tiba toren air bocor dan air turun dengan deras ke lantai. Duh, atap udah nggak bocor, eh tetep aja ada air lagi, air lagi, air lagi. Saya panggil tukang sebelah rumah untuk memindahkan saluran pipa dari sumur ke filter air, baru langsung ke kamar mandi. Memang sih udah nggak harus ngepel lagi setiap hari, tapi 'kan saya beli torennya mahalll. Ditambah lagi, mesin pompa air hidup terus-menerus dan boros listrik kalau nggak ada toren. Tiba-tiba saya melihat ada tulisan Garansi 10 Tahun di pinggir toren. Saya telepon mandor yang beli toren dan meminta kwitansi untuk klaim garansi. Akhirnya saya berhasil mendapatkan toren baru, yeay! Saya kira toren 550 Liter tidak akan muat dikeluarin lewat pintu belakang. Ternyata setelah didesak dan dipaksa sedikit, baru deh toren air berhasil dikeluarkan dan yang baru berhasil dimasukkan ke dalam rumah. Sebenarnya tukang awal yang mengurusi toren agak stupid. Masa' toren di taruh di dalam rumah? Seharusnya 'kan diluar. Huff!

Masalah yang kemudian datang lagi setelah toren terpasang dan atap nggak bocor adalah air balik keruh, berbau besi, dan berminyak. OMG! Menurut saya air adalah hal primer. Nggak enak banget ngeliat air yang berwarna kuning kemerahan. Urusan air di rumah saya itu nggak kelar-kelar. Mulai dari nggak ada tukang pantek sumur, air nggak bening, lalu akhirnya air jadi bening, dan balik keruh lagi. Saya panggil teknisi filter air. Sudah 2 kali datang dan media filter udah diganti juga dua kali, tapi teteeeppp aja airnya nggak bening. Duh, jadi malu kalau teman-teman menginap. Apalagi, rumah saya sering dijadikan base camp tempat teman-teman berkumpul. Kan nggak enak banget kalau mereka mau ke wc dan melihat air kuning. Walaupun mereka nggak komentar apa-apa mungkin untuk menjaga perasaan saya, tapi kan saya jadi nggak enak.

Kemarin sempat memanggil tukang kebun untuk menanam rumput. Eh, tukang kebunnya nggak datang. Saya menunggu teknisi filter air juga, eh nggak datang juga. Duh, saya jadi keseringan di PHP-in sama tukang. Walaupun beberapa hari yang lalu ada tukang kebun komplek yang menawarkan diri untuk bersih-bersih halaman rumah saya yang sudah seperti hutan belantara. Saya menyuruh beliau sekalian membuatkan pondasi untuk berkebun sayur-mayur. Jadi halaman rumah saya terbagi dua, perkebunan dan taman bunga.

Begitulah beberapa permasalahan rumah. Buat yang mau beli rumah, silahkan memikirkan matang-matang untuk urusan printilan yang membuat pengeluaran tak terduga. Kebanyang 'kan kalau gaji pas-pasan, eh atap amblas, 'gimana mau bayar tukang?

Desember 16, 2015

Premier Film Bulan Terbelah di Langit Amerika

Kemarin sore, teman saya Anida nge-whatsapp dan ngajakin nonton Premier film Bulan Terbelah di Langit Amerika. Ada dua tiket sisa untuk nonton dan gratis, tis, tis! Wah, tiba-tiba dapat rejeki, masa' ditolak? Apalagi beberapa hari yang lalu, saya menonton wawancara para pemain film ini di .NET TV dan jadi pengen nonton. Langsung aja saya terima tawaran nontong barengnya, sekalian mengajak teman saya nonton juga. 

