Mei 31, 2016

Sebelum Talkshow & Ketinggalan Pesawat

Hari Selasa tanggal 3 Mei 2016, saya dijadwalkan terbang ke Banda Aceh untuk mengisi Talkshow. Mungkin beberapa dari kalian akan bertanya, kok bisa mengisi Talkshow? Ceritanya begini, saya sedang buka Facebook dan melihat ada yang memposting songket Aceh hasil karya Fitri Aulia yang sangat indah. Mungkin kalian sudah mengenal Fitri Aulia, seorang desainer asal Aceh pemilik brand Kivitz, yang desainnya sangat Sylish dan Syar'i. Berhubung saya memang sedang mencari tahu dan belajar banyak tentang kain (termasuk songket), saya jadi tertarik untuk membeli songket Fitri Aulia. Saya sempat membaca beberapa komen orang di Instagram Fitri Aulia yang bilang mau beli songket karyanya, tapi nggak ada satu pun yang dibalas.

Akhirnya saya komen di Facebook Bang Azhar Ilyas. Saya bilang mau beli songket Fitri Aulia karena bagus banget, terus saya mau belajar motif Aceh untuk memperkaya pengetahuan saya. Saya sudah jalan ke Pekalongan dan Bali hanya untuk mempelajari kain langsung dari para pakar. Kebetulan sekali, Fitri Aulia ternyata berencana datang ke Banda Aceh untuk belajar motif-motif Aceh. Saya juga baru tau kalau ternyata Banda Aceh sedang menggelar acara Festival Kota Kita dalam rangka ulang tahun Banda Aceh ke 811. 

Dari chat di Facebook untuk bertanya tentang kain songket, sampai chat ke Whatsapp. Ternyata Bang Azhar Ilyas ini sering baca blog saya juga. Rencananya memang bakalan ada kopdar blogger di Banda Aceh dan beliau mengundang saya untuk ikut. Saya sih oke-oke saja, selama acaranya di tanggal 4 dan 5 Mei. Selanjutnya saya harus pulang ke Matang untuk bertemu Mama. Di sela-sela kesibukan saya di Bali, saya masih chat via Whatsapp dengan Bang Azhar Ilyas tentang waktu yang tepat untuk bertemu pakar motif, beli songket, dan kopdar blogger. Beliau sampai menelepon saya untuk mencocokkan waktu agar bisa sesuai juga dengan jadwalnya Fitri Aulia. Sampai akhirnya, tercetuslah ide untuk saya jadi pembicara di talkshow.
Awalnya saya bingung, karena saya sendiri nggak tau mau ngomongin apa di talkshow. Ini adalah talkshow saya yang pertama. Saya menyarankan adanya moderator untuk bertanya kepada saya. Sebenarnya peran saya disini hanyalah eksportir, yang menjual hasil kerajinan Indonesia via online marketplace. Kalau disuruh jadi pembicara, saya malah bingung. Saya kemudian teringat kepada abang sepupu saya yang super pintar, futuristik, dan berwawasan luas, bang Arif Arham. Saya bilang semua kronologis cerita kenapa saya bisa jadi pengisi talkshow sampai saya harus ngomong apa. Ternyata memang saya berkonsultasi dengan orang yang tepat, bang Arif bisa menyatukan semua ide di dalam otak saya yang sudah berpencar-pencar menjadi terarah. Thanks bang Arif, you're so smart as always. Pembahasan saya dengan bang Arif di telepon nggak akan saya tulis dulu yah. Nanti aja di postingan selanjutnya, biar penasaran. Hahaha. 2 hari sebelum talkshow, saya mulai mempromosikan acara ini di Path. Seharusnya bisa di semua media sosial, tapi posternya belum selesai.

Setelah pulang dari Bali di hari senin, jadwal saya berangkat ke Aceh adalah hari Selasa jam 17:25. Poster talkshow baru selesai sehari sebelum acara dan saya akhirnya bisa mempostingnya di seluruh media sosial. Sebenarnya mempromosikan sebuat event sehari sebelum acara secara mendadak itu biasanya kurang efektif. Tapi mau bagaimana lagi, saya juga termasuk narasumber dadakan, hahaha. Sebelum ke Aceh, saya beberes rumah dulu dan menyelesaikan listing Fulfillment By Amazon (FBA). Ternyata barang yang harus saya listing banyak banget dan adik saya juga sedang pergi meeting dengan temannya sesama seller Amazon. Saya kerjain semua sendirian sampai adik pulang. Kami makan siang sebentar, lalu melanjutkan listing. Sekitar jam 13.30, barang FBA selesai di packing, kami pun mandi. Kami lalu memesan Uber ke Bandara. Sebelumnya, kami ke kantor pos yang di dekat komplek. Ternyata pengiriman luar negeri hanya bisa dilakukan di kantor pos pusat Depok. Terpaksa kesana dulu, mana jalan macet, waktu sudah menunjukkan pukul 14.30, dan saya mulai panik.

Yang sialnya lagi, kantor pos pusat Depok antrinya panjanggg banget. OMG! Saya udah deg-degan, nggak bisa ngomong, takut ketinggalan pesawat. Saya baru dapat antrian pukul 15.00 dan lumayan lama juga prosesnya karena pengiriman ke luar negeri. Untung ibu petugas kantor pos baek banget dan sangat membantu kami. Pokoknya, jam 15.30 baru keluar dari kantor pos. Pikiran saya langsung kacau melihat Google Maps dimana semua rute jalan berwarna merah yang menandakan kalau seluruh Jakarta macet parah. Perkiraan tiba di bandara adalah pukul 17.00 dan seharusnya konter cek in udah tutup. Tapi kami tetap berusaha jalan dulu. Menerobos macetnya ibukota. Mana pas ditengah jalan diberhentikan polisi karena plat mobil Uber agak berbeda dari yang biasanya kata pak Polisi. Meskipun urusan di Polisi cepat, saya tetap was-was. Khawatir banget sampai-sampai nggak mau ngobrol sama sekali sama adik saya. 

