Setelah shalat Shubuh, mulailah saya menjalani hari pertama di Madinah. Hotel Al-Shalihiya dari Masjid Nabawi Gate 26 hanya 100 meter saja. Kebetulan, sepanjang jalan menuju hotel banyak toko seperti H & M, Starbucks, Mothercare, MAC, dan lainnya. Banyak juga toko souvenir yang membuka lapak mendadak di sepanjang jalan dan menjual barang dengan harga murah (nggak murah-murah amat juga sih). Hal yang pertama membuat saya heran adalah semua pedagang bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia. What? Saking banyaknya jemaah umroh dari Asia Tenggara, mereka sampai lancar banget ngobrol pakai bahasa kita.
Deretan toko |
Awalnya saya mengira setelah shalat Shubuh saya bakalan jalan-jalan untuk mencari sarapan seperti yang saya lakukan biasanya ketika pergi ke luar negeri. Baru sadar kalau saya membayar paket umroh sudah dengan makan tiga kali sehari. Makanan disediakan setelah shalat Shubuh, Zuhur, dan Isya. Sebenarnya sarapan setelah shalat Shubuh (sekitar pukul 6.30 pagi) itu terlalu cepat bagi saya karena saya takut bakalan lapar lagi nanti jam 10an. Tapi mau bagaimana lagi, kita harus mengikuti aturan tour. Hal yang membuat saya agak kesal adalah antrian lift yang luarrr biasaa rame. Masya Allah, ntah berapa kali lift datang dan kami tetap nggak bisa naik ke ruang makan. Sampai akhirnya petugas hotel membuka lift barang, baru agak mendingan antrian liftnya. Yang kasihan adalah pengguna kursi roda karena harus menunggu sampai benar-benar sepi baru bisa naik lift.
![]() |
Antrian lift |
Setelah drama antrian di lift, saya dan keluarga tiba di ruang makan. Kaget lagi melihat begitu banyak orang yang antri makan. Duh, hanya bisa mengelus dada dan menganggap ini adalah warna-warni dalam beribadah. Kesabaran saya sedang diuji. Saya berusaha santai, menunggu antrian makan sambil chatting dan melihat Instagram, baru deh bisa ambil makan. Saya makan nasi sedikit (belum mood makan karena terlalu pagi) ditambah dengan menu yang disediakan. Kebanyakan menu yang saya makan untuk sarapan adalah telur, ayam, dan sayur. Saya terkadang makan telur sampai 3 butir (telur rebus atau ceplok) yang membuat mata saya bintitan dan nggak sembuh-sembuh, hahahaha. Saya juga suka minum teh di pagi hari tapi bikin teh itu Pe-eR besar untuk saya. Semua orang rebutan bikin teh atau susu atau kopi, rebutan air panas, dan membawa minuman ke meja makan terkadang buru-buru sehingga minuman panas hampir mengenai orang lain. Saya hanya bisa menarik napas, berusaha tenang, lalu mencari tempat makan kosong (hampir mustahil) untuk Mama dulu, baru deh saya makan sambil berdiri kalau nggak mendapatkan tempat. Baru selama di Madinah saya bisa makan dengan cepat karena malas banget melihat orang mengantri juga untuk duduk di kursi saya, OMG!
Selesai makan, drama naik lift berikutnya. Kali ini kami harus berlomba masuk lift dengan para jamaah yang membawa makanan untuk di makan di kamar. Duh, udah desak-desakan di lift, bawa makanan, kadang bawa minuman panas yang sering banget kena/tumpah ke orang lain. Saya sempat terdiam, memutar otak bagaimana caranya harus naik lift dengan berdesak-desakan seperti ini. Sampai akhirnya saya tetap memilih untuk sabar menunggu.
Lift |
Mengejar merpati |
Berkeliling komplek mesjid |
Shalat Zuhur kali ini saya dan Mama memilih untuk duduk di luar mesjid (belum sekali pun saya masuk mesjid). Rasanya pinggang mau copot dan saya senang sekali duduk-duduk di karpet tebal di pelataran mesjid. Tidak lama kemudian adzan berkumandang. Jujur saja saya hampir nggak pernah shalat Sunah Rawatib (yang menyertai shalat Fardu) ketika waktu Zuhur. Biasanya hanya shalat Fajar saja.
