Januari 28, 2017

Pertama Kali Berumroh

Saya akan bercerita sedikit sejarah. Sesaat setelah Nabi Ibrahim membangun Ka’bah, maka Allah berfirman:

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,”. (QS. Al-Hajj: 27) 

Ada yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS ketika ayat tersebut turun, beliau sedang berdiri di atas Maqam (Maqam Ibrahim), ada pula yang mengatakan beliau sedang berada di Bukit Shafa, dan ada pula yang mengatakan ketika itu beliau sedang berada di Jabal Abi Qubais (kini menjadi istana tamu-tamu kerajaan).
Ka'bah
Ketika mendapatkan perintah ini, Nabi Ibrahim pun kebingungan, bagaimana cara untuk menyeru agar manusia dapat menunaikan ibadah haji? Beliau pun mengeluhkan kepada Allah, “Wahai Rabb, bagaimana saya dapat menyerukan sementara suara saya tidak dapat didengar mereka?”
Maka dikatakan (Allah) kepada Ibrahim “Berserulah, selebihnya Aku yang akan menyampaikannya". 
Nabi Ibrahim pun menyeru, “Hai manusia! Sesungguhnya Rabb kalian telah membangun Baitullah dan Dia telah mewajibkan kalian untuk melakukan haji, maka sambutlah seruan Rabb kalian ini”.
Seketika itu, seruan Nabi Ibrahim didengar oleh penduduk langit dan bumi. Dan mereka menjawab dengan mengucap Talbiyah: 

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ
“Labbaik allahumma labbaik - Aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah."

Mungkin ucapan Talbiyah ini yang paling menggetarkan hati saya. Bayangkan, ketika kita datang memenuhi panggil Tuhan? Bagaimana rasanya? Menjawab panggilan atasan aja rasanya gimana 'gitu, apalagi menjawab panggil Tuhan.

Semenjak setelah  sarapan, saya sudah antuasias karena hari ini kami akan melakukan umroh dan ini pertama kalinya dalam hidup saya. Mama dan saya sudah pakai baju putih, sedangkan Achmad adik saya sudah memakai ihram. Duh, jadi kagum melihat adik dengan ihramnya. Akhirnya kita bisa umroh juga ya dek. Kami berangkat ke kota Mekkah di waktu Dhuha. Beberapa travel memang memberangkatkan jamaah setelah shalat Zuhur, tapi ustadz ingin lebih cepat lagi supaya umrohnya nggak kemaleman. Kami hanya ikut saja. Saya sudah berencana untuk tidur saja di dalam bus sampai Masjid Bir Ali (tempat kami melakukan Miqat) karena memang ngantuk banget. Ternyata dari hotel di Madinah ke Bir Ali hanya 30 menit. Belum tidur sama sekali, eh udah sampai.
Adik dan Mama
Miqat adalah batas bagi dimulainya ibadah haji (batas-batas yang telah ditetapkan) atau umroh. Apabila melintasi Miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji/umroh perlu mengenakan kain ihram dan berniat. Rombongan saya sempat shalat sunnah ihram di Masjid Bir Ali, baru kemudian niat ihram. Oh ya, kalau sudah berihram, kalian sudah nggak boleh pakai makeup lagi dan tidak boleh pakai wewangian. Untuk laki-laki, nggak boleh pakai yang berjahit dan nggak boleh menutup kepala juga. Jadi sebelum berihram, saya udah pakai parfum dan makeup seperlunya supaya muka nggak kusam.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً 
 Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berumrah.
Pintu Masjid Bir Ali
Kami semua di dalam bus mulai berniat untuk umrah. Kalimat Talbiyah pun diserukan sepanjang jalan di dalam bus. Disitu perasaan saya membuncah terharu, hati pikiran saya seperti tertarik jauh ke Masjidil Haram, bahkan sampai meneteskan air mata. Biar nggak begitu malu nangis di bus, saya pakai kacamata hitam dan melihat keluar jendela terus. Sesekali mengusap mata sampai akhirnya tertidur juga. 

Di tengah jalan, kami berhenti sebentar di Wadi Qudaid. Sejarah mengatakan tentang Ummu Makbad, wanita penduduk Wadi Qudaid yang terkenal sangat dermawan dan selalu memberikan makanan atau minuman kepada setiap musafir yang lewat daerah ini. Kalian bisa membaca lengkap tentang Wadi Qudaid di internet ya. Disini saya hanya shalat jamak Zuhur dan Ashar, lalu nongkrong sebentar bersama adik, Oji, dan Mama Oji. Sama sekali nggak ada pohon disini dan sangat gersang. Pernah saya buka kacamata, langsung mata saya berair banget seperti orang nangis karena silau.
Mekkah Clock Tower
Setelah sejam di rest area, rombongan kami melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Seperti biasa, saya tidur sepanjang jalan sehingga perjalanan terasa sangat singkat. Mana tidurnya nyenyak banget. Tidak lama kemudian, terlihatlah dari kejauhan menara jam Abraj Al-Bait atau Zam-Zam Tower atau Mekkah Clock Tower, salah satu menara jam tertinggi di dunia mengalahkan Big Ben di London dan bangunan tertinggi kedua di dunia setelah Burj Al-Khalifa di Dubai (saya akan membahas tentang jam ini di postingan terpisah). Saya terdiam, terkagum, dan tidak bisa berkata-kata. Sampai akhirnya kami sampai ke depan Hotel Ar-Reej Al Falah menjelang magrib.
Kota Mekkah
Saya sempat bingung ketika sampai di depan hotel, bertanya-tanya dimana posisi Masjidil Haram. Berbeda dengan Masjid Nabawi yang langsung terlihat menaranya, kok Masjidil Haram nggak ada. Yang terlihat hanya Zam-zam Tower saja. Berhubung harus bersiap untuk umroh, saya tidak terlalu mikirin lagi dimana Masjidil Haram karena nanti kami pasti kesana. Ustadz membagikan kunci kamar dan saya beserta keluarga mendapatkan kamar 805-806. Sewaktu masuk kamar, saya syok melihat kamar yang kecil bangettt. Mana kasurnya ada 3. Duh, masukin koper aja nggak bisa. Mau protes ke ustadz juga nggak keburu karena kita harus shalat dan makan. Akhirnya untuk sementara saya minta petugas hotel mengeluarkan kasur dan kami memutuskan untuk tidur bertiga di dua kasur. Nggak nyaman banget sih, tapi besok aja deh protesnya. Sekarang fokus dulu mau umroh. Kami turun ke ruang makan tanpa mengantri sama sekali di lift dan nggak nganti makan juga. Akhirnya bisa makan agak lebih santai. Setelah makan, kami berwudhu, lalu turun ke lobi. Kali ini Mama memakai tongkat untuk mengantisipasi kalau-kalau nanti kecapek'an.

Rombongan Belangi susah siap di lobi hotel. Saya merasa kami seolah-olah akan masuk ke medan perang. Ustadz mengingatkan untuk jangan takabur karena orang sering nyasar di Masjidil Haram saking luasnya. Kalau bisa nanti pas Tawaf (berkeliling ka'bah 7 kali) selalu bersama-sama supaya nggak hilang karena orang yang Tawaf pasti sangat ramai. Setelah semua rombongan paham, maka kami berjalan memasuki Masjidil Haram. Ada perasaan tak menentu ketika memasuki pelataran Masjid paling mulia di dunia itu untuk pertama kalinya. Dalam sekejap, hilanglah rasa penat di kepala, hilanglah beban pikiran, seolah permasalahan hidup tidak ada sebelumnya. Perasaan ngantuk yang semula mengusik juga hilang dan jantung berdegup kencang. Dan yang menariknya, belum pun masuk ke dalam masjid, ada salah satu orang dari rombongan kami hilang (nyasar). Duh, ada-ada saja. Sampai ustadz harus nyari bapak itu dulu.