Kami tiba di Bandara pukul 17:15 dan pesawat udah boarding. Saya terdiam, rasanya pengen nangis, baru kali ini saya ketinggalan pesawat. Adik saya berusaha untuk tetap bisa cek in, tapi hasilnya nihil. Bahkan udah datang ke customer service juga tetap nggak bisa lagi. Yang anehnya, banyak orang yang ketinggalan pesawat hari itu. Ada sekitar 10 orang yang nggak bisa boarding dan alasan mereka semua sama, yaitu Jakarta macet parah. Sempat meminta tolong untuk booking pesawat Batik Air besok pagi di customer service agar dapat diskon 10%, tapi ternyata nggak bisa diskon. Kecuali bookingnya Lion Air juga. Mau bagaimana lagi, kami keluar dari tempat cek in, lalu mencari makan malam. 

Di Resto, adik saya membooking pesawat Batik Air menggunakan BCA Klikpay. Sialnya, sekali BCA Klikpay gagal bayar (adik saya lupa password), booking-an tiketnya nggak bisa di proses lagi. Padahal kebetulan banget dapat Batik Air hanya Rp. 1,2 juta ke Banda Aceh. Alhasil, kami harus booking ulang dan dapat harga Rp. 1,7 juta. Duh, saya stress lagi karena dapat tiket yang lumayan mahal. Tapi nggak ada pilihan lain, akhirnya kami pun membayar 3,4 juta untuk tiket baru. Setelah makan dan mood saya udah hancur, kami pulang ke Depok. Sepanjang jalan sama sekali nggak ngobrol dengan adik saya. Mungkin pikiran kami sama-sama sedang kacau.

Jam 10 malam, saya berusaha untuk tidur sebentar karena besok pesawat Batik Air terbang pukul 5.25 pagi. Adik saya malah nggak tidur sama sekali karena mau nonton bola dan takut ketinggalan pesawat lagi. Dramatis banget deh peristiwa ketinggalan pesawat ini. Hanya bisa berdoa, Insya Allah semua ada hikmahnya.

Nanti saya lanjutkan lagi cerita besok. Yang pasti, lebih seru dari hari ini. Sampai jumpa.

Mei 30, 2016

Pantai Pandawa Sebelum Pulang

Baju renang udah siap, kacamata renang udah dibawa, sunblock juga ada, tapi pagi itu saya dan adik saya batal berenang di Pantai Pandawa. Setelah shalat Shubuh, saya membangunkan adik, dan adik membangunkan saya. Alhasil, kami sama-sama memutuskan untuk nggak mandi di laut, hahaha. Ngantuk banget sih, apalagi kasurnya fluffy banget dan membuat kami susah beranjak. 

Jam 8 pagi kami bangun untuk sarapan. Itu pun masih merasa ngantuk. Baru setelah sarapan, kami mandi dan berkemas untuk check out hotel. Saya udah kece banget dengan kacamata hitam dan topi untuk main di pantai. Setelah check out dan mengambil uang deposit Rp. 200rb, koper kami dibawa ke mobil (nggak usah capek-capek nenteng koper menuruni tangga) dan kami pun berangkat ke Pantai Pandawa.
Suasana sekeliling
Jarak pantai Pandawa dari hotel hanya 15 menit naik mobil. Sebenarnya bisa aja sih maksain berenang tadi pagi, tapi malesnya itu loh. Ya sudahlah, saya dan adik memutuskan untuk jalan-jalan saja di pantai ini. Kebetulan adik saya belum pernah kemari. Semula kami parkir mobil di ujung jalan Pantai Pandawa. Sempat turun dari mobil dan berjalan kaki di trotoar, tapi kayaknya ke pusat keramaian agak jauh deh. Akhirnya masuk ke mobil lagi dan pindah ke parkiran yang memang berada di tempat keramaian.
Jalan dulu
Pose dulu
Pantai Pandawa adalah salah satu kawasan wisata di area Kuta selatan, Kabupaten Badung, Bali. Pantai ini terletak di balik perbukitan dan sering disebut sebagai Pantai Rahasia (Secret Beach). Kalau melihat pantai ini dari atas tebing, indaaaah banget.  Di sekitar pantai ini terdapat dua tebing yang sangat besar yang pada salah satu sisinya dipahat lima patung Pandawa dan Kunti. Keenam patung tersebut secarara berurutan (dari posisi tertinggi) diberi penjelasan nama Dewi Kunti, Dharma Wangsa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa. 
Keramaian
Tulisan
Siang itu Pantai ini super duper terik cuacanya. Untungnya saya pakai kacamata dan topi. Karena kasihan melihat adik saya nggak pakai pelindung matahari sama sekali, akhirnya saya pinjamkan kacamata. Baru deh dia nggak mengernyit lagi. Makanya kalo ke pantai wajib bawa kacamata hitam, hihihi. Setelah beberapa menit pakai kacamata dan membukanya itu rasanya super sekali. Panassss bangettt cuacanya.
Sendiri
Payung
Saya jadi teringat 3 tahun yang lalu, pantai ini merupakan destinasi wisata yang nggak terlupakan buat saya. Pantai Pandawa adalah tempat berfoto paling keren di Bali. Saya tetap bisa mengambil banyak gambar payung-payung pantai, sama seperti 3 tahun yang lalu. Ah, jadi nostalgia lagi kan? Sekarang pantai ini sudah terlalu ramai. Memang sih areanya masih bersih. Tapi saya sangat suka pantai yang tenang seperti Diniwid Beach di Pulau Boracay, Filipina. Saya dan adik menikmati pantai sambil minum air kelapa seharga Rp. 20,000. Jadi teringat air kelapa di Depok cuma Rp. 5,000 saja, hahahaha.

Setelah puas bermain dan berfoto di Pantai Pandawa, selanjutnya kami mau samperin Mas Jun (teman saya dari Kerja Praktek di Telkom Bandung) di Politeknik Bali. Kami nitip Pie Susu Asli Enaak padanya sebanyak 8 kotak, eh malah dikasih gratis. Makasih banget Mas Jun. Nanti kita bisnis bareng yahhh.

Jam 3 sore, saya sudah berada di Bandara Ngurah Rai. Mobil sewa sudah dikembalikan dan kami makan siang (atau sore) di Solaria. Setelah itu cek in bagasi dan menunggu pesawat boarding. Suasana di bandara ini udah beda banget karena bandaranya baru. Kami boarding pukul 5 sore dan tiba di Jakarta pukul 6 sore (karena perbedaan waktu). Yang agak sial karena jam 6 sore kan jam orang pulang kantor, jadi perjalanan ke Depok 1,5 jam. Huff, jadi lapar sepanjang perjalanan. 

Alhamdulillah saya tiba dengan selamat. Besok berangkat lagi ke Aceh. Huff, lelah!

