Januari 14, 2017

Pertama Kali ke Masjid Nabawi

Bus kami berhenti di depan hotel yang namanya tertera di name tag. Kami turun dan menunggu koper di lobby. Saya sekalian meminta akses WIFI untuk internetan kepada resepsionis. Tiba-tiba kami harus berpindah ke Hotel lain karena hotel ini sudah full booked. Lho? Kok bisa full booked? Ustadz pendamping lalu membawa kami ke hotel lain yang lebih dekat ke Masjid Nabawi. Malam itu dingin sekali dan kami berjalan kaki menuju Hotel Al-Shalihiya. Hotelnya lebih besar dari Durat Al-Andalus sih, hanya saja antrian lift lumayan panjang.

Keluarga saya mendapat kamar 710. Sewaktu masuk ke kamar, agak shock melihat kamar super kecil dan sempit. Ha? Nggak salah ini? Mana kamar mandinya juga kecil banget. Akhirnya Mama saya protes ke ustadz dan alhamdulillah kamar kami ditukar dengan kamar yang lebih besar, bahkan besar banget. Sesuai dengan yang diharapkan deh. Kami sempat tidur sebentar dan bangun jam 4.15 pagi untuk bersiap shalat ke Mesjid Nabawi. Ini pertama kalinya saya ke Mesjid Nabi, dan saya super antusias. Saya mempersiapkan banyak kamera dan jaket Thermal karena suhu udara di Madinah malam itu 10 derajat.

Saya sekeluarga berjalan menuju mesjid. Rasanya sangat kagum melihat pelataran mesjid yang indah dengan lampu-lampu LED menyala terang. Apalagi semua pilar payung masjid juga memancarkan lampu sorot yang membuat suasana menjadi indah dan terang-benderang. Ada perasaan hati yang membuncah ketika mendengar adzan dari Mesjid ini. Suara adzan mungkin sama dengan yang sering disiarkan di tv kita tapi mungkin saya sulit mengungkapkan betapa mendengar adzan yang berkumandang dari Masjid Nabawi itu seperti mimpi (mimpi yang sangat indah). Saya seolah masih tidak percaya kalau saya sedang berada di Masjid Rasulullah , dimana orang yang shalat disini pahalanya 1000 kali dari mesjid biasa.

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom.” (HR. Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394, dari Abu Hurairah)

Ketika saya mau masuk ke dalam Masjid Nabawi, para petugas di pintu wanita yang berpakaian hitam bercadar langsung memeriksa tas setiap jamaah yang ingin shalat di dalam. Saya lupa kalau ada peraturan nggak boleh bawa kamera ke dalam mesjid, tapi kalau handphone boleh. Jadinya saya nggak boleh masuk dan hanya bisa duduk di luar. Hmm, bayangkan rasa dingin udara gurun di kala Shubuh. Bagian muka dan kaki saya mulai kedinginan banget. Jaket thermal memang menutupi badan saya tapi hanya bagian itu saja yang hangat. Padahal saya bawa celana thermal di koper, tapi saya nggak kebayang kalau bakalan sedingin itu. Mana anginnya gedeee banget.  
Pintu Masuk Masjid Nabawi
Saya duduk di luar mesjid (diatas karpet merah yang tersedia) sambil melihat sekeliling ketika menunggu adzan Shubuh. Saya takjub karena pengunjung mesjid ini rameeee bangettt. Mungkin kalau di Indonesia, pengunjung mesjid ini 1000 kali lebih banyak daripada orang-orang yang mau shalat Ied. Wajar saja karena para jamaah berasal dari segala penjuru dunia. Yang menakjubkannya lagi karena ini adalah shalat Shubuh, shalat yang paling sulit dilaksanakan bagi saya (ngantuuuuk sih) walaupun alhamdulillah belum pernah tinggal sama sekali. Mungkin karena semua orang berlomba-lomba ingin mendapat pahala yang besar, memperbaiki diri, bertaubat, dan bermunajat kepada Allah.
Menara Mesjid
Adzan pun berkumandang, menggema, memecah angkasa. Seolah seruan untuk shalat itu pertama kali saya dengar dan membuat saya merinding. Saya tidak bisa berkata-kata, hanya menunduk menjawab adzan dengan lirih. Ya Allah, saya masih belum percaya kalau Engkau memberikan kesempatan kepada saya untuk mengunjungi Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat Makam Rasulullah ﷺ, salah satu masjid yang paling mulia di muka bumi setelah Masjidil Haram. 

Setelah shalat sunat Fajar dua rakaat (shalat sunat yang lebih baik dari dunia dan seisinya), shalat Shubuh pun didirikan. Kala itu, saya sangat menikmati bacaan imam yang sangat indah. Terbersit dalam benak saya, imam Masjid Nabawi pasti orang pilihan dengan hafalan Al-Qur'an sudah diluar kepala dan pastinya lebih hebat dari imam mesjid di Indonesia. Dan yang pasti, beliau sangat mengerti arti dari surah yang dilafalkan. 

Selesai shalat, kira-kira sepuluh menit kemudian, imam menyerukan untuk bersiap shalat jenazah. Hampir semua orang shalat jenazah tapi saya nggak. Alasannya karena saya lupa bacaan dari takbir pertama sampai ke empat. Jenazah yang pertama kali saya shalatkan adalah Ayah dan saya merasa shalat jenazah adalah shalat yang paling sedih yang saya lakukan makanya jarang banget saya shalat. Tapi teringat lagi 1000 kali kebaikan shalat di Masjid Nabawi, sehingga saya berencana membaca lagi dan menghafal lagi rukun shalat jenazah.

Selesai shalat jenazah, para jamaah pun bubar. Saya takjub lagi melihat orang-orang rameeee banget. Salah satu pemandangan indah lainnya adalah langit Madinah di kala matahari terbit. Warna ungu bercampur dengan orange sangat indah, Subhanallah. Saya langsung mengambil foto dan merekamnya untuk Instagram Story. Ya Allah, terima kasih untuk semua kesempatan untuk menikmati keindahan ini.
Langit Ungu

1 comments:

Mirwan Choky mengatakan...

Alhamdulillah yah udah nyampe kesini.

Follow me

My Trip