Setelah rombongan komplit lagi, kami berjalan memasuki Masjidil Haram, melepas sendal dan memasukkannya ke dalam plastik, lalu melangkah terus mengikuti ustadz sampai akhirnya terlihatlah Ka'bah. Mungkin, inilah perasaan kagum dan haru yang memuncak yang belum pernah saya rasakan sama sekali seumur hidup. Saya melihat Ka'bah, lambang pemersatu umat islam, pusat bumi, arah kiblat, dan semua hal-hal indah memenuhi otak dan membuat air mata saya mengalir.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ
Aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah.
Ketika melihat Ka'bah
Ustadz memberi aba-aba untuk berpegangan erat pada keluarga masing-masing, lalu kami memulai Tawaf dengan mengangkat tangan kanan dan mengucapkan Bismillahi Allahuakbar, lalu mengecup tangan (sebenarnya mengecup Hajar Aswad, tapi diperbolehkan dengan isyarat kecupan saja). Tawaf dimulai dari Hajar Aswad dan mengelilingi Ka'bah 7 kali. Selama Tawaf, saya berpegang di tangan kiri adik saya dan Mama di tangan kanannya. Enak juga punya adik bertubuh tinggi karena dia bisa memastikan kami tidak keluar dari rombongan. Tawaf adalah ibadah fi'liyah (perbuatan) jadi tidak ada bacaan wajib ketika kita berkeliling Ka'bah. Hanya ketika kita melwati rukun Yamani (sisi Ka'bah berwarna kuning), kita mengangkat tangan dan membaca doa:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah : 201).

Terkadang saya dan adik sering tertukar, ketika di rukun Yamani saya malah mengangkat tangan dan mengecup tangan padahal seharusnya tidak usah mengecup. Adik saya pun begitu. Kami berdua saling mengingatkan, karena ini merupakan ibadah pertama kami. Berbeda dengan Mama yang udah nggak salah dan lupa lagi. Saya juga membawa buku panduan doa ketika Tawaf dan saya baca semua, mulai dari tawaf pertama sampai terakhir. Nah, setelah Tawaf terakhir, kami harus minggir ke pintu dimana kami memulai Tawaf dengan perlahan. Adik menggandeng saya dan Mama lebih erat karena orang-orang di pintu ini sangat ramai dan berdesakan, lalu kami berjalan menyerong keluar barisan Tawaf. Setelah keluar dari lingkaran Tawaf, ustadz menyuruh kami shalat sunnah Tawaf 2 rakaat terlebih dahulu.

Selesai shalat, saya minum air Zam-zam dulu karena haus, baru berjalan menuju tempat Sa'i (salah satu rukun umrah yang dilakukan dengan berjalan kaki (berlari-lari kecil) bolak-balik 7 kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya). Disini kita boleh batal wudhu. Kami berdoa, lalu memulai Sa'i. Kedua bukit yang satu sama lainnya berjarak sekitar 405 meter. Ketika melintasi Bathnul Waadi yaitu kawasan yang terletak di antara bukit Shafa dan bukit Marwah (saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau) para jama'ah pria disunatkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jama'ah wanita berjalan cepat. Saya kagum melihat banyak orang berlari-lari di lampu neon hijau ini, Gaya larinya juga lucu-lucu, bahkan ada anak kecil yang berlari seperti Naruto, hahaha. Karena nggak sepadat ketika Tawaf, saya jadi bisa memperhatikan orang-orang yang sedang Sa'i. Ada anak balita sudah dipakaikan ihram dan jadi terlihat sangat menggemaskan.

Disini telapak kaki saya mulai sakit (karena ada bekas operasi). Sebenarnya saya nggak bisa jalan langsung menapak lantai terlalu lama. Di Sa'i pertama, telapak kaki dan betis langsung keram karena menahan rasa sakit bekas operasi. Seandainya boleh pakai sepatu, pasti bakal lebih baik. Saya fokus menahan sakit selama Sa'i. Saya jadi sering istirahat ,lalu memijat-mijat betis dan pergelangan kaki. Saya nggak mau memaksakan diri. Biar lambat asal selamat. Alhamdulillah sampai juga 7 kali bolak-balik dan kami lanjut bertahallul (memotong rambut). Awalnya saya mau ambil rambut beberapa helai, eh malah jadi banyak. Ya sudah deh nggak apa-apa. Selesai bertahalull, selesai pula ibadah umroh saya dan keluarga. Alhamdulillah.

Saya balik ke hotel dengan sedikit tertatih-tatih. Rasanya malam itu lelah sekali. Mungkin karena perjalanan dari Madinah ke Mekkah, semalam sebelumnya saya juga demam, dan sekarang sakit kaki. Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibanding melihat Ka'bah yang sungguh mengagumkan. Malam ini kami tidur sempit-sempitan dulu dengan AC yang tiba-tiba dingin banget, tiba-tiba panas. Ya sudahlah, dinikmati saja....

Januari 26, 2017

Keseharian di Masjid Nabawi

Saya akan merangkum keseharian saya selama di Masjid Nabawi dan beberapa foto di sekitar Masjid. Mungkin bisa jadi inspirasi kalian, atau mungkin juga menjadi catatan untuk diingat kalau nanti saya berkunjung lagi (amin) ke Mesjid yang indah ini. Situasi seolah mengajarkan saya banyak hal disini. Duh, betapa kangennya balik lagi.
Ada bulan
Antrian Lift
Mungkin kalian sempat baca postingan saya tentang antrian lift hotel yang membuat saya mengurut dada. Hari kedua atau ketiga di Madinah, saya bilang sama Mama kalau setiap setelah shalat Shubuh, Zuhur, dan Isya, kita buru-buru pulang dari masjid ke hotel. Alhamdulillah saya dan Mama jadi orang-orang yang pertama kali makan. Selain menunya masih banyak, bisa bebas duduk dimana aja dan yang terpenting adalah langsung dapat lift. Kalau memang malas buru-buru balik ke hotel, ya sudah kita paling terakhir makan aja sekalian. Walaupun menu udah banyak yang habis, yang penting bisa makan. Kalau pun kami sudah buru-buru pulang dan ternyata antrian lift masih panjang banget, kami memilih naik tangga. Dari lantai dasar ke Restaurant kita harus menaiki 6 barisan anak tangga, sedangkan dari Restaurant ke kamar harus naik 4 barisan anak tangga. Kalau saya sih nggak masalah, tapi Mama lumayan terasa jadi harus pelan-pelan. Alhamdulillah semua bisa teratasi.
Qubbatul Khadhra’ (kubah hijau)
Waqaf
Istilah yang satu ini sudah lama tak terdengar di telinga saya. Mungkin sejak tinggal di kota besar dan sudah jarang menambah pengetahuan agama, saya jadi lupa kalau waqaf adalah salah satu hal yang paling besar pahalanya dan bisa menjadi amal jariyah. Ketika di Masjid Nabawi, hampir semua orang berlomba-lomba untuk Waqaf. Kalau di Indonesia, setiap mesjid pasti punya kotak amal. Berbeda dengan Madinah dimana kursi lipat dan Al-Quran adalah hasil waqaf dari para jamaah di seluruh dunia. Mungkin kita bisa melihat langsung bagaimana kursi sangat memudahkan jamaah yang sakit untuk shalat dan Al-Quran yang dibaca dan dipelajari oleh para jamaah yang berkunjung ke mesjid.
Pintu Nabawi
Mewaqafkan Al-Qur'an di Masjid Nabawi nggak bisa sembarangan. Kalau kita mau membawa Al-Quran yang persis sama seperti yang ada di Masjid Nabawi tapi bukan cetakan Madinah, pengurus Masjid pasti tahu. Madinah mencetak Al-Qur'an dengan kualitas terbaik, jadi bisa tahan lama walaupun sudah dibaca berulang-ulang oleh ribuan orang.

Zam-zam
Air dengan struktur terbaik di dunia ini adalah favorit saya. Setiap hari minimal harus minum air zam-zam 4 gelas tapi yang nggak dingin. Kalau dingin, gigi saya ngilu. Pernah sampai 10 gelas juga sehari. Biasanya setiap habis shalat Shubuh, saya minum 2 gelas dan berdoa supaya semoga seluruh penyakit sembuh, otak bertambah pintar, anti aging biar awet muda terus, kulit halus, dan supaya tetap cantik atau lebih cantik lagi (doanya agak narsis ya, hahaha).
Galon zam-zam
Rasulullah  bersabda : “Air Zam-Zam sesuai dengan niat ketika meminumnya. Bila engkau meminumnya untuk obat, semoga Allah menyembuhkanmu. Bila engkau meminumnya untuk menghilangkan dahaga, semoga Allah menghilangkannya. Air Zam-Zam adalah galian Jibril, dan curahan minum dari Allah kepada Ismail.”