Mei 26, 2016

Uluwatu Temple

Tujuan berikutnya adalah Uluwatu Temple, sebuah Pura yang berada di paling pojok Pulau Dewata. Perjalanan dari Mahogany Hotel ke Pura Uluwatu ditempuh sekitar 30 menit tanpa macet. Tapi kayaknya memang nggak pernah macet sih kesananya. Ini pertama kalinya saya ke Uluwatu Temple. 3 tahun yang lalu, kami nggak sempat kesini karena itinerarynya sudah terlalu banyak.
Pura di pinggir tebing
Pura (Luhur) Uluwatu merupakan pura yang berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung. Pura ini menjadi terkenal karena tepat di bawahnya adalah pantai Pecatu yang sering kali digunakan sebagai tempat untuk olahraga selancar, bahkan banyak acara internasional diadakan di sini. Ombak pantai ini terkenal amat cocok untuk dijadikan tempat berselancar dipadukan dengan keindahan alam Bali yang memang sangat indah.

Kami parkir mobil, lalu beli tiket terlebih dahulu. Harga tiket masuk Rp. 20,000 dan kita harus memakai sejenis kain ungu dan ikat oranye untuk masuk ke area kuil. Antrian beli tiket sih nggak panjang. Yang agak malas adalah karena harus pakai kain ungu itu. Mana saya nggak tau cara pakainya. Beberapa turis ada yang minta tolong dipakaikan oleh penjaga, kalau saya lebih memilih eksperimen sendiri bagaimana cara pakainya. Alhasil, kain hanya diikat seperti kain pantai Bali saja. Hahahaha! Yah lumayanlah ya daripada tidak sama sekali.
Beli tiket
Tiket sudah sobek
Mengambil kain ungu
Setelah pakai kain ungu, kami pun memasuki halaman Pura Uluwatu. Pura ini terletak di ujung Barat Daya pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali pada akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang dinamakan Moksah atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu.
Hasil ekperimen pakai kain
Pada awalnya, saya mau naik sampai ke Pura (harus menaiki banyak anak tangga kalau mau ke Pura Sad Kayangan). Hanya saja banyak banget monyet disini dan monyetnya ganas-ganas. Saya jadi ngeri. Bahkan ada pengunjung yang barang bawaan seperti kacamata, bros, dan lainnya di tarik sama monyet. Yang bikin seram adalah ketika monyet mengambil Iphone milik pengunjung dan monyetnya menjambak rambut pemilik Iphone. Duh, serem banget. Saya yang ngeliat aja jadi seram. Mana dengan cueknya si monyet melempar Iphone ke tanah. Untung nggak di lempar ke laut karena pada saat itu posisi monyet sedang manjat di pagar pembatas tebing. Saya langsung syok dan nggak mau naik lagi.
Tangga ke Pura Sad
Pose dulu
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura. Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra.
Tebing
Awalnya mau nonton Tari Kecak di Pura ini. Tapi udah hilang mood saya karena banyak bangettt monyet. Mana pawang monyet keliatannya nggak bantuin 'ngusir monyetnya. Kalau di Monkey Forest 'kan pawangnya jagain kita banget. Jika kalian mau nonton tari kecak, kalau nggak salah bayarnya Rp. 100,000 untuk masuk. Saya sih udah menyerah nggak mau nonton lagi. Mungkin nanti suatu hari kalau monyetnya udah jinak, hahaha.

Sepulang dari Uluwatu, saya mampir ke Kuta Beachwalk untuk bertemu teman lama dan membicarakan bisnis. Sekarang Beachwalk ini udah banyak banget toko-toko MAP yang buka. Setelah puas mengobrol, kami pun pulang ke hotel. Di hotel sih nggak langsung tidur, tapi duduk di balkon dulu sambil menikmati cahaya lampu jalan tol dan angin malam, bahkan saya jadi masuk angin karena anginnya kencenggg banget. 

Selanjutnya cerita Pantai Pandawa. Sampai jumpa!

Mei 24, 2016

Pasar Ubud Bali

Hari kedua di Bali, saya bangun dan sarapan dulu di Mahogany hotel. Variasi sarapan di hotel ini sedikit sekali. Katanya bintang 4, tapi kok variasi makanannya sedikit banget ya? Walaupun begitu, tetap aja saya makan banyak. Selesai sarapan, saya mandi dan bersiap menuju tujuan belanja yang lumayan jauh dari Denpasar, yaitu Pasar Ubud. 
Bersiap jalan
3 tahun yang lalu (selalu saja membandingkannya dengan 3 tahun yang lalu), saya nggak pergi ke Pasar ini. Bahkan nggak tau juga kalau ada Pasar seperti ini di Ubud. Dulu saya hanya mengunjungi Monkey Forest, KOU, dan Bebek Bengil. Saya agak lupa jalanan di Ubud seperti apa. Setelah berkeliling mencari parkir mobil (parkir dimana-mana penuh), dan menyusuri jalanan dengan jalan kaki, baru ingat lagi. Hari itu Bali super duper panasss. Saya jadi harus pakai topi dan kaca mata hitam untuk melindungi wajah dan mata. Saya jadi kangen banget deh suasana liburan dulu ke Bali. Kangen juga sama orang-orangnya yang sekarang sudah berpencar kemana-mana.
Dream Catcher
Pasar Tradisional Ubud merupakan salah satu pelengkap keanekaragaman Bali sebagai lokasi wisata yang terkenal sampai ke mancanegara. Berbagai barang-barang kebutuhan sehari-hari dengan harga yang murah khas pasar-pasar di tempat lainnya di Indonesia bisa kita didapatkan disini. Barang-barang yang ditawarkannya terbilang berkualitas namun harganya cukup terjangkau sehingga tak heran menurut orang-orang yang pernah kesini berani mengklaim bahwa Pasar Tradisional Ubud ini merupakan pasar terbaik di Bali. Pokoknya disini masih banyak banget barang yang harganya Rp. 10rban - Rp. 20rban. Murah banget kan?
Kerajinan
Pasar Tradisonal ini terbagi kedalam dua wilayah, dimana yang pertama berada di sebelah barat. Kawasan Barat ini lebih dikenal dengan Pasar Seni Ubud karena ditempat inilah banyak pedagang yang menjajakan barang-barang seni dan kerajinan khas Bali semacam sendal khas Bali, Baju Bali, sarung pantai, tikar, lukisan, patung, cermin unik sampai gantungan kunci pun ada disini. Saya takjub melihat Dream Catcher dari ukuran sangat mungil sampai yang super besaaarrr... Pengunjung pasar ini juga kebanyakan bule-bule karena biasanya orang lokal malah berbelanja di Krisna.
Piring dan tatakan
Bagi kalian yang ingin berbelanja oleh-oleh khas Bali dengan kualitas terbaik dan harga yang terjangkau, maka direkomendasikan untuk berbelanja disini saja. Pedagang biasanya mengambil langsung barang-barang seni dan kerajinan yang dijualnya dari para pengrajin Bali sehingga berdampak pada harganya yang bisa ditawar. Sedangkan wilayah yang kedua ialah Pasar Tradisional Ubud yang menjual barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur buah-buahan, dan lainnya.
Dream Catcher
Kalau kalian mau membeli Batik khas Bali, saya rasa kurang tepat kalau belanja disini. Selain karena pedagangnya sendiri nggak ngerti kualitas kain, harganya sama semua. Kalau pun lebih mahal sedikit tergantung kain tenun atau katun aja. Bahkan kalau ditanya lebih dari itu udah nggak bisa jawab. Katanya mereka hanya ambil di pabrik dan dijual. Berarti ini batik print semua dong? Tapi motifnya bagus-bagus banget sih.
Pose dulu
Untuk membeli kain tenun rangrang yang bagus, saya berjalan ke toko di deretan KOU. Tapi tetap aja mbak penjual nggak begitu mengerti apa yang mereka jual. Seusai belanja macam-macam di Pasar, saya mampir di KOU. Mau beli selai mangga dan sabun. Setelah itu saya pulang. Saya baru sadar kalau di kiri dan kanan jalan Ubud itu hampir semuanya pengrajin. Ada pengrajin pahat, topeng, perabotan rumah tangga, dan lainnya. Tapi bukan pengrajin kain. Kalau kalian mau membeli hasil kerajinan tangan memang paling pas disini.