Acara nonton bareng ini berlokasi di Epicentrum Walk XXI. Ini pertama kalinya saya datang ke Premier film. Saya kira hanya nonton film biasa dimana jadwal nonton saya jam 8 malam dan saya datang jam 6.30 dari kantor. Rencananya sih mau makan malam dulu, baru nonton. Ternyata saya baru tau kalau Premier film itu dihadiri aktris dan aktor yang memerankan filmnya. Saya sempat bingung melihat orang-orang pada dandan dan best dress untuk datang kesini, sedangkan saya masih dengan style ngantor dengan ransel laptop dan sepatu kets. Wah gaya saya kebanting nih. Tau 'gitu paling nggak touch up makeup atau pakai lipstik lagi. Ini malah dengan wajah kucel datang ke acara ini.
Pamer tiket
Kami menukarkan selebaran dengan tiket nonton, kemudian beli cemilan untuk dimakan sambil nonton. Ternyata jadwal nontonnya jam 9 malam. Yahh, tau 'gitu kan bisa makan berat dulu baru masuk. Ada beberapa orang tetap masuk ke Studio 1 dan saya ikut-ikutan masuk. Ternyata penontonnya nyaris penuh. Teman saya sempat duduk di paling depan dan saya juga sempat berbagi kursi (satu kursi di dudukin 2 orang). Ah, daripada nonton nggak nyaman, film juga udah diputar setengahnya, akhirnya kami keluar lagi dan bersabar menunggu jam 9 malam.
Abimana
Selagi menunggu, barulah saya melihat banyak artis bersliweran di bioskop. Kalian bisa minta foto bareng mereka, tapi harus cepet-cepetan. Karena mereka kadang-kadang jalan ke sana sini untuk menyapa teman-temannya sesama artis. Paling enak fotoin Abimana, tapi agak susah minta foto bareng karena dia jalan kesana kemari. Saya melihat Raline Shah, artis yang super tinggi, cantik bangettt, dan kurusss. Apa mungkin badannya model emang begitu kali yah, tinggi dan kurus. Saya melihat Paramita Rusady, Acha, Mona Ratuliu, Al dan El, Hanum Rais dan suaminya Rangga, suaminya Dian Pelangi, beberapa artis sinetron, dan banyak lagi. Banyak juga Selebriti Instagram (SelebGram) yang hadir tadi malam. Beberapa ada yang mukanya beda dengan yang di Instagram. Ada SelebGram yang ketika difoto di IG bagus banget, cantik, tapi aslinya nggak secantik itu, hehehe (bukan sirik lho yahh).
Pak Anies Baswedan
Ketika mendekati jam 9 malam, kami langsung mengantri di depan studio 1. Duh, orang-orang pada berdesak-desakan karena banyak banget reporter TV yang ingin mewawancara orang penting. Semalam saya melihat Pak Amien Rais, lalu Pak Anies Baswedan yang berhasil selfie bersama kami. Walaupun fotonya agak blur, yang penting udah pernah punya foto sama beliau. Hahahaha.

Baiklah, pintu studio 1 dibuka dan penonton masuk dengan agak berdesak-desakan. Mungkin karena kelamaan menunggu dan orang-orang yang mengantri udah rameee banget. Untungnya saya duduk di posisi bagus, jadinya enak banget nontonnya. Ada beberapa penonton yang sudah duduk di kursi, tapi ada panitia penyelenggara menyuruh mereka pindah karena kursi yang mereka duduki udah di tag untuk para artis. Padahal penonton itu 'kan punya tiket. Maunya kalau memang nggak boleh diduduki, ketika penukaran tiket tadi seharusnya nggak dikeluarkan tiket untuk nomor kursi tersebut.

Baiklah, cukup untuk ulasan suasana film Premier. Bagaimana filmnya? Berhubung saya fans beratttt bukunya karena sungguh sangat hebat dan menyentuh, jadi saya menaruh ekspektasi sangat tinggi dengan film ini. Memang saya sudah agak lupa dengan ceritanya tapi masih tau lah inti ceritanya. Saya bagi dua aja ya menjadi nilai plus dan minus.

Minus:
  • Saya kurang suka kisah percintaan Stefan di film ini. Mungkin karena di novel nggak ada. 
  • Cara berpidato Philips Collins pun terlalu lembut dan lambat. Seharusnya agak sedikit lebih tegas karena dia yang menegaskan kalau The world wouldn't be better without Islam.
  • Film ini mengambil lokasi di Amerika. Seharusnya para pemain menggunakan bahasa Inggris secara keseluruhan (jangan setengah bahasa Indonesia, setengah bahasa Inggris) seperti film Habibie dan Ainun dimana Reza Rahadian menggunakan bahasa Jerman full selama di Jerman atau berinteraksi dengan orang Jerman. 
  • Adegan ketika gedung WTC runtuh kurang greget. Padahal di novel, adegan ini klimaksnya.
  • Banyak iklan juga di film ini.
Plus:
  • Kalian akan dimanjakan dengan pemandangan kota New York yang keren, Ground Zero, Central Park, dan berbagai tempat yang benar-benar ingin saya kunjungi jika suatu hari berkesempatan mengunjungi kota keren itu.
  • Para pemain yang berwajah bule' semuanya pas, sangat merepresentasikan warga negara Amerika, seperti Rianti, anaknya Rianti, Philips Collins, dan lainnya. Memang beberapa akting agak dibuat-dibuat, tapi cukup memberikan kesan kalau film ini adalah film luar negri.
  • Acha dan Abimana emang keren deh aktingnya. Terasa banget sewaktu mereka berdua berantem, kalau akting merek keren.


