Tujuan berikutnya adalah Uluwatu Temple, sebuah Pura yang berada di paling pojok Pulau Dewata. Perjalanan dari Mahogany Hotel ke Pura Uluwatu ditempuh sekitar 30 menit tanpa macet. Tapi kayaknya memang nggak pernah macet sih kesananya. Ini pertama kalinya saya ke Uluwatu Temple. 3 tahun yang lalu, kami nggak sempat kesini karena itinerarynya sudah terlalu banyak.
Pura di pinggir tebing |
Pura (Luhur) Uluwatu merupakan pura yang berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung. Pura ini menjadi terkenal karena tepat di bawahnya adalah pantai Pecatu yang sering kali digunakan sebagai tempat untuk olahraga selancar, bahkan banyak acara internasional diadakan di sini. Ombak pantai ini terkenal amat cocok untuk dijadikan tempat berselancar dipadukan dengan keindahan alam Bali yang memang sangat indah.
Kami parkir mobil, lalu beli tiket terlebih dahulu. Harga tiket masuk Rp. 20,000 dan kita harus memakai sejenis kain ungu dan ikat oranye untuk masuk ke area kuil. Antrian beli tiket sih nggak panjang. Yang agak malas adalah karena harus pakai kain ungu itu. Mana saya nggak tau cara pakainya. Beberapa turis ada yang minta tolong dipakaikan oleh penjaga, kalau saya lebih memilih eksperimen sendiri bagaimana cara pakainya. Alhasil, kain hanya diikat seperti kain pantai Bali saja. Hahahaha! Yah lumayanlah ya daripada tidak sama sekali.
Beli tiket |
Tiket sudah sobek |
Mengambil kain ungu |
Setelah pakai kain ungu, kami pun memasuki halaman Pura Uluwatu. Pura ini terletak di ujung Barat Daya pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali pada akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang dinamakan Moksah atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu.
Hasil ekperimen pakai kain |
Pada awalnya, saya mau naik sampai ke Pura (harus menaiki banyak anak tangga kalau mau ke Pura Sad Kayangan). Hanya saja banyak banget monyet disini dan monyetnya ganas-ganas. Saya jadi ngeri. Bahkan ada pengunjung yang barang bawaan seperti kacamata, bros, dan lainnya di tarik sama monyet. Yang bikin seram adalah ketika monyet mengambil Iphone milik pengunjung dan monyetnya menjambak rambut pemilik Iphone. Duh, serem banget. Saya yang ngeliat aja jadi seram. Mana dengan cueknya si monyet melempar Iphone ke tanah. Untung nggak di lempar ke laut karena pada saat itu posisi monyet sedang manjat di pagar pembatas tebing. Saya langsung syok dan nggak mau naik lagi.
Tangga ke Pura Sad |
![]() |
Pose dulu |
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura. Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra.
Tebing |
Awalnya mau nonton Tari Kecak di Pura ini. Tapi udah hilang mood saya karena banyak bangettt monyet. Mana pawang monyet keliatannya nggak bantuin 'ngusir monyetnya. Kalau di Monkey Forest 'kan pawangnya jagain kita banget. Jika kalian mau nonton tari kecak, kalau nggak salah bayarnya Rp. 100,000 untuk masuk. Saya sih udah menyerah nggak mau nonton lagi. Mungkin nanti suatu hari kalau monyetnya udah jinak, hahaha.
Sepulang dari Uluwatu, saya mampir ke Kuta Beachwalk untuk bertemu teman lama dan membicarakan bisnis. Sekarang Beachwalk ini udah banyak banget toko-toko MAP yang buka. Setelah puas mengobrol, kami pun pulang ke hotel. Di hotel sih nggak langsung tidur, tapi duduk di balkon dulu sambil menikmati cahaya lampu jalan tol dan angin malam, bahkan saya jadi masuk angin karena anginnya kencenggg banget.
Selanjutnya cerita Pantai Pandawa. Sampai jumpa!
0 comments:
Posting Komentar