Oh ya, karena sudah siang, saya sempat mampir di Resto bebek. Agak heran kenapa tempat ini sepiiiiii banget. Pengunjungnya hanya 5 orang termasuk saya. Karena ada masakan babi, saya nggak jadi makan disana dan pengunjungnya jadi sisa 3 orang, hihihi. Saya dan adik malah makan ayam goreng Jawa di pinggir jalan. Tau gitu tadi lebih baik makan di Bebek Bengil aja lagi.

Setelah makan, kami balik ke hotel untuk tidur siang sebentar dan mandi. Sewaktu lagi memarkir mobil, tiba-tiba kena kursi. Sempat khawatir mobilnya lecet, secara mobil rental. Pas kami periksa sih ada cat terkelupas sedikit, tapi kayaknya nggak apa-apa. Ya sudah deh, kami cuekin aja. Selanjutnya pergi ke Uluwatu Temple. Stay tuned!

Mei 23, 2016

Bali I'm Coming

Udah hampir 3 tahun saya nggak ke Bali. Akhirnya karena ada perlu untuk berbisnis, saya menyempatkan diri ke Bali hari Sabtu 30 April 2016 bersama sang adik tercinta. Adik saya datang ke Depok hari Rabu, lalu hari Sabtu berangkat ke Bali. Semua persiapan kami lakukan sangat buru-buru, dimulai dari beli tiket pesawat 2 hari sebelum berangkat, pesan kamar hotel dan sewa mobil sehari sebelum berangkat. Tapi alhamdulillah semua berjalan lancar, bahkan Lion Air sama sekali nggak delay.

Sesampai di Bali, saya mendarat di bandara baru. Mungkin udah lama bandara baru ini selesai, tapi saya baru pertama kali turun disini. 3 Tahun yang lalu, bandaranya masih belum seluas ini. Kami tiba di Bali sudah sore. Setelah ambil bagasi dan mengurus sewa mobil, kami keluar dari Bandara Ngurah Rai jam 5 sore dan langsung berencana makan di Jimbaran. Adik saya belum pernah makan di Jimbaran, jadinya kami langsung menuju kesana dengan bermodalkan GPS di handphone.
Pose dulu
Jimbaran Beach
Langit di pantai Jimbaran sore itu agak mendung. Jadinya matahari terbenam tidak terlalu terlihat. Tapi tetap saja tidak mengurangi keindahan makan malam di pinggir pantai. Suara debur ombak benar-benar menenangkan. Memang liburan itu sangat diperlukan untuk mengganti suasana pikiran dari sumpek ke senang.
Orang mulai berdatangan
Jadi teringat 3 tahun yang lalu, saya bersama teman-teman ber-7 makan malam disini sambil menikmati suasana malam dan mengobrol. Saya jadi bernostalgia sendiri. Apalagi suasana pantai Jimbaran masih sama indahnya seperti 3 tahun yang lalu. Dulu beramai-ramai kesini karena liburan, ini malah berdua saja dengan adik karena urusan bisnis. Sebenarnya rencana awalnya ke Bali ber-4. Karena satu yang lain hal, jadi deh cuma saya dan adik saja. Tapi tetap bersyukur bisa ke Bali lagi setelah sekian tahun.
Lilin
Setelah makan di Jimbaran, kami mampir ke Krisna Bali. Duh, disini saya langsung kalap belanja ini dan itu. Semuanya murahhh sekali. Jadi menyesal membeli topi di Planet Surf seharga Rp. 200rban, sedangkan di Krisna lebih bagus lagi topinya dan harganya cuma Rp. 25rban. Kami menghabiskan waktu sejam di toko Krisna. Saya membeli banyak kain bali, pernak-pernik, hiasan meja, pajangan kayu, ukiran bali, kaos, dan lainnya sekardus besar. Sekarang juga Krisna bisa mempaketkan hasil belanjaan kita ke dalam 1 kardus. Jadi lebih ringkas dan langsung bisa dimasukkan ke bagasi pesawat nantinya. Oh ya, sedang ada undian di Krisna. Setiap pembelian Rp. 50rb (kalau nggak salah) dan kelipatannya berhak mendapat satu kupon. Saya dapat kupon banyak banget. Jadi pegal menulisnya. Bahkan ada orang yang malas menulis kupon dan memberikannya pada saya. Setelah saya isi semua, dengan mengucapkan bismillah, saya masukin kuponnya ke kotak undian. Siapa tau dapat ferrari pemilik Krisna, hahahaha.