Membawa anak-anak ke Masjid
Saya paling suka melihat anak-anak yang bermain di mesjid. Kebanyakan dari mereka pada gendut-gendut, montok, lucu, dan menggemaskan. Kadang-kadang saya bingung dimana orang tuanya karena mereka dibiarkan saja bermain. Mungkin Mamanya mengawasi dari jauh kali ya, tapi walaupun saya toel-toel pipi anaknya yang memerah, nggak ada yang marah. Emaknya anak ini juga cuek aja mungkin.
Anak-anak
Saya suka ngeliat anak-anak orang Arab, Turki, atau negara kulit putih lainnya apalagi yang berambut hitam. Lucu-lucu banget!!! Ada anak kecil (mungkin umurnya baru satu tahun) saya suruh minggir sedikit karena kakak sepupu saya mau mendorong kursi roda. Anak itu hanya senyum-senyum tapi nggak mau pindah. Saya udah pakai bahasa Inggris, "Oh baby please move darling," di jawab juga dengan senyum. Pakai bahasa Arab cuma bisa bilang, "Ya Humaira," (wahai pemilik pipi kemerah-merahan), disenyumin lagi. Mau digendong, duh berat karena montok banget. Akhirnya dia pindah sendiri. Heee, untung lucu banget anaknya. Nggak bisa bete deh jadinya. 
Tempat wudhu di Masjid Nabawi
Para orang tua sengaja mengenalkan anak-anak dari kecil ke Masjid Nabawi agar mereka mencintai Masjid. Sayangnya negara kita terlalu jauh dari Tanah Haram, jadi kalau mau membawa anak-anak harus mikir-mikir dulu duitnya. Sungguh beruntung ya negara-negara yang dekat dengan Arab Saudi. Mereka mengajarkan anak-anak untuk betaqwa kepada Allah langsung di 2 Masjid paling suci di dunia. Mari cari duit banyak-banyak supaya bisa bawa anak-anak bersujud di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram agar mereka bertaqwa dan rendah hati.

Shalat Jumat
Ini pertama kalinya saya shalat Jumat. Seumur hidup belum pernah shalat Jumat dan saya agak lupa tata cara shalatnya. Yang pasti, nggak boleh ngobrol kalau sedang mendengarkan khutbah dan nggak boleh main hp (karena saya suka tiba-tiba merekam video). Jamaah Masjid Nabawi ketika shalat Jumat bisa bertambah 3 kali lipat dari biasanya. Untung saya dan keluarga cepat datang ke Masjid (karena hotel deket banget) dan bisa mendapatkan tempat di dalam Masjid.
Kayak pake mahkota
Sewaktu khutbah Jumat, karena Mama duduk di saf belakang saya, saya menoleh ke Mama dan Mama langsung menaruh jari di bibir tanda menyuruh diam. Saya langsung diam bahkan setengah menahan napas, hahaha. Sampai berpikir boleh bergerak nggak ya? Karena kan kalau shalat biasa nggak boleh gerak-gerak. Saya mendengarkan khutbah dengan bahasa Arab tapi beberapa ada kata-kata yang saya tahu maksudnya. Ada juga penggalan hadist yang pernah saya dengar juga.
Pilar-pilar Nabawi
Enaknya shalat Jumat adalah cowok-cowok seluruh Madinah pada datang ke Masjid. Nah, bisa sekalian cuci mata karena ganteng-ganteng banget deh. Kalian juga bisa melihat mobil yang keluar dari parkiran Masjid mewah-mewah banget dan pemandangan ini nggak bisa dilihat di hari biasa. Oh ya, baru di Masjid Nabawi saya baca surah Al-Kahfi di hari Jumat dan saya baru tahu kalau keutamaannya sangat besar. Mungkin karena biasanya kita dengar di Indonesia pada baca Yasin di malam Jumat.

“Siapa yang membaca dari Surah Al-Kahfi, maka jadilah baginya cahaya dari kepala hingga kakinya dan siapa yang membaca keseluruhannya, maka jadilah baginya cahaya antara langit dan bumi,” (HR Ahmad).
"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'atiq." (HR Al-Hakim) 

Setoran Hafalan Al-Qur'an
Setiap shalat Shubuh, saya dan Mama pasti mengambil saf di pojokan yang berbatasan dengan saf laki-laki karena pasti sepi. Memang sih 15 menit sebelum adzan Shubuh tiba-tiba saf langsung penuh dan saya bingung sendiri melihat seketika banyak orang. Saya dan Mama biasanya datang ke Masjid untuk Shalat Shubuh di adzan pertama (Masjid Nabawi ada 2 adzan ketika Shubuh) agar bisa shalat Tahajjud dulu atau mengaji sampai adzan Shubuh beneran. Kalau nggak ngaji, saya bersandar di kaki Mama (karena Mama duduk di kursi untuk Shalat) dan tidur. Shubuh adalah waktu paling ngantuk sedunia deh, tapi harus ditahan karena pahalanya besar. 
Barisan shalat Shubuh di pojokan
“Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh).” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no.632)

Nah, setelah shalat Shubuh, pasti ada para wanita berbaju hitam mulai membentuk lingkaran. Ada satu guru di tengah dan murid-murid mulai secara bergantian mengaji lalu menyetor hafalan Al-Qur'an. Terkadang saya sengaja duduk di dekat mereka untuk merekam video. Jangan sampai ketahuan ya, karena gurunya galak. Kalian bisa melihat pemandangan ini setiap pagi setelah shalat Shubuh. Kalau bukan karena buru-buru mau sarapan, rasanya mau diam aja di dalam Masjid sampai waktu Dhuha. Kalau beruntung, kalian bisa melihat kubah mesjid otomatis terbuka dan masuklah udara dingin ke dalam masjid. Seketika udara di dalam Masjid jadi fresh yang sebelumnya agak pengab karena ramainya orang dan aliran udara hanya dari pintu Masjid.
Yeay, kubah terbuka
Shalat Sunnah
Shalat Sunnah yang biasa saya lakukan hanya shalat Fajar dan Dhuha. Selain itu jarang banget kecuali memang sedang berada masjid. Di Masjid Nabawi, saya sampai menghafal semua shalat sunnah muakad karena memang semua jamaah mengerjakannya. Masa' mereka pada shalat, saya diem doang?! Kan aneh. Akhirnya bertanya pada Mama shalat sunnah mana saja yang Muakad. Kalau ragu, kami buka hadist lagi. Ada beberapa hadist tentang shalat rawatib, tapi kalian bisa memilih yang mana saja karena semuanya benar.
Pose sebelum shalat
“Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)
“Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

Selain shalat rawatib, shalat yg jarang saya tinggalkan adalah shalat jenazah. Awal tiba di Masjid Nabawi, saya nggak shalat jenazah karena lupa bacaannya. Setelah menghafal lagi, jadi shalat terus deh. Lagian, masa semua jamah pada shalat dan saya nggak? (Nggak mau kalah).

Saf Shalat
Sebenarnya, shalat harus dengan saf rapat dan lurus. Tapi karena ramainya jamaah, berbeda cara shalat, nggak kenal satu sama lain, perbedaan bahasa, agak susah menyuruh orang di kiri dan kanan untuk merapatkan saf. Alhasil, kami lebih sering shalat di dekat jamaah dari Indonesia, Malaysia, atau Singapura. Situasi seperti ini kalau shalat di pelataran Masjid.
Saf agak amburadul
Saf diatas karpet
Lain halnya kalau shalat di dalam Masjid yang safnya rapaaaat banget. Kadang udah sempit, masih aja di sela sama orang. Kalau nggak mau geser atau maju ke depan, nanti petugas (polisi) masjid mulai teriak-teriak pakai bahasa Arab. Kalau kita cuekin aja karena nggak ngerti dia bilang apa, pasti petugasnya ngucap, "La Haula wa la Quwwata illa billah" tapi sambil marah-marah. Tambah bingung 'kan? Kenapa mengucap itu sambil marah ya?