Overall, filmnya nggak begitu menyentuh hati saya. Beberapa adegan klimaks yang seharusnya menyampaikan pesan kalau Dunia tidak akan lebih baik tanpa Islam, agak kurang 'dapet'. Sewaktu baca bukunya, tersampaikan banget jawaban Would the World be Better Without Islam ke pembaca, sampai saya nangis tersedu-sedu. Mungkin karena banyak hal di dalam novel harus dihilangkan untuk kepentingan bersama. Mungkin juga imajinasi pembaca 'kan tanpa batas, jadi kalau mau digambarkan dalam sebuah film ya pasti ada yang tidak sesuai ekspektasi. 

Well, selamat menonton :)

Desember 07, 2015

My Sister Wedding

Happy wedding adikku tersayang Yuni Nadia Kemala Sari.  Adik tersayang, yang biasanya bobo bareng, becanda bareng, berantem bareng, sekarang udah punya suami. Teringat dulu waktu dia putus sama pacarnya, dia telepon saya seraya menangis. Membuat saya ikut menangis juga. Mungkin karena kita memang deket banget. Jadi kalau ada masalah, pasti saling mencari. Teringat sewaktu saya putus juga, selalu nyari dia. Kalau saya menangis, biasa dia ikut menangis juga. Pendengar yang paling baik kalau lagi curhat. Kadang dia kekanak-kanakan, tapi bisa langsung berubah jadi super dewasa kalau sedang menjadi dokter. Ahhh, begitu banyak kenangan bersamanya.
Seharusnya kita resepsi bareng yah. Hiks... hiks...! Nggak apa-apa deh. Walaupun tanpa Papa yang menikahkan, pasti Papa bahagiaaa banget. Tunggu kakak di Aceh awal Januari. Kita berpesta bersama...

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ

Artinya :
Mudah-mudahan Allah memberkahi engkau dalam segala hal (yang baik) dan mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan.

Desember 05, 2015

Dear December Part 1 : My Life

Dear December,
Nggak terasa kita semua sudah berada di penghujung tahun 2015. Walaupun masih ada beberapa minggu lagi sebelum akhirnya resmi menikmati tahun baru 2016. Saya jadi ingin membuat beberapa summary kehidupan selama tahun ini karena menurut saya 2015 adalah tahun super melelahkan. Bukan hanya fisik, tapi juga mental. Bahkan dari awal tahun, pertengahan tahun, sampai akhir tahun, semuanya sangat melelahkan. Saya akan menceritakannya satu persatu dalam beberapa posting karena kalau dalam 1 postingan malah kepanjangan.

Januari 2015 seharusnya menjadi bulan pertama di tahun baru. Masih terasa euphoria tahun baru sepanjang bulan Januari. Apalagi saya dan teman-teman berencana pergi berlibur ke Macau - Shenzhen - Hongkong. Saat itu sangat bahagia. Rasanya hari demi hari menuju tanggal liburan itu kerjaannya hanya memposting counting down the days saja. Membahas itinerary bersama, mencari hotel, membooking tiket pesawat, dan sebagainya saat itu sangat menyenangkan.

Sampai saya mendengar Ayah saya divonis menderita kanker. Seakan hidup langsung terbalik. Semua orang pasti tau pada akhirnya penyakit kanker akan seperti apa. Waktu itu saya berada di kantor. Saya keluar dari gedung dan menangis. Menelepon bos saya untuk mengabari kalau besok saya harus terbang ke Penang seraya menangis terisak. Sebenarnya udah menahan supaya nggak nangis, tapi nggak bisa. Bahkan sewaktu membooking tiket ke Penang di kantor dan bersebelahan dengan teman-teman saya juga sambil meneteskan air mata. Sempat malu pada teman-teman karena saya menangis, tapi mau 'gimana lagi. Rasa sedihnya masih terasa sampai sekarang. Walaupun sudah hampir satu tahun.

Saya langsung terbang ke Penang untuk menjenguk Ayah saya. Biasanya kalau ke luar negri, saya melakukan persiapan sedikit, atau paling nggak saya sudah menukarkan uang. Waktu itu saya ingat, pulang kantor, ngeprint boarding pass, masukin baju ke koper, lalu tidur dan dihantui mimpi buruk sampai-sampai nggak bisa tidur nyenyak. Jam 3 pagi saya ke bandara karena penerbangan jam 6 pagi. Di pesawat, saya ketakutan setengah mati karena turbulensi sangat mengerikan. Mana Air Asia tahun baru kemarin jatuh. Tapi pikiran yang nggak-nggak tentang penyakit Ayah lebih menghantui lagi.
Ayah
Sampai Penang, setelah menukarkan duit di bandara, saya langsung mencari taksi menuju Lam Wah Iee Hospital. Disana saya melihat wajah Ayah sangat sehat. Bahkan tidak terlihat seperti orang sakit. Saya mulai lega dan bercerita banyak hal pada Ayah. Ayah bahkan menyuruh saya berkeliling Penang karena saya baru pertama kali ke Penang dan kebetulan waktu itu Om saya ikut. Akhirnya saya, Mama, dan Om berkeliling Penang sekitar 2 jam, lalu kembali ke rumah sakit. Setelah 3 hari di Penang, dan berdasarkan hasil diskusi keluarga, Ayah dan Mama saya bawa ke Jakarta untuk selanjutnya berobat ke RS Kanker Dharmais.