Selesai belanja, kami cek in di Mahogany hotel. Hotel ini tidak menyediakan lift ke basement. Jadi harus menenteng koper (untung ringan) menaiki anak tangga ke lobi hotel. Kita harus deposit dulu Rp. 200rb disini baru dikasih kunci kamar. Sesampai di kamar, pas mau mandi, air panasnya juga nggak panas. Udah panggil teknisi, tetap aja air panasnya nggak panas. Ya sudahlah, tetap harus mandi karena udah gerah banget. Yang indahnya di hotel ini adalah pemandangan balkon yang langsung menghadap jalan tol baru di Bali. Lampu-lampunya sangat indah. Subhanallah!
Jalan tol
Nanti saya cerita lagi ya. Sampai jumpa!

Mei 22, 2016

Menikmati Dessert di Fat Bubble

Seperti biasa kalau adik saya Achmad datang ke Depok, saya mendadak jadi Anak Gaul Depok a.k.a AGD. Saya dijemput di stasiun kereta dan diajak nongkrong ke Cafe yang kira-kira bisa menjadi inspirasi dia untuk mengembangkan bisnis Cafe-nya yang di Banda Aceh. Karena saya adalah kakak yang baik, jadinya saya ikut aja dia ngajak kemana pun. 
Tampak depan
Tujuan kami kali ini adalah Fat Bubble Dessert House, yang berlokasi di Jl. Raya Margonda no.238B&C - Depok, No.Telp (021) 7721-8559. Saya sering banget lewat di depan Cafe lucu ini tapi nggak pernah mampir. Ini pertama kalinya saya datang ke Fat Bubble. Dari depan sih kelihatannya Cafe ini seperti sekolah TK karena sangat berwarna-warni. Interiornya lucu dan penuh dengan warna-warna crayon. Saya suka banget deh.
Interior
Saya memilih lantai 2 untuk nongkrong, karena lantai 1 sedang penuh. Saya kira Cafe ini sepi. Pas masuk malah rame banget orang-orangnya. Nggak kelihatan dari luar. Menu makanan pun datang dan kami memesan:
Bubble Chocolate Pudding Mochi Ice Cream Rp. 38,000
Spagethi Seafood Aglio Olio Rp. 39,000
Lychee Yakult Rp. 21,000
Bubble Gum Smoothies Rp. 22,000
Cheesy Baked Rice Rp. 35,000 

Harga makanan disini standar AGD deh. Nggak mahal-mahal amat tapi nggak murah juga. Seperti biasa, minuman datang terlebih dahulu, termasuk dessertnya juga datang duluan. Minuman yang saya pesan yaitu Bubble Gum Smoothies ini rasanya malah seperti stroberi. Warnanya juga pink (identik dengan warna stroberi). Apa mereka salah ya? Tapi nggak apa-apa deh, strawberry smoothies ini juga enak kok. Adik saya melahap dessert yang seharusnya disantap setelah makan. Nanti dia malah kekenyangan lagi. Dessertnya enak banget. Es krim coklat, kue mochi, bubuk coklat, semuanya berkumpul di satu mangkuk dan membuat dessertnya kaya rasa. Bisa nih jadi inspirasi adik saya untuk menjadi menu makanan tambahan di Cafenya.
Minuman, dessert, dan spagethi
Makanan pun datang. Spagethi Aglio Olionya kurang memuaskan. Rasanya enak sih, hanya saja udang yang disajikan hanya 2 ekor kecil untuk seporsi makanan. Saya kira seafoodnya banyak, eh ini potongan cumi malah hanya satu. Duh, jadi seperti makan spagethi tanpa lauk. Untuk Baked Rice, rasanya enak, asin kejunya juga ok. Tapi adik saya baru saja menghabiskan dessert yang seharusnya dimakan belakangan. Jadilah dia kekenyangan dan merasa nggak sanggup kalau harus menghabiskan baked rice lagi. Ya iyalah, udah makan makanan manis sebanyak itu, mana enak lagi kalau makan makanan berat.
Spagethi dan Baked Rice
Kami sempat nongkrong agak lama di Cafe ini. Selain karena kami harus menghabiskan baked rice, tapi juga suasananya adem, tenang, dan nyaman. Apalagi warna-warna pelangi di perabotan dan interior membuat mata jadi segar. Betah deh berlama-lama disini.
Warna-warni
Interior
Untuk kalian AGD, jangan lupa mampir ke Cafe cute dan keren ini ya. Dijamin kalian pasti betah dan nggak mau pulang dari sini. Sampai jumpa!

Mei 19, 2016

Sepeda Motor Dio

Karena saya merasa sudah terlalu lama nggak menulis cerita pendek, akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan cerita-cerita di otak saya. Daripada hilang begitu saja tergerus postingan lain di blog ini, mendingan ditulis sekarang deh. Setelah itu baru akan melanjutkan cerita bisnis trip saya ke Bali. Baiklah, selamat membaca!

***

Udah lama gw nggak main ke rumah Dio. Kami berteman sejak pertama kerja.  Dulu kita satu kosan dan selalu jalan kaki bareng ke kantor (kebetulan kantor kami dekat). Biasanya kita suka maen DOTA bareng sampe adzan shubuh setiap weekend. Maklumlah, awal-awal kerja masih jomblo jadinya weekend ya di kosan aja.

Dulu gw suka banget nebeng motor Dio kalau mau ke Mall terdekat atau cuma sekedar ke alfamart/indomaret. Gw orangnya malas jalan kaki. Makanya badan gw gendut kali ya. Karena Dio orangnya baek banget, jadi dia selalu pinjemin motornya untuk gw pake. Dio juga orangnya suka nraktir, walaupun kita hidup serba pas-pasan di kosan sederhana. Gaji hanya untuk bayar kos, makan, dan nonton bioskop sekali dalam sebulan.

Suatu hari Dio keterima di perusahaan yang berbeda dengan gw. Gajinya otomatis langsung jadi dua kali lipat dari gw. Hidup dia mulai lebih makmur, walaupun kantornya jadi agak lebih jauh. Tapi kan dia punya motor, jadi nggak masalah. Kalau dulu akhir bulan Dio nyetok mie instan, sekarang dia beli rice cooker dan beras. Trus dia masak nasi, tapi beli lauk ke warung. Gw kadang nebeng makan nasi Dio, hanya beli lauk saja.