Berikut catatan keseharian saya yang lain supaya saya nggak lupa:
  • Saya hampir selalu pakai kacamata hitam kalau shalat Zuhur dan Ashar di luar mesjid. Awalnya agak aneh shalat pakai kacamata, tapi memang mata saya gampang berair kalau silau sedikit saja.
  • Saya suka shalat gaya orang Turki dengan pakai abaya dan nggak begitu suka pakai mukenah. Semula karena mau ikut-ikutan gaya shalat orang-orang dari negara-negara selain Asia Tenggara yang nggak pakai mukenah. Lama-lama jadi keterusan.
  • Semalam sebelum ke Mekkah, saya demam dan tenggorokan gatel banget.  Alhasil, suara serak dan dilanda batuk sampai pulang ke Indonesia.
  • Paling suka melihat matahari terbit di Masjid Nabawi dan merekamnya untuk dibagikan di Instagram Story. Sebenarnya waktu matahari tenggelam bagus juga, tapi saya lebih suka sunrise.
  • Seharusnya saya membawa banyak baju yang berwarna gelap.
  • Payung-payung Masjid Nabawi sama sekali nggak terbuka selama saya disana. Sedih banget deh, padahal itu hal yang paling ditunggu. Ketika saya baca kabar di internet, ada sedikit kerusakan di payung dan teknisinya yang dari Jerman belum bisa didatangkan. Ustadzah yang membawa saya ke Raudhah sih bilang payung nggak terbuka karena musim dingin. Hmmm semoga cepat terbuka lagi payungnya. 
Minum dulu ya, haus! Tapi ini bukan zam-zam
Menurut saya, semua hal yang terjadi di Masjid Nabawi seperti pesantren kilat buat saya yang kebanyakan udah lupa tentang hal-hal yang mendukung ibadah. Situasi disini semua bisa diambil pelajaran untuk orang-orang yang berpikir. Mungkin hal ini juga menjadi bekal saya untuk menuju Masjidil Haram, tempat paling mulia di dunia. Sebelum ke Mekkah, saya agak bingung ketika beberes karena koper mulai terasa kecil dan barang saya lumayan berantakan diatas kasur. Untung adik saya cowok dan biasanya cowok kan barangnya sedikit. Jadi masih bisa nitip barang di koper dia. Itu pun bawaan kami mulai beranak-pinak.

Di postingan berikutnya akan saya tuliskan tentang umrah. 

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً 

"Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berumrah."

Januari 24, 2017

Berziarah di Madinah

Baru sempat melanjutkan postingan lagi tentang Madinah. Kali ini saya memposting blog dengan menggunakan laptop dan internet super kenceng, jadinya lebih semangat mengetik-ngetik, hihihi. Saya akan bercerita tentang beberapa tempat yang penuh sejarah yang saya kunjungi di salah satu kota Tanah Haram ini. Nggak semua tempat saya masuki karena ada yang memang cuma ditunjukkan dari dalam bus saja. Sebelum ke Tanah Haram, saya memang sengaja membaca 3 buku tentang Mekkah dan Madinah sampai tamat supaya nggak nge-blank banget ketika berziarah. Lagian memang ingin membekali diri juga dengan pengetahuan tentang islam. Baiklah, mari disimak.
Nunggu di lobi mau jalan-jalan
Naik bus
Masjid Quba
Masjid ini adalah yang pertama dibangun Rasulullah SAW dan sangat ramai dikunjungi oleh para jamaah. Apalagi kalau berkunjung ke mesjid ini hari Sabtu, beuuuh ramenya. Hari biasa aja rame, apalagi hari Sabtu. Kenapa Sabtu dan kenapa masjid ini ramai dikunjungi? Berikut petikan hadistnya.
Masjid Quba dengan langit biru
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang telah bersuci (berwudhu di rumahnya, kemudian mendatangi Masjid Quba lalu shalat di dalamnya dua rakaat, maka baginya sama dengan pahala umrah." (Sunan ibn Majah, no 1412).
Dahulu Rasulullah SAW mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki atau berkendaraan kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rekaat. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim].

Kalau dilihat dari arsitektur bangunan, hampir sama dengan mesjid kebanyakan di Madinah. Nggak bisa dibandingin dengan Masjid Nabawi yang sangat indah karena memang Masjid utama. Sewaktu saya kesini, dari luar terlihat jamaahnya padat banget, tapi ketika udah masuk mesjid malah lengang. Nggak tau ya, mungkin banyak yang memilih shalat di luar karena mereka mengira nggak ada tempat shalat di dalam.

Kebun Kurma
Seharusnya kami ke Masjid Quba dulu, baru ke kebun kurma. Karena pengunjung Masjid Quba terlalu ramai, maka kami ke kebun kurma terlebih dahulu. Karena memang rute perjalanan setiap travel umrah pasti mengunjungi masjid dulu baru kebun kurma. Jadi kita antimainstream biar di kebun kurma sepi, di mesjid juga sepi (walaupun nggak sepi juga). Paling nggak bus kita bisa parkir. 
Rameee
Ustadz sudah mengingatkan kalau beli kurma disini tuh harganya mahal tapi teteuppp aja yang beli berduyun-duyun. Berhubung saya nggak ada duit juga, jadi saya hanya mencicipi beberapa kurma nabi (yang paling mahal) lalu keluar. Sebenarnya agak males juga mencicipi kurma langsung karena banyak banget tangan-tangan orang yang megang kurmanya. Takut kurmanya jadi kotor dan malah kita makan.
Ke kebun kurma
Di luar toko, ada yang menjual kurma muda seperti anggur yang dingin (dikeluarin dari kulkas). Duh rasanya enak banget. Ntah berapa biji yang saya makan dan akhirnya Mama beli juga kurmanya (mungkin karena melihat saya dan adik makannya lahap banget). Beneran enak banget deh, rasa anggur (kurma rasa anggur😅). Selebihnya saya hanya berfoto saja di dekat batang kurma. Sebenarnya nggak begitu bagus pemandangannya, karena nggak ada kurma di pohon. Agak aneh aja berfoto dengan batang kurma buat apaan coba, hahaha.
Beli kurma rasa anggur
Museum
Saya berkunjung ke beberapa Museum yang ada di sekitar Masjid Nabawi. Sebenarnya saya agak bingung juga dengan informasi yang saya dapat dari dalam Museum selain dari cerita perjalanan Rasulullah, Masjid Nabawi dulunya seperti apa, dan beberapa kaligrafi. Menarik banget sih, tapi pengunjungnya terlalu rame. Yah mau 'gimana lagi, semua tempat apa pun itu di Madinah dan Mekkah memang super duper rame. Lagi asik baca keterangan di gambar, eh ada orang yang mau berfoto dan saya harus geser deh.
Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW
Masjid Nabawi tempo dulu
Mama dan Mami
Kebun kurma juga
Ustadz kami nggak ikut masuk ke dalam museum yang pertama, sedangkan ustadz yang menjelaskan isi museum suaranya nggak jelas. Bahkan saya sama sekali nggak tau beliau ngomong apaan ya. Jadinya saya cuma berfoto saja di dalam museum. Di museum ini saya bertemu dengan mantan bos di Hyperintel dulu. Kebetulan banget ya.
Kaligrafi super keren
Oh ya, sebelum ke museum, kami sempat mampir di tempat Abu Bakar As-Siddiq di bai'at menjadi khalifah pengganti Rasulullah SAW. Sebenarnya nggak ada apa-apa sih di tempat ini, jadi saya hanya mengambil foto dari depan pagar aja ya. Foto-foto yang lain ada sih, cuma agak narsis, hihihi.
Tempat Abu Bakar diangkat menjadi khalifah
Baqi'
Tempat ini adalah pemakaman utama di Madinah. Banyak sekali orang-orang penting dalam sejarah islam di makamkan disini seperti keluarga Nabi dan sahabat Nabi. Saya penasaran ingin melihat dari dekat pemakamannya tapi hari itu pemakaman ditutup. Memang kalian nggak akan mengetahui siapa yang di kuburkan di dalamnya karena hanya ada batu penanda saja bukan batu nisan. 
Di pintu Baqi'
Jangan lupa mengucap salam di Baqi':
السّلاَمُ عَلَيْكُم دَارَ قَومٍ مُؤْمِنِيْنَ
"Salam sejahtera keatas kamu wahai tempat tinggal orang-orang yang beriman."