"Barangsiapa salat dalam sehari semalam dua belas rakaat, akan dibangun untuknya rumah di Surga, yaitu; empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah Isya dan dua rakaat sebelum salat Subuh." (HR. At-Tirmidzi)
"Dua raka'at fajar (salat sunah yang dikerjakan sebelum shubuh) itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. " (HR Muslim)
Jadi bertanya sama Mama kalau yang Muakad (yang sangat besar pahalanya) shalat sunnah sebelum apa sesudah Zuhur? Mama bilang untuk Zuhur sebelum dan sesudah Zuhur dua-duanya Muakad, jadilah saya shalat dulu. Selang waktu dari adzan Zuhur sampai shalat berjamaah bisa sampai 30 menit sehingga kita bisa banyak-banyak berzikir dan berdoa diantara adzan dan iqamah (termasuk waktu paling mustajab berdoa). Apalagi berdoa di Masjid Nabawi adalah salah satu tempat paling mulia, jadi berdoalah banyak-banyak.
“Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu).” (HR. Ahmad)
Menara Nabawi |
Shalat Zuhur lumayan cepat karena mungkin waktu dimana orang bekerja. Selesai Zuhur, imam menyerukan shalat jenazah. Kali ini saya belum shalat juga karena tiba-tiba lupa lagi bacaan shalat jenazah. Saya baru shalat jenazah di hari kedua di Madinah. Shalat rawatib juga nggak setiap waktu di hari pertama. Mungkin masih culture shock, mungkin juga masih berusaha mengubah kebiasaan yang hanya shalat Fardhu (wajib) saja dan jarang peduli dengan shalat sunnah. Anggaplah saya sedang belajar, dan saya masih butuh waktu.
Berkeliling mesjid |
Setelah Zuhur, kami balik ke hotel dan mulai malas dengan antrian lift yang akan kami hadapi. Kalau lift barang terbuka, maka kami bisa dengan cepat naik ke ruang makan atau naik ke kamar. Tapi kesabaran memang sungguh sangat diuji dan untung saja saya orangnya sabar. Teringat dulu rela nungguin teman facial berjam-jam dan saya nggak ngapa-ngapain, dan saya juga betah diam berlama-lama tanpa melakukan apa pun. Tapi Mama dan beberapa tante saya yang kasihan. Karena mikirin mereka harus naik lift, terpaksalah mengantri dan benar-benar menjaga antrian sampai di depan pintu. Huff, lelah sekali! Dan ini baru hari pertama. Sabar... Sabar...! Sampai di ruang makan, buru-buru makan, lalu mengantri lift lagi untuk naik ke kamar. Dengan sedikit berdesakan, alhamdulillah berhasil juga masuk ke kamar.
Waktu Zuhur ke Ashar lumayan singkat. Mungkin hanya satu jam setelah makan siang, mulai adzan Ashar. Ketika kami sudah bersiap mau pergi ke mesjid karena takut mengantri lift, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dan petugas hotel menyuruh kami untuk pindah ke kamar di lantai 2. Saya bilang pada petugas kalau mau pindah kamar setelah shalat Ashar dan mereka nggak mau menunggu. Untung saja belum banyak barang yang dikeluarkan dari koper sehingga saya, Mama, dan adik bisa cepat beberes dan pindah kamar. Tante-tante dan sepupu saya bersikeras nggak mau pindahan karena mau shalat Ashar dulu. Karena kami merasa nggak punya pilihan lain, kami turun ke lantai 2, menaruh koper, dan langsung buru-buru ke mesjid. Untung antara adzan dan iqamah lumayan lama waktunya sehingga masih keburu shalat Ashar berjamaah.
Minum Zam-Zam |
Selesai Ashar, saya dan Mama balik ke kamar hotel karena Mama mulai sakit kaki. Kasihan kalau nanti Mama malah sakit jadi harus buru-buru istirahat. Karena terlalu capek juga Mama nggak shalat Magrib ke Masjid. Saya terpaksa harus menemani Mama karena Mama nggak berani sendiri di kamar hotel. Baiklah, kesehatan lebih penting karena kita masih lama banget di Madinah. Cuma agak bosan di kamar hotel karena nggak ada WIFI. Keluarga saya hanya beli satu kartu Arab Saudi dan kami pakai internet secara tethering ke semua hp karena mahal banget paket data disana, sekitar 200rban dengan quota hanya 5 Giga. Untung saya sedang nggak banyak kerjaan sehingga nggak usah online tiap waktu. Palingan hanya update social media saja dan itu pun nggak bisa tiap saat. Liat Insta Story orang lain aja lemottt setengah mati dan kadang saya memang nggak mau nge-klik IG Story karena takut cepat habis quota (Instagram adalah aplikasi penyerap quota internet terbesar setelah Facebook). Jadi jangan marah kalau saya nggak lihat IG Story, jarang balas Whatsapp dan email, jarang buka social media pokoknya. Memang suasana dengan sendirinya memaksa kita hanya untuk beribadah kepada Allah.
Baiklah, postingan kali ini sudah sangat panjang. Nanti saya cerita lagi betapa sulitnya memasuki Raudhah. Sampai jumpa!
0 comments:
Posting Komentar