Setelah 2 tahun pindah kerja, Dio memutuskan untuk menikah. Ntah kapan dia pacaran, pokoknya kali ini dia mau nikah katanya. Rio pindah ke kontrakan kecil yang lumayan dekat dengan kantor istrinya. Setelah itu kita jarang kontak. Dari seminggu sekali, sebulan sekali, 3 bulan sekali, sampai lamaa nggak ketemu.  Tapi Dio tetap datang ke nikahan gw. Disitu kita hanya ketemu sebentar dan nggak ngobrol banyak.

3 tahun berlalu, gw nggak pernah ketemu Dio lagi. Gw tiba-tiba merasa kangen padanya. Kangen dengan masa-masa kita maen DOTA dan jalan kaki ke kantor. Dio juga jarang update social media, jadi gw tambah nggak tau lagi dimana dia sekarang. Akhirnya gw mengambil hp dan meneleponnya. Dio menjawab telpon gw dengan sangat ramah, sama seperti Dio yang dulu. Dio menyuruh gw datang ke rumahnya. Kebetulan istri gw sedang dinas ke luar kota dan istri Dio sedang di rumah mertua Dio, maka kami sepakat untuk maen DOTA lagi di rumah Dio.

Jujur aja ini pertama kali gw ke komplek perumahan Dio. Gw takjub, rumah di komplek ini nggak ada yang kecil. Gw akhirnya ketemu rumah Dio yang paling besar di komplek itu. Awalnya gw ragu, tapi gw memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya. Ada asisten rumah tangga dan tukang kebun yang menyambut gw. Gw disuruh masuk dulu karena Dio sedang keluar sebentar, tapi gw memilih untuk duduk diluar. Menikmati kemegahan rumah Dio dan halamannya yang luas.

Dio datang dengan mengendarai motornya ‘yang dulu’. Terlihat sangat timpang ketika Dio memarkirkan motornya itu disamping Lamborghini miliknya. Dio memelukku dan tersenyum lebar.
Gw bilang, “Elo udah sekaya ini masih aja pake motor Supra  lecet-lecet begitu.”
Dio tersenyum, “Nggak apa-apalah. Banyak kenangan motornya.”
“Ya elah, kenangan apaan. Ini timpang banget diparkir disini.” Gw tertawa.
Dio ikutan tertawa.
“Oh, dipake asisten rumah tangga lo untuk ke pasar ya?” tanya gw lagi.
Dio tersenyum, lalu duduk di teras seraya mempersilahkan gw duduk juga. “Nggak kok, motor ini masih gw sendiri yang pake.”
“Kenapa lo nggak beli motor balap aja biar kaya Valentino Rossi?”
Dio tersenyum, “Motor ini dari Ayah gw. Beliau meninggal dua tahun yang lalu. Kalau gw jual, gw merasa menjual kenangan bersama Ayah.”
Gw jadi nggak enak ketika Dio bilang hal itu pada gw. 

“Dulu kami hidup sangat sederhana setelah ayah pensiun. Karena gw selalu capek naik angkot dan mengajar privat anak-anak SMA dimana jarak rumah mereka jauh banget, jadi ayah mengumpulkan duit untuk beli motor second agar gw nggak terlalu capek. Sejak itu gw bisa lebih banyak mengambil murid untuk privat dan otomatis pendapatan gw perbulan jadi lebih banyak. Lumayan untuk nambahin bayar kuliah. Sampai akhirnya gw dapat kerja, motor tetap gw bawa.”
“Motornya selalu gw jaga sampai sekarang. Gw merasa ada keringat dan pengorbanan Ayah di motor ini. Ayah gw mungkin nggak bisa melihat Lamborghini gw, tapi gw tetap bisa melihat motor Ayah sampai sekarang.”
Gw malah jadi merasa bersalah.
“Duh maaf nih, gw jadi curhat. Hahaha!”
“Gw yang seharusnya minta maaf. Udah lama nggak ketemu lo, malah ngejelek-jelekin motor lo. Maafin gw, sob. Gw nggak bermaksud aneh-aneh.”
Dio tersenyum. “Sudahlah, maafin gw jadi bikin lo merasa bersalah. Ya udahlah, kita udah lama nggak ketemu. Mending kita ngobrol dan main DOTA. Urusan motor cukup sekian saja.”
Gw tersenyum, lalu mengikuti Dio masuk ke rumah. “Maafin saya om (kata gw pada motor Dio), om punya anak yang sangat hebat sekarang. Pasti karena Dio adalah anak seseorang yang sangat hebat.”

I miss you Dad. It's almost Ramadhan :(

Mei 18, 2016

Resto Token Chandra Naya, Sebuah Cagar Budaya

Beberapa minggu yang lalu, sepulang dari Pekalongan, saya mengajak Kakros ketemuan. Ntah kenapa saya kayaknya wajib ketemu Kakros seminggu sekali, hahaha. Mungkin karena biasanya se-projek, suka cerita-cerita (saya suka gangguin dia kerja dengan bercerita), dan sekarang beda projek jadi nggak bisa cerita-cerita. Walaupun demikian, saya tetap mengajaknya ketemuan di luar kantor supaya bisa mengupdate cerita-cerita kami, hihihi.

Saya janjian sama Kakros di Grand Paragon Mall di Jalan Gajah Mada. Saya order Gojek, bahkan Mas Gojeknya aja baru tau ada Mall ini disini. Saya juga baru tau lho. Saya datang lebih dulu dari Kakros dan merasa Mall ini agak seram. Nggak ada apa-apa disini dan sepiiiii banget. Saya jadi agak was-was, dan menyuruh Kakros buru-buru kesini. Akhirnya, beberapa menit kemudian Kakros datang menyelamatkan saya dari Mall seram ini. Katanya sih banyak cerita aneh-aneh di Mall ini. Ah sudahlah nggak usah dibahas. Yang penting saya sudah pergi dari situ.