Dan kepada Khalifah Utsman bin Affan:

السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا ذَا النُّورَيْنِ عُثْمَانَ ابْنِ عَفَّانَ
"Salam sejahtera ke atas engkau wahai Saidina Utsman bin Affan yang mempunyai dua cahaya."

Masjid Khulafaur Rasyidin
Kalian bisa melihat suatu kawasan dimana ada Masjid Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman. Kata ustadz, masjid-masjid ini tidak digunakan untuk shalat dan dibangun hanya untuk mengingatkan kita kalau dulunya mesjid ini adalah rumah para sahabat Rasulullah.
Mesjid-mesjid
Awalnya saya ingin shalat di dalamnya, tapi memang nggak bisa. Saya juga sempat bingung kenapa banyak masjid di Madinah itu nggak ada jamaahnya. Ternyata karena masyarakat disini memang memilih untuk shalat di Masjid Nabawi karena pahalanya 1000 kali lipat dari masjid biasa. Makanya setiap ziarah, ustadz selalu mengusahakan agar kita bisa shalat tiap waktu di Masjid Nabawi walaupun harus masbuq (telat shalat berjamaah satu rakaat atau lebih).

Beberapa tempat penting ada yang tidak sempat kami kunjungi tapi hanya melihatnya dari dalam bus, seperti Masjid Qiblatain (Masjid dengan 2 kiblat) dan Jabal Uhud. Padahal dua tempat ini bersejarah banget apalagi Jabal Uhud. Sayang banget kami nggak turun disini karena takut telat shalat Zuhur di Masjid Nabawi. Insya Allah kalau nanti umroh lagi mau turun disitu.
Jabal Uhud
Banyak juga yang turun di Jabal Uhud
Oke, nanti saya posting lagi ya. Sampai jumpa!

Januari 19, 2017

Belanja dan Nongkrong di Madinah

Kali ini saya akan membahas pengalaman belanja-belanji di Madinah. Saya nggak akan menceritakan pengalaman saya hari demi hari karena nggak setiap hari juga belanja, tapi saya rangkum dari hari pertama sampai hari terakhir dalam satu postingan. Salah satu yang paling saya suka setiap jalan-jalan ke luar negeri adalah belanja. Berhubung saya sedang kere, jadi kemana-mana harus ngajakin Mama atau adek untuk minta dibayarin, hihihi. Yang paling seru kalau sedang belanja bareng saudara-saudara, jadi bisa beli banyak dengan harga murah.
Beli sajadah
Pertama:
Saya agak kaget ketika tau hampir semua pedagang di Madinah bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia. "Sepuluh riyal, sepuluh riyal, halal!" Saya mengernyit, kok halal? Dan yang mengherankan, udah harga barang sepuluh riyal, eh malah ada yang nawar sampai lima riyal, dan 'halal' juga. Tapi kebanyakan orang Arab agak emosional. Kalau kita udah menawar terlalu murah (agak nggak tau diri juga sih), mereka bisa marah sambil nunjuk-nunjuk kita dan bilang, "anta tidak faham". Untung saya paling malas nawar barang, jadi nggak pernah ditunjuk-tunjuk sama pedagang. Tapi ada juga udah nawar berapa, pas saya ngasih duit gede, eh dikembaliinnya malah kurang. Saya bilang aja ke pedagangnya kalau uang yang dikembalikan itu 'haram'😑😑.

Kedua:
Paling malas karena punya wajah keturunan Arab. Hampir setiap mampir ke sebuah toko, pasti pedagang bilang, "Masya Allah, orang Arab!" Biasa saya pasti menjawab, "My Dad is Arab." Pedagang lalu melihat Mama dan bilang, "Jadi ini ibu mertua?" 😑😑Mertua siapaaa coba?! Kalau lagi mood, kadang kita ngobrol sama pedagangnya sambil menawar barang. Mereka pasti bertanya saya sudah punya suami apa belum? Kadang saya jawab udah punya anak 3. Tapi Mama lebih sering menyuruh mereka menebak umur saya dan tebakan mereka umur saya masih 20 tahun. Hampir semua pedagang percaya kalau umur saya 20 tahun. Kenapa bisa jadi muda banget ya??? 😂😂😂Mungkin karena muka saya imut-imut, hahaha. Kadang-kadang para pedagang bertanya nama saya, dan Mama pasti menjawab nama saya Fatimah. Selalu Fatimah deh pokoknya dimana-mana. Biasanya kalau udah mulai bertanya nama, pasti udah mau ngasih harga murah ke barang dagangan. Kadang disitulah kesempatan untuk belanja yang banyak.
Jejeran toko
Ketiga:
Suatu hari saya belanja bersama adik saya (namanya Achmad) di Bin Dawood. Karena males terlalu sering digodain sama pedagang, saya pegang lengan Achmad dan mengajaknya untuk menemani saya berkeliling toko. Ada seorang pedagang mengajak ngobrol.
"Istri? tanyanya sambil menunjuk saya dan adik jawab, "Bukan, ini sister."
Pedagang nanya lagi ke adik, "Kamu sudah punya istri?" dan Achmad menjawab belum.
"Berapa umur kamu?" tanyanya dan adik menjawab, "26."
"Apa? 26 belum punya istri?" tanya pedagang heran.
"Emangnya kamu udah punya?" tanya Achmad sambil senyum-senyum.
"Saya sudah punya DUA!" sambil menunjukkan 2 jari, "Dan umur saya baru 22." 😱😱
Saya dan Achmad langsung tertawa ngakak. Sialan bener deh pedagang yang satu ini. Ntah beneran istrinya udah dua, ntah bohongan.

Keempat:
Pernah saya nggak mau ikut Mama belanja ke pedagang sajadah yang sama karena digodain terus😌😌😌. Udah pake kacamata hitam, masih aja digodain. Beberapa kali saya coba pakai kerudung dan saya bikin seperti cadar. Tapi karena nggak nyaman, saya buka lagi deh. Jadinya saya pergi ke toko lain dengan sepupu saya untuk belanja. Sebenarnya orang Arab cakep-cakep banget sih. Kulitnya putih, matanya bagus dan seperti pakai eyeliner, hidungnya mancung, tapi kebanyakan pada suka ngegodain. Berhubung saya nggak suka cowok-cowok cheesy secakep apa pun apalagi cheesy-nya cuma untuk melariskan barang dagangan, jadi males deh.

Kelima:
Saya beli Abaya dari Dubai di sebuah toko. Awalnya harganya 180 riyal tapi dengan kemampuan Mama yang jago banget nawar dan penjualnya udah capek (katanya), saya dapat Abaya hanya dengan harga 130 riyal. Besoknya saya langsung pakai Abayanya untuk berfoto di seluruh sudut Mesjid Nabawi, hihihi. Sebenarnya saya nggak suka pakai Abaya, tapi ketika melihat banyak orang Turki dan Dubai yang pake dan ternyata keren banget, jadilah saya beli. Lagian bisa dipakai untuk shalat juga karena nggak membentuk badan. Kalau adik saya beli gamis untuk cowok dan penutup kepala supaya terlihat total seperti orang Arab.

Keenam:
Ketika membeli kurma dan pedagangnya bilang "Sayang," ke Mama dan tante saya. Disitu saya ngakak banget😂😂. "Mau beli berapa, Sayang?" Saya sih dengernya jijay banget karena agak nggak pantes cowok dengan usia mungkin dibawah 25 tahun bilang "sayang" ke Mama dan tante saya. Saya jadi nggak bisa milih kurma karena ngakak terus, dan Mama saya ngomel ke penjualnya karena nggak mau dipanggil, "sayang." Hahahaha! Adik saya juga dipanggil "ganteng". Kan jijay dipanggil ganteng sama cowok juga😂😂. "Mau yang mana, ganteng?" Kalau di Indonesia udah disangkain 'homo' kali ya dan adik saya merasa jijay sendiri, lalu keluar dari toko. It was so absurd.

