Desember 21, 2015

Dear December Part 2 : My Home

Dear December,
Dulu ketika masih jadi anak kost, saya selalu menginginkan punya rumah sendiri. Mungkin karena ibu kosan yang super rese' dan anak-anak kos yang nggak mau ngalah. Padahal yang namanya tinggal di rumah orang, ya mau nggak mau saling toleransi dan tenggang rasa dong. Apalagi dulu kosan saya tuh gelap. Ibu kos paling males beli lampu, ntah kenapa? Memang, di daerah Karet Kuningan itu, kosan seharga 1 juta dan sudah AC termasuk murah. Mana ada lagi yang semurah itu sekarang.

Sejak Ayah sakit, kami sekeluarga memutuskan untuk beli rumah. Mungkin supaya lebih gampang untuk melakukan pengobatan Ayah. Sayangnya ketika Ayah meninggal, keinginan itu langsung sirna. Berpikir lebih baik tinggal di kosan aja sampai suatu hari harus menikah. Atau pun setelah menikah, bakalan mencari kosan suami-istri. Bahkan tawaran kerja di luar negri juga menjadi salah satu alasan nggak beli rumah. Hal-hal seperti itu yang membuat saya malas punya rumah baru.

Setelah rapat keluarga, kami memutuskan untuk beli rumah di Jakarta dan sekitarnya. Hitung-hitung investasi. Saya tonton di Bloomberg TV kalau tahun 2018 setelah MRT, LRT, dan kereta cepat ke bandara selesai, semua properti di sekitar jalur kereta bakalan naik berlipat-lipat. Ya udah, akhirnya menyetujui untuk beli rumah yang di dekat jalur kereta. Mulailah saya browsing di berbagai web jual beli rumah, mengontak beberapa agen, dan berkeliling berbagai tempat untuk mencari rumah baru. Alhamdulillah akhirnya dapat rumah juga di bulan Ramadhan. Berharap rumah saya berkah seperti bulan penuh berkah.

Ternyata punya rumah nggak sesepele itu. Awalnya saya percaya aja sama mandor untuk mengurusi rumah dan menambah bangunan bagian belakang. Oke, semua penambahan bangunan selesai dan 'kelihatan' baik-baik saja. Nah, ketika musim hujan seperti sekarang, rumah saya BANJIR! Bukan bocor lagi deh, udah banjir!!! Bahkan langit-langit rumah berderik-derik dan amblas menimpa dapur. Sungguh mengerikan! Sampai suatu malam saya 'nyari tukang untuk membobok saluran air agak air hujan bisa mengalir ke pembuangan. Adik saya sudah keliling komplek untuk mencari tukang dan nggak ada yang tersedia. Semua pada sibuk membangun rumah orang lain. Akhirnya kami mencari tukang melalui kaskus dan langsung datang hari itu juga. Besoknya langsung dikerjain dan hanya dalam 2 hari, bereslah urusan bocor-bocoran. Bahkan ada angin puting beliung pun, alhamdulillah udah nggak bocor.

Masalah selanjutnya adalah, tiba-tiba toren air bocor dan air turun dengan deras ke lantai. Duh, atap udah nggak bocor, eh tetep aja ada air lagi, air lagi, air lagi. Saya panggil tukang sebelah rumah untuk memindahkan saluran pipa dari sumur ke filter air, baru langsung ke kamar mandi. Memang sih udah nggak harus ngepel lagi setiap hari, tapi 'kan saya beli torennya mahalll. Ditambah lagi, mesin pompa air hidup terus-menerus dan boros listrik kalau nggak ada toren. Tiba-tiba saya melihat ada tulisan Garansi 10 Tahun di pinggir toren. Saya telepon mandor yang beli toren dan meminta kwitansi untuk klaim garansi. Akhirnya saya berhasil mendapatkan toren baru, yeay! Saya kira toren 550 Liter tidak akan muat dikeluarin lewat pintu belakang. Ternyata setelah didesak dan dipaksa sedikit, baru deh toren air berhasil dikeluarkan dan yang baru berhasil dimasukkan ke dalam rumah. Sebenarnya tukang awal yang mengurusi toren agak stupid. Masa' toren di taruh di dalam rumah? Seharusnya 'kan diluar. Huff!

Masalah yang kemudian datang lagi setelah toren terpasang dan atap nggak bocor adalah air balik keruh, berbau besi, dan berminyak. OMG! Menurut saya air adalah hal primer. Nggak enak banget ngeliat air yang berwarna kuning kemerahan. Urusan air di rumah saya itu nggak kelar-kelar. Mulai dari nggak ada tukang pantek sumur, air nggak bening, lalu akhirnya air jadi bening, dan balik keruh lagi. Saya panggil teknisi filter air. Sudah 2 kali datang dan media filter udah diganti juga dua kali, tapi teteeeppp aja airnya nggak bening. Duh, jadi malu kalau teman-teman menginap. Apalagi, rumah saya sering dijadikan base camp tempat teman-teman berkumpul. Kan nggak enak banget kalau mereka mau ke wc dan melihat air kuning. Walaupun mereka nggak komentar apa-apa mungkin untuk menjaga perasaan saya, tapi kan saya jadi nggak enak.

Kemarin sempat memanggil tukang kebun untuk menanam rumput. Eh, tukang kebunnya nggak datang. Saya menunggu teknisi filter air juga, eh nggak datang juga. Duh, saya jadi keseringan di PHP-in sama tukang. Walaupun beberapa hari yang lalu ada tukang kebun komplek yang menawarkan diri untuk bersih-bersih halaman rumah saya yang sudah seperti hutan belantara. Saya menyuruh beliau sekalian membuatkan pondasi untuk berkebun sayur-mayur. Jadi halaman rumah saya terbagi dua, perkebunan dan taman bunga.

Begitulah beberapa permasalahan rumah. Buat yang mau beli rumah, silahkan memikirkan matang-matang untuk urusan printilan yang membuat pengeluaran tak terduga. Kebanyang 'kan kalau gaji pas-pasan, eh atap amblas, 'gimana mau bayar tukang?

1 comments:

MiawGuk mengatakan...

Di PHP-in Tukang??? Iah mut sama kaya curhatan mama papa.. Yang sabar yaaa.. Semangat!!

Follow me

My Trip