Saya selalu berusaha hadir setiap Ayah berobat jalan. Saya sangat ingin mengetahui perkembangan penyakit Ayah. Setiap hari saya browsing tentang kanker, membaca puluhan bahkan ratusan artikel tentang kanker, supaya kalau konsultasi dengan dokter bisa nyambung. Semakin saya baca, saya semakin tahu betapa bahaya dan mengerikannya penyakit itu. Sampai sehari sebelum saya berangkat ke Macau, dokter menceritakan kondisi Ayah saya secara detail. Saya syok, langsung nggak mood, sedih, kacau, terpukul, dan semua perasaan lainnya. Dan Ayah masih mengizinkan saya untuk pergi ke Hong Kong karena sayang dengan teman-teman saya. Saya teringat dulu sepulang dari RS Dharmais, saya cerita ke Felix (teman saya) secara detail tentang penyakit kanker karena otak saya sudah kepenuhan. Setelah bercerita, saya pulang ke kosan untuk packing berangkat ke Macau. Mana waktu itu hujan deras, busway nggak ada, dan taksi pun penuh. Terpaksa jalan kaki dari Plaza Semanggi. Hanya bisa berdoa agar Allah menjaga Ayah saya selama saya di luar negeri.

Saya berangkat ke Kuala Lumpur dengan penerbangan paling pagi baru siangnya ke Macau. Teman saya Novi juga pada saat itu sedang mengkhawatirkan ibunya yang sakit. Tapi kami berdua serasa ingin melarikan diri. Ingin bersenang-senang dan tidak mau memikirkan cerita-cerita sedih selama berlibur. Bahkan sama sekali tidak mau membahas tentang keluarga. Hanya fokus pada berlibur saja. Waktu itu perjalanan ke Macau - Shenzhen - Hong Kong sangat menyenangkan. Kami pergi kesana-kemari, mencoba ini itu, dan tertawa lepas dimana pun dan kapan pun. Walaupun saya nggak terlalu menghabiskan uang untuk belanja karena masih mau menyisihkan uang untuk Ayah berobat. Alhamdulillah juga setiap saya bertanya kondisi Ayah, semuanya baik-baik saja. Saya juga sempat menelepon Ayah sewaktu berada di Hong Kong dan Mama bilang kalau Ayah baik-baik saja.
Happy
Sepulang dari Hong Kong, saya diopname di RS Jakarta selama 8 hari karena asma dan terlalu lelah. Salah satu faktor pemicu asma adalah kondisi mental. Mungkin karena banyak pikiran juga. Setelah keluar dari rumah sakit, saya mengantar Ayah saya diopname di RS Dharmais. Semakin hari saya semakin khawatir dengan kondisi Ayah sampai pada tanggal 27 Februari 2015, Ayah pergi meninggalkan kami semua untuk selamanya. Masih teringat di saat-saat terakhir Ayah, saya berada disisinya. Mencoba membangunkannya sementara dokter terus memompa jantungnya. Masih teringat ketika menshalatkannya, mengantar jenazahnya pulang ke Aceh, sampai ke liang kubur, rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Ibu teman saya yang berangkat bersama ke Hong Kong juga meninggal beberapa hari sebelum Ayah. Kondisi mental saya hancur berantakan saat itu. Rasanya nggak mood ngapa-ngapain. Teringat terus pada Ayah bahkan sampai sekarang. Ketika kembali ke Jakarta pun saya merasa hidup saya hambar. Saya sempat berhenti mengurusi toko makeup, malas kerja, malas kemana-mana, dan melakukan apa pun. Kehilangan orang yang paling kita cintai itu sangat menyakitkan, tapi harus diikhlaskan.

Mungkin kalau saya hitung, total kehadiran saya di kantor selama bulan Januari - Maret 2015 hanya beberapa minggu. Memang sangat melelahkan, tapi saya hanya bisa bersabar. Anggap aja ini ujian dari Allah SWT yang harus saya jalani. Ntah berapa banyak air mata ketika mengingat Ayah dan ntah berapa banyak senyuman ketika mengingat liburan ke Macau - Shenzhen - Hong Kong.

Ini baru Part 1, masih ada beberapa part lagi...

Follow me

My Trip