Ketujuh:
Terkadang saya suka eksplor lorong-lorong kota dan menemukan banyak pedagang. Seharusnya semakin jauh tempat berjualan, harga barang semakin murah dong ya. 'Kan pembelinya sepi. Ini malah kebalikannya. Mana toko-toko yang jauh itu kadang susah banget ditawar harganya. Yang paling asyik ketika saya menemukan pasar dimana pedagangnya banyak wanita bercadar. Saya senang kalau pedagangnya wanita karena nggak usah takut digodain, tapi kebanyakan dari mereka nggak bisa bahasa Indonesia. Kalau di sekitar mesjid, pedagangnya pasti laki-laki dan lancar berbahasa Indonesia.

Kedelapan:
Saya sempat mengajak adik saya untuk nongkrong di hari pertama ketika tiba di Madinah. Ternyata hampir nggak ada cewek yang nongkrong di kota itu dan kebanyakan dari mereka pun kalau beli makanan untuk di bawa pulang. Awalnya saya pergi ke Starbucks untuk nongkrong dan beli tumbler. Ternyata Starbucks hanya menjual minuman dan cemilan saja. Beli Starbucks cuma untuk nongkrong di pelataran mesjid sambil menikmati matahari terbit yang sangat indah.
Es Krim
Saya sempat beli es krim di pinggir jalan tapi rasanya nggak begitu enak. Mana mahal lagi 20 riyal. Adik saya juga pernah membeli kebab dan nggak terlalu enak juga. Lebih enak kebab di Indonesia, hahaha. Setelah beli kebab, adik saya bukan nongkrong di tokonya, tapi jalan ke tempat lain untuk makan. Bahkan kadang beli kebab untuk di bawa pulang ke hotel. Kami juga sempat jajan di supermarket Bin Dawood untuk beli coklat dan cemilan yang sama sekali nggak ada di Indonesia. Kebanyakan harga coklat hanya 1 riyal dan kami jadi bisa borong yang banyak.

Kesembilan:
Oleh-oleh yang paling bagus untuk teman-teman muslim dan saudara saya adalah sajadah. Di Madinah sajadahnya bagus-bagus bangetttt apalagi yang dari Turki. Kebayang kayaknya kalau saya ke Turki bakalan borong sajadah, hahaha. Yang bingung adalah oleh-oleh untuk teman nonmuslim. Mau kirim kartu pos, di Madinah dan Mekkah nggak ada kantor pos. Kok aneh banget? Palingan saya beli magnet kulkas saja, hihihi.

Ternyata hanya 9 point yang saya bisa highlight ketika belanja dan nongkrong di Madinah. Sempat berpikir keras untuk mendapatkan point ke 10 ternyata nggak ada. Memang waktu nggak terlalu banyak untuk belanja karena nggak bawa duit banyak dan koper yang disediakan Travel juga agak kecil. Oke, nanti saya lanjutkan lagi postingannya. Sampai jumpa!

Januari 18, 2017

Menuju Raudhah

Sekitar pukul 6.30 malam waktu Madinah, saya dan Mama berjalan memasuki pelataran Masjid Nabawi untuk shalat Isya berjamaah. Karena Magrib Mama lelah, jadi kami baru bisa pergi sewaktu Isya. Hal yang paling menakjubkan adalah begitu ramainya orang di masjid ini. Mereka menjadikan Masjid tempat untuk mengobrol, bermain, makan, disamping untuk menimba ilmu agama. Saya dan Mama suka duduk di pelataran mesjid sekalian bertanya banyak hal tentang ilmu agama pada Mama yang mungkin saya sudah lupa. Kebetulan Mama saya S. Ag, Sarjana Alam Ghaib, hahaha. Nggak kok, Sarjana Agama.

Setelah shalat Isya, saya dan Mama langsung pulang ke hotel. Ustadz bilang, malam ini kami akan mengunjungi Raudhah (salah satu tempat paling mustajab berdoa dan salah satu tujuan utama di mesjid Nabawi) pukul 8.30 malam sedangkan beres shalat Isya saja sudah pukul 8 malam. Belum lagi antrian lift 15 menit, sehingga tiba di ruang makan saja sudah telat. Saya dan Mama buru-buru makan malam. Beberapa saat kemudian tante dan sepupu saya bilang kalau Ustadzah yang menemani kami ke Raudhah sudah siap tapi beliau mau menunggu kami sampai siap makan malam. Malah disuruh makan yang banyak, hihihi.
Kubah Hijau, rumah dan makam Rasulullah ﷺ
Selesai makan malam, kami berkumpul di lobi. Beberapa rombongan travel Belangi sudah pada 'ngumpul juga dan kita bersiap ke Masjid Nabawi. Sebelum memasuki masjid, ustadzah bilang kalau kami harus terus bersama-sama (stick together) karena Raudhah pada jam-jam dimana wanita diperbolehkan masuk itu padatnya luarrr biasaa. Kalau jamaah Pria lebih enak karena waktunya lebih banyak dan juga bisa shalat wajib/sunnah langsung di Raudhah. Kami pun berbaris rapi dibelakang ustadzah dan mengikuti beliau berjalan masuk ke Raudhah. Sebagai informasi, jam berkunjung Raudhah untuk wanita adalah jam 7-9 pagi, 1-3 siang, 9-11 malam (kalau nggak salah ingat).

Apa itu Raudhah? Sebuah taman surga yang berada diantara rumah Rasulullah dan mimbar beliau. Sangat dianjurkan beribadah di dalamnya karena seperti sedang beribadah di dalam surga. Seperti yang kita ketahui bahwa Nabi Muhammad  dimakamkan di rumahnya dan kubah hijau di Masjid Nabawi itu penanda kalau dibawahnya itu adalah tempat Makam dan Rumah Nabi Muhammad ﷺ bersama istrinya Aisyah.

"Di antara rumahku dan mimbarku terletak sebuah raudhah (taman) dari taman-taman surga. Mimbarku ada di atas telagaku." (HR Abu Hurairah RA)
“Allah tidak mencabut ruh seorang nabi kecuali di tempat yang dia (nabi tersebut) ingin supaya dia dikuburkan disitu” (HR. At-Tirmidzi)

Dari pintu utama Masjid Nabawi, kita hanya tinggal berjalan lurusss saja dan nanti akan menemukan payung-payung karena langsung beratapkan langit (open space). Saya kaget melihat banyak sekali jamaah wanita yang sedang menunggu giliran memasuki Raudhah. Ustadzah menyuruh kami untuk duduk tertib menunggu giliran dan kami hanya menurut saja. Saya hanya memperhatikan orang-orang berlalu-lalang melalui celah-celah kami duduk. Yang agak stupid adalah, mereka bertumpu pada kepala kita untuk meminta jalan. Memang bukan kepala saya sih, tapi itu 'kan nggak sopan banget. Apa hal itu nggak sopan cuma di Asia Tenggara doang ya? Karena beberapa orang dari negara lain santai aja dipegang kepalanya sebagai tempat bertumpu. 
Kubah hijau difoto dari pelataran mesjid
Dari tempat duduk, kami sudah bisa melihat pintu makam Rasulullah. Perasaan saya langsung membuncah, antara rasa kagum, tidak percaya, dan penasaran. Gimana nggak, makam Rasullullah, Abu Bakar As Siddiq, dan Umar Bin Khatab yang biasa hanya bisa saya kagumi melalui buku dan cerita-cerita, sekarang hanya beberapa meter saja dari saya. Mungkin agak susah mendeskripsikannya perasaan saya karena beberapa kali saya terdiam berpikir dan memberi salam. 

Assalamu'alaika yaa Rasulullah...

Karena tante saya agak kurang sehat, ustadzah mengantarkan tante dan kakak sepupu saya terlebih dahulu ke Raudhah. Maunya Mama saya juga ikut tante tapi waktu itu Mama terlihat sehat dan kita sama sekali nggak kepikiran kalau Raudhah bakalan sepadat itu. Ustadzah mencarikan kursi lipat untuk Mama dan beliau mengangkat kursi itu sampai Raudhah. Padahal kursinya berat, tapi bisa jadi penanda kami kalau tiba-tiba kehilangan rombongan, tinggal liat saja ada kursi lipat yang diangkat tinggi-tinggi. Ustadzahnya baik bangettt! Semoga Allah membalas kebaikan beliau.