Kakros membawa saya ke Novotel. Semula saya nggak bertanya apa-apa karena kali aja ada Resto keren di Novotel. Setelah memarkir mobil, masuk ke apartemen, turun tangga ini dan itu, lalu jalan kaki ke luar. Saya masih merasa biasa aja sampai saya melihat sebuah komplek Resto bergaya Tionghoa dan serba merah. Tunggu, kenapa saya tiba-tiba berada di Beijing?
Jalan seperti di China
Interior Resto
Kakros bilang, kompleks ini merupakan cagar budaya yang dilestarikan. Dari jaman dahulu sampai sekarang, bentuk bangunannya nggak ada yang berubah. Mata saya jadi berbinar-binar melihat kawasan super keren ini. Bagus bangett... Kakros lalu membawa saya ke Resto bernama Token. Resto ini bernuansa merah semua. Jadi teringat resto di China yang pernah saya kunjungi setahun yang lalu. Wallpaper di dinding, foto di pigura, meja, kursi, bahkan toilet pun sangat bernuansa Tionghoa.
Menu
Buku menu pun datang. Memang sih makanan disini nggak begitu istimewa. Standar makanan seperti di Resto Platinum dan Gokana. Adah Karage, Bento, hotpot, Nasi daging, Mie, dan sebagainya. Harganya pun murah, hanya sekitar Rp. 30rb-40rb saja. Kalian nggak usah khawatir kantong bolong kalau makan disini. Minuman juga murah, sekitar 10rb-20rb saja. Saya sampai lupa memfoto makanannya. Jadi saya foto buku menunya saja ya. Itu pun yang difoto hanya 1 lembar, hahaha. Menu selengkapnya bisa dilihat di Zomato.
Meja dan kursi
Saya mengobrol dengan Kakros dari jam 6 sore sampai jam 9.30 malam. Lama banget 'kan? Itu pun saya udah ngomong terus tanpa jeda waktu untuk tarik napas, hahaha. Pokoknya kalau Kakros lagi bicara, ya saya diem mendengarkan, sambil mengunyah makanan. Kalau saya ngomong, ya Kakros yang diam. Suasana Cafe ini juga hening, tapi nggak menyeramkan. Pengunjungnya juga ramai, tapi nggak merasa berisik. Asik banget deh tempatnya.
Chandra Naya
Setelah selesai makan, saya berjalan berkeliling sejenak. Yang menyita perhatian saya adalah sebuah bangunan tua bernama Candra Naya yang dulunya merupakan kediaman Mayor Khouw Kim An pada periode 1910-1918. Bangunan ini adalah cagar budaya yang terletak di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Kalian akan takjub melihat diantara apartemen dan hotel besar dan tinggi mencakar langit, ada bangunan kecil, tua, nan eksotis diantaranya.
Tempat latihan kung-fu (kayaknya)
Berdasarkan keterangan yang terpampang di samping pintu utama yang berjudul "Sejarah Mengenai BANGUNAN CANDRA NAYA (Asosiasi Xinming)", Candra Naya dibangun pada 1807 atau 1867 tahun kelinci penanggalan Tionghoa. Jadi, memang bangunan yang memiliki luas sekitar 2.000 meter persegi ini memiliki nilai historis yang tinggi. Pemilik Green Central City (GCC) sendiri turut melestarikan bangunan tersebut dan tidak membongkarnya. Sebaliknya, sejak 2012, mereka memadukan Candra Naya dengan apartemen, hotel, dan beberapa tempat kuliner. Bisa dipahami mengingat satu dekade lalu, cagar budaya ini nyaris dipindahkan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang akhirnya dicegah Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso.

Saya jadi merasa ingin latihan Kung Fu ketika berada disini, hihihi. Baiklah, mungkin bisa menjadi tempat alternatif untuk kalian nongkrong eksotis di Jakarta. Sampai jumpa :)

Mei 17, 2016

Pekalongan Part 4 : Pulang

Setelah ke Museum Batik dan karena sudah siang juga, kami berkeliling kota Pekalongan untuk mencari Sate Kerbau. Saya baca-baca sih, sate kerbau di Pekalongan itu enak banget dan menjadi salah satu kuliner andalan kota batik ini. Saya naik becak ke Jalan Hasanuddin untuk nyari sate itu. Sayangnya udah capek keliling, bolak-balik jalan yang sama, terus masuk ke lorong-lorong, tapi nggak ada yang jualan. Kata tukang becak sih biasanya penjual sate itu adanya malam. Jadi mengurungkan niat untuk makan sate dan berbelok makan garang asem.

Garang asem yang saya makan kali ini berbeda dengan yang saya makan di Solo. Seingat saya di Solo itu enaaaak banget. Kalau di Pekalongan sama dengan Cirebon. Agak mirip dengan Konro di Bandung. Saya lebih suka yang di Solo karena lebih segar dan kuahnya enakkk banget. Kalau garang asem Pekalongan itu terlalu berlemak. Harganya lumayan mahal sekitar Rp. 16,000. Tapi tetep enak sih. Cuma saya lebih suka yang di Solo aja. Saya makan garang asem ditemani es jeruk dingin yang pas banget untuk cuaca yang lagi terik banget.
Garang Asem Pekalongan
Setelah selesai makan, sebelum ke stasiun kereta, saya balik ke Hotel lagi. Saya ngemil dan tiduran di sofa sampai jam 3 sore. Ternyata Dafam Hotel menyediakan fasilitas antar jemput gratis dari dan ke stasiun kereta. Kami naik mobil hotel ke stasiun dan sesampai di stasiun terpaksa menyewa jasa potter untuk mengangkat barang saya yang super banyak dan berat. Saya bilang sama potternya pokoknya angkat barang sampai ke kursi saya di kereta.

Pukul 15.30, kereta datang. Kami harus naik ke gerbong 1 yang notabene gerbong paling ujung. Untung pake potter, kalau nggak capek banget ngangkat barang sebanyak itu ke gerbong yang jauh banget. Jasa potter dari dulu ke dulu masih sama tarifnya yaitu Rp. 20,000 saja. Jangan ditawar lagi ya, kasihan.

Kereta pun jalan. Sepanjang jalan saya tidur. Saya bangun sekitar jam 7 malam karena kelaperan. Awalnya pengen memesan nasi goreng yang dijual di kereta, eh malah kehabisan. Akhirnya hanya makan pop mie saja untuk mengganjal perut. Di belakang saya duduk gerombolan ibu-ibu yang ribut banget. Mereka asyik ngebahas becak di Pekalongan mereka tawar sampai Rp. 10,000. Kasihan banget ya, padahal udah tua tukang becaknya. Tega banget mereka. Mana digembar-gemborin kalau mereka berhasil menawar sampai murah banget.