Baiklah, perjalanan menuju Raudhah pun dimulai. Seperti yang kita ketahui bersama kalau karpet di Raudhah itu berwarna hijau, sedangkan seluruh karpet di Masjid Nabawi berwarna merah. Sebenarnya cukup gampang menandakan yang mana Raudhah, tapi berdesakan memasukinya itu tantangan besar. Kalian harus berlomba dengan orang-orang Afrika, Turki, Iran, dan beberapa warga negara lain yang badannya besar-besar dan tinggi. Apalah kami ini orang Indonesia yang kecil dan imut-imut (ini saya doang). Apalagi mereka terus mendesak kami agar mau memberikan jalan. Mana teriak-teriak lagi ketika mengucap salam kepada Rasulullah. Menurut saya desak-desakan seperti ini sama saja seperti berdesakan pada jam pulang kerja di KRL (Commuter Line) menuju Bogor di gerbong wanita, dimana ibu-ibu adalah penumpang paling sadis dan tanpa ampun. Atau pun, seperti suasana pasar Tanah Abang di bulan Ramadhan yang ramenya minta ampun, dimana para pedagang bawa karung dan ibu-ibu gendut menyikut kita tanpa peduli kita kesakitan apa nggak. Mungkin memang cewek-cewek kalau berdesakan begitu kali ya? Agak sadis dan menyeramkan. Tapi saya sudah terbiasa. Terbiasa di KRL, terbiasa juga di Tanah Abang, hahaha.

Yang paling kasihan mungkin Mama dan Ibu-ibu lainnya yang tidak terbiasa berdesakan. Ada gunanya juga badan saya langsing jadi bisa nyelip-nyelip dan nggak terjepit diantara perut-perut ibu-ibu gendut dan tinggi. Ada juga sih orang baik yang membuka jalan, tapi jarang banget. Selagi terus berdesak-desak, akhirnya saya melihat karpet hijau. Saya langsung menginjakkan kaki saya ke karpet seolah-olah seperti melangkah naik masuk kereta. Padahal 'kan Raudhah nggak kemana-mana tapi ya saking antusiasnya ketemu karpet hijau. Ada fenomena mengherankan lainnya dimana susah banget shalat sunnah di dalam Raudhah (sangat dianjurkan shalat di dalam Raudhah). Orang-orang pada shalat dan teman-temannya menjaga agar 'yang sedang shalat' nggak terinjak dengan desakan orang. Duh, kalau begini, bagaimana cara saya shalat khusyuk ya? Ya sudah, mumpung lagi di Raudhah, saya berdoa dulu supaya bisa shalat sunnah dan Mama saya baik-baik saja sampai pulang.

Kami berjalan sampai sudut Raudhah. Yang enaknya adalah Mama bisa duduk manis di kursi (walaupun capek banget badan Mama karena terhimpit terus) dan saya bisa shalat tanpa terlalu berdesakan bergantian dengan teman-teman satu rombongan. Selesai shalat, saya mojok ke Makam Rasulullah  dan terdiam. Ya Rasulullah, saya sangat dekat denganmu dan dua sahabatmu. Terima kasih untuk seluruh perjuanganmu dan orang-orang terdekatmu dalam menyebarkan agama islam sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat seluruh alam). Mungkin karena saya orang yang cengeng, sehingga perasaan bercampur-aduk itu bisa membuat saya menangis. Saya menyentuh pintu Makam sambil terus mengucap salam, lalu saya berdoa kepada Allah banyak-banyak (punya pray list dari teman-teman juga) karena ini adalah salah satu tempat dimana doa paling dikabulkan. Biasanya saya mengambil foto atau merekam IG Story, tapi karena terlalu berdesakan jadi nggak mood mau mengeluarkan handphone. Jadi saya mengambil foto dari Google saja ya. Saya juga melihat banyak orang yang mengusap-usap pintu Makam Nabi Muhammad, lalu membasuh muka. Ngapain ya mereka? Saya hanya mengernyit saja karena memang banyak hal aneh-aneh disana. 
Raudhah
Setelah puas berdoa, kami mulai berbaris mengikuti arus untuk pulang. Awalnya lumayan lancar arusnya, tapi ternyata macet di tengah jalan. Ada seorang wanita berpakaian hitam duduk berdoa dan nggak mau berdiri walaupun semua orang jadi macet gara-gara dia. Para ustadzah sudah memarahi wanita itu tapi dia tetap bersikeras untuk duduk dan berdoa. Jadi bingung, apa dia nggak berpikir gitu ya kalau suasana jadi super crowded gara-gara dia. Duh, cuma bisa mengelus-elus dada dan tetap berada di belakang Mama untuk menaham himpitan dari segala arah.

Akhirnya setelah desak-desakan, himpit-himpitan, kami keluar juga dari Raudhah. Fiuhhh alhamdulillah tidak berkurang satu apa pun. Kami melihat tante dan sepupu yang ternyata sangat aman damai tentram dalam memasuki Raudhah. Mungkin karena masih awal jam masuk Raudhah dan mereka masuk melalui arus pulang sehingga lumayan gampang menginjakkan kaki di karpet hijau. Kami berjalan pulang, tapi di tengah jalan sempat berhenti sebentar untuk minum air zam-zam sebanyak mungkin karena haus dan capek. Baru setelah itu berterima kasih banyak pada ustadzah yang baik hati yang telah rela berdesakan mengantarkan kami ke salah satu taman surga.

Alhamdulillah karena sudah larut malam jadi nggak usah mengantri naik lift. Sampai di kamar, saya sudah tepar. Rasanya mau ganti piyama saja udah nggak kuat lagi. Selamat tidur!

Januari 17, 2017

Hari Pertama di Madinah

Setelah shalat Shubuh, mulailah saya menjalani hari pertama di Madinah. Hotel Al-Shalihiya dari Masjid Nabawi Gate 26 hanya 100 meter saja. Kebetulan, sepanjang jalan menuju hotel banyak toko seperti H & M, Starbucks, Mothercare, MAC, dan lainnya. Banyak juga toko souvenir yang membuka lapak mendadak di sepanjang jalan dan menjual barang dengan harga murah (nggak murah-murah amat juga sih). Hal yang pertama membuat saya heran adalah semua pedagang bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia. What? Saking banyaknya jemaah umroh dari Asia Tenggara, mereka sampai lancar banget ngobrol pakai bahasa kita. 
Deretan toko
Awalnya saya mengira setelah shalat Shubuh saya bakalan jalan-jalan untuk mencari sarapan seperti yang saya lakukan biasanya ketika pergi ke luar negeri. Baru sadar kalau saya membayar paket umroh sudah dengan makan tiga kali sehari. Makanan disediakan setelah shalat Shubuh, Zuhur, dan Isya. Sebenarnya sarapan setelah shalat Shubuh (sekitar pukul 6.30 pagi) itu terlalu cepat bagi saya karena saya takut bakalan lapar lagi nanti jam 10an. Tapi mau bagaimana lagi, kita harus mengikuti aturan tour. Hal yang membuat saya agak kesal adalah antrian lift yang luarrr biasaa rame. Masya Allah, ntah berapa kali lift datang dan kami tetap nggak bisa naik ke ruang makan. Sampai akhirnya petugas hotel membuka lift barang, baru agak mendingan antrian liftnya. Yang kasihan adalah pengguna kursi roda karena harus menunggu sampai benar-benar sepi baru bisa naik lift.
Antrian lift
Setelah drama antrian di lift, saya dan keluarga tiba di ruang makan. Kaget lagi melihat begitu banyak orang yang antri makan. Duh, hanya bisa mengelus dada dan menganggap ini adalah warna-warni dalam beribadah. Kesabaran saya sedang diuji. Saya berusaha santai, menunggu antrian makan sambil chatting dan melihat Instagram, baru deh bisa ambil makan. Saya makan nasi sedikit (belum mood makan karena terlalu pagi) ditambah dengan menu yang disediakan. Kebanyakan menu yang saya makan untuk sarapan adalah telur, ayam, dan sayur. Saya terkadang makan telur sampai 3 butir (telur rebus atau ceplok) yang membuat mata saya bintitan dan nggak sembuh-sembuh, hahahaha. Saya juga suka minum teh di pagi hari tapi bikin teh itu Pe-eR besar untuk saya. Semua orang rebutan bikin teh atau susu atau kopi, rebutan air panas, dan membawa minuman ke meja makan terkadang buru-buru sehingga minuman panas hampir mengenai orang lain. Saya hanya bisa menarik napas, berusaha tenang, lalu mencari tempat makan kosong (hampir mustahil) untuk Mama dulu, baru deh saya makan sambil berdiri kalau nggak mendapatkan tempat. Baru selama di Madinah saya bisa makan dengan cepat karena malas banget melihat orang mengantri juga untuk duduk di kursi saya, OMG!