Sampai di stasiun Senen, saya melihat kursi gerombolan ibu-ibu itu juga jorok banget. Hasil kupasan kacang, bungkus snack, semua dibuang ke lantai kereta. Gile ya, sialan juga itu ibu-ibu. Untuk mengangkat barang, saya tetap menyewa jasa potter dengan tarif Rp. 25,000 sampai ke depan stasiun, lalu memesan Uber untuk pulang ke Depok. Akhirnya perjalanan saya di Pekalongan selesai.

Selanjutnya saya akan menuliskan perjalanan bisnis saya ke Bali. Ditunggu ya!

Mei 16, 2016

Pekalongan Part 3 : Museum Batik

Bangun tidur pukul 7 pagi. Udah bobo cepat, bangunnya telat juga. Sebenarnya terbangun karena perut kelaperan. Untung udah membeli paket sarapan di hotel Dafam, jadinya bisa bebas makan apa saja. Saya sarapan pagi porsi kuli lho. Selain karena variasi makanannya banyak banget (standar bintang 4), hampir semua makanan yang dihidangkan adalah menu favorit saya. Ada omelet, bubur ayam, mie goreng, nasi goreng, sosis, roti bakar, puding, kue, buah, dan lainnya. Saya sarapan sampai satu jam, karena ingin mencicipi ini dan itu.
Tulisan Batik di depan museum
Setelah kenyang, saya kembali ke kamar dan mandi. Lalu bersiap-siap untuk check out hotel. Karena barang kita lumayan banyak, jadi titip dulu ke resepsionis. Nggak mungkin dibawa-bawa jalan-jalan. Pukul 9 pagi, saya naik becak menuju Museum Batik. Kalau ke kota Pekalongan, nggak sah rasanya kalau nggak pergi ke Museum. Sebenarnya saya nggak suka sama museum, tapi mau bagaimana lagi. Untuk memperkaya wawasan Batik, ya mau nggak mau harus mampir kesini. 
Tiket masuk
Saya naik becak semalam yang memang udah janjian mau jalan-jalan pagi ini. Tukang becak mengayuh becak dengan perlahan. Mungkin waktu yang kami tempuh untuk ke Museum Batik sekitar 30 - 45 menit. Kasihan juga sih bapak tukang becaknya, jadi saya sabar aja walaupun dia mengayuh pelan-pelan. Tukang becak mengantarkan kami ke depan pintu masuk Museum. Benar-benar ke depan pintu sehingga kami turun dari becak langsung menginjak ubin Museum. Para kurator Museum jadi agak heran melihat peristiwa itu, hahaha. Tiket masuk Museum murah banget, cuma Rp. 5,000.
Segala jenis batik
Museum Batik Pekalongan adalah museum batik yang beralamat di Jalan Jetayu No.1 Pekalongan, Jawa Tengah. Museum ini memiliki luas tanah dan bangunan 40 meter persegi dan memiliki 1149 koleksi batik, antara lain wayang beber dari kain batik yang berusia ratusan tahun dan alat tenun tradisional atau dikenal sebagai alat tenun bukan mesin. Kebayang nggak kalau mau menjual batik-batik ini yang umurnya ratusan tahun? Berapa harganya? Mungkin bisa aja sih dibeli sama para kolektor. Karena saya punya rencana ekspor dan para bule' itu orangnya kritis, saya jadi harus minta kontak Museum karena saya takut nggak bisa menjawab pertanyaan dari para bule' yang kadang-kadang memang suka aneh-aneh.
Jedi, bejana untuk nyuci batik jaman dahulu
Motif batik lagi
Setelah membayar tiket masuk, kami diantar oleh mbak penjaga Museum untuk melihat semua jenis Batik yang dipajang. Semua batiknya adalah batik tulis dengan kualitas nomor satu, dengan bahan sutra yang di tenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Semua Batiknya bagussss sekaliiii. Saya memfoto satu persatu hanya sekedar untuk melihatnya kembali di laptop. Saya suka batik Bengkulu yang ada kaligrafi Arab, Batik Pekalongan, dan Batik Papua. Kalau motif-motif klasik seperti Parang Rusak itu berasal dari Yogyakarta. Di Museum ini banyak sekali memamerkan motif dari Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Filosofi
Perintilan untuk membuat batik
Nggak hanya kain batik, di Museum ini juga diperlihatkan segala jenis kain seperti serat pisang (saya baru tau), serat nanas, sutra, dan lain-lain. Tetap aja kain sutra adalah kualitas kain terbaik karena dihasilkan oleh ulat. Saya juga baru tau kalau tinta untuk melukis batik itu bernama malam. Saya kira lilin. Kan lilin menerangi malam, hahaha. Nanti 'malamnya' di panasin dulu, baru dimasukkan ke canting. Saya juga melihat berbagai macam cap batik, dari yang motif sederhana seperti bunga, sampai motif yang super sulit dan detail seperti burung cendrawasih atau wayang. Wuih, langsung takjub melihatnya.
Belajar membatik
Nggak lengkap dong kalau belum mencoba membuat batik sendiri. Di Museum ini ada ruangan untuk workshop juga. Kalian bisa menulis batik sendiri diawali dengan memanaskan 'malam', lalu memasukkannya ke canting, baru ditulis ke kertas putih. Beberapa kali 'malamnya' kena ke kulit saya dan panas bo'! Seperti terkena tetesan lilin. Pakai canting juga susah. Kalau terlalu menekuk ke bawah, ntar 'malamnya' menetes dan kena kulit. Kalau terlalu keatas, ntar nggak turun 'malamnya' ke ujung canting. Hadeehhh, susah bener. Pantesan harga batik tulis mahal. Saya hanya membatik sekitar satu jam dan menghasilkan motif acak dengan huruf 'R', singkatan Rancupid. Maruk banget yak? Hahaha. Suka-suka saya dong, toh hasil karya saya sendiri.

Setelah puas berkeliling dan menulis batik, saya keluar dari Museum. Kebetulan ada tukang Es Degan putih, jadi saya bisa melipir sebentar. Udah lama banget nggak minum Es Degan. Mungkin karena udah lama nggak ke Jawa kali ya. Saya kaget juga mengetahui harga Esnya segelas Rp. 2,500. Duh, hari gini masih ada ya harga minuman semurah ini. Tambah bahagia saya. Mana esnya seger lagi diminum panas-panas.
Tukang Es Degan
Es Degan bikin deg-degan
Setelah minum es, kami melanjutkan perjalanan. Ditunggu ya ceritanya.

Follow me

My Trip