Selesai makan, drama naik lift berikutnya. Kali ini kami harus berlomba masuk lift dengan para jamaah yang membawa makanan untuk di makan di kamar. Duh, udah desak-desakan di lift, bawa makanan, kadang bawa minuman panas yang sering banget kena/tumpah ke orang lain. Saya sempat terdiam, memutar otak bagaimana caranya harus naik lift dengan berdesak-desakan seperti ini. Sampai akhirnya saya tetap memilih untuk sabar menunggu.
Lift
Sampai di kamar, saya, Mama, dan adik memilih untuk tidur. Semalam kami belum tidur dengan nyenyak sehingga masih agak pusing. Setelah tidur, mandi, shalat Dhuha (biasa shalat Dhuha di kamar hotel saja) dan bersiap akan shalat Zuhur dengan tetap menggunakan jaket dan legging Thermal karena suhu udara masih 12 derajat, walaupun sinar matahari bersinar dengan teriknya.  Oh ya, selama di Tanah Haram, saya selalu menggunakan pakaian terusan (gamis atau abaya), sama sekali tidak pernah pakai celana. Sebelum masuk waktu shalat Zuhur, kami pergi ke depan pintu utama Masjid Nabawi untuk bermain bersama ratusan burung merpati. Saya paling suka mengejar merpati dan berfoto karena pemandangan para merpati terbang bersamaan itu sungguh indah. Walaupun hasil foto beberapa ada yang backlight, tapi bisa di edit sedikit. Selesai bermain dengan merpati, kami berkeliling komplek Masjid yang ternyata luas sekali. Duh, kaki saya sampai pegal dan badan jadi letih. Mungkin karena belum cukup tidur juga.
Mengejar merpati
Berkeliling komplek mesjid
Shalat Zuhur kali ini saya dan Mama memilih untuk duduk di luar mesjid (belum sekali pun saya masuk mesjid). Rasanya pinggang mau copot dan saya senang sekali duduk-duduk di karpet tebal di pelataran mesjid. Tidak lama kemudian adzan berkumandang. Jujur saja saya hampir nggak pernah shalat Sunah Rawatib (yang menyertai shalat Fardu) ketika waktu Zuhur. Biasanya hanya shalat Fajar saja.

"Barangsiapa salat dalam sehari semalam dua belas rakaat, akan dibangun untuknya rumah di Surga, yaitu; empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah Isya dan dua rakaat sebelum salat Subuh." (HR. At-Tirmidzi)
 "Dua raka'at fajar (salat sunah yang dikerjakan sebelum shubuh) itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. " (HR Muslim)

Jadi bertanya sama Mama kalau yang Muakad (yang sangat besar pahalanya) shalat sunnah sebelum apa sesudah Zuhur? Mama bilang untuk Zuhur sebelum dan sesudah Zuhur dua-duanya Muakad, jadilah saya shalat dulu. Selang waktu dari adzan Zuhur sampai shalat berjamaah bisa sampai 30 menit sehingga kita bisa banyak-banyak berzikir dan berdoa diantara adzan dan iqamah (termasuk waktu paling mustajab berdoa). Apalagi berdoa di Masjid Nabawi adalah salah satu tempat paling mulia, jadi berdoalah banyak-banyak.

“Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu).” (HR. Ahmad)
Menara Nabawi
Shalat Zuhur lumayan cepat karena mungkin waktu dimana orang bekerja. Selesai Zuhur, imam menyerukan shalat jenazah. Kali ini saya belum shalat juga karena tiba-tiba lupa lagi bacaan shalat jenazah. Saya baru shalat jenazah di hari kedua di Madinah. Shalat rawatib juga nggak setiap waktu di hari pertama. Mungkin masih culture shock, mungkin juga masih berusaha mengubah kebiasaan yang hanya shalat Fardhu (wajib) saja dan jarang peduli dengan shalat sunnah. Anggaplah saya sedang belajar, dan saya masih butuh waktu.
Berkeliling mesjid
Setelah Zuhur, kami balik ke hotel dan mulai malas dengan antrian lift yang akan kami hadapi. Kalau lift barang terbuka, maka kami bisa dengan cepat naik ke ruang makan atau naik ke kamar. Tapi kesabaran memang sungguh sangat diuji dan untung saja saya orangnya sabar. Teringat dulu rela nungguin teman facial berjam-jam dan saya nggak ngapa-ngapain, dan saya juga betah diam berlama-lama tanpa melakukan apa pun. Tapi Mama dan beberapa tante saya yang kasihan. Karena mikirin mereka harus naik lift, terpaksalah mengantri dan benar-benar menjaga antrian sampai di depan pintu. Huff, lelah sekali! Dan ini baru hari pertama. Sabar... Sabar...! Sampai di ruang makan, buru-buru makan, lalu mengantri lift lagi untuk naik ke kamar. Dengan sedikit berdesakan, alhamdulillah berhasil juga masuk ke kamar.

Waktu Zuhur ke Ashar lumayan singkat. Mungkin hanya satu jam setelah makan siang, mulai adzan Ashar. Ketika kami sudah bersiap mau pergi ke mesjid karena takut mengantri lift, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dan petugas hotel menyuruh kami untuk pindah ke kamar di lantai 2. Saya bilang pada petugas kalau mau pindah kamar setelah shalat Ashar dan mereka nggak mau menunggu. Untung saja belum banyak barang yang dikeluarkan dari koper sehingga saya, Mama, dan adik bisa cepat beberes dan pindah kamar. Tante-tante dan sepupu saya bersikeras nggak mau pindahan karena mau shalat Ashar dulu. Karena kami merasa nggak punya pilihan lain, kami turun ke lantai 2, menaruh koper, dan langsung buru-buru ke mesjid. Untung antara adzan dan iqamah lumayan lama waktunya sehingga masih keburu shalat Ashar berjamaah.
Minum Zam-Zam
Selesai Ashar, saya dan Mama balik ke kamar hotel karena Mama mulai sakit kaki. Kasihan kalau nanti Mama malah sakit jadi harus buru-buru istirahat. Karena terlalu capek juga Mama nggak shalat Magrib ke Masjid. Saya terpaksa harus menemani Mama karena Mama nggak berani sendiri di kamar hotel. Baiklah, kesehatan lebih penting karena kita masih lama banget di Madinah. Cuma agak bosan di kamar hotel karena nggak ada WIFI. Keluarga saya hanya beli satu kartu Arab Saudi dan kami pakai internet secara tethering ke semua hp karena mahal banget paket data disana, sekitar 200rban dengan quota hanya 5 Giga. Untung saya sedang nggak banyak kerjaan sehingga nggak usah online tiap waktu. Palingan hanya update social media saja dan itu pun nggak bisa tiap saat. Liat Insta Story orang lain aja lemottt setengah mati dan kadang saya memang nggak mau nge-klik IG Story karena takut cepat habis quota (Instagram adalah aplikasi penyerap quota internet terbesar setelah Facebook). Jadi jangan marah kalau saya nggak lihat IG Story, jarang balas Whatsapp dan email, jarang buka social media pokoknya. Memang suasana dengan sendirinya memaksa kita hanya untuk beribadah kepada Allah.

Baiklah, postingan kali ini sudah sangat panjang. Nanti saya cerita lagi betapa sulitnya memasuki Raudhah. Sampai jumpa!

Follow me

My Trip