Hai semua, berhubung masih dalam suasana Ramadhan 1438 H dan sebentar lagi saya pulang ke Aceh, jadi saya mau berusaha menyelesaikan semua cerita perjalanan saya selama sebelum Lebaran. Biasanya setelah Lebaran kehidupan saya sehari-hari lebih hectic lagi, tapi selalu diusahakan menulis blog. Kasian juga kalau sampai blog ini terbengkalai karena saya sayang banget dengan blog ini.
Baiklah, kali ini saya akan memposting cerita tentang Myanmar lagi yaitu tentang kuliner. Mari disimak!
1. Padonmar Restaurant
Ketika tiba pertama kali di Yangon, setelah check in Hotel dan mampir ke Shwedagon Pagoda, kami melanjutkan makan siang di resto yang satu ini. Tempatnya mewah dan tetap buka walaupun Water Festival sedang berlangsung. Pertama kali masuk ke restonya, kalian bakalan merasakan suasana Myanmar yang sangat kental karena interior Resto memang dibuat seperti itu. Banyak bule' disini dan para pelayannya bisa berbahasa Inggris.
![]() |
Markitmam (Mari kita mamam) |
Yang menarik dari semua makanan di resto ini adalah salad daun teh. Negara kita kaya dengan daun teh tapi belum pernah dijadikan salad. Rasanya agak asam karena disuguhkan dengan daun jeruk nipis, tapi segar dan saya suka dengan salad yang satu ini. Kalau untuk makanan lain sih biasa aja dan ada di negara kita. Total yang kami habiskan untuk berlima adalah 57,475 kyat atau sekitar Rp. 600,000. Duh, mahal ya. Mana uang yang kami bawa sangat terbatas karena Kakros dan Tommy nggak bisa menukar uang AUD dan CAD ke MMK.
2. Feel Myanmar
![]() |
Salad Daun Teh
|
Tempat ini seperti food court untuk makanan lokal. Alangkah lebih baiknya apabila datang ke Feel Myanmar itu ketika hari sudah malam. Kalau masih ada matahari nanti diguyur air karena Water Festival masih berlangsung. Jujur saja saya lebih tenang makan disini karena satu penjual hanya menjual jenis makanan yang spesifik sehingga saya nggak khawatir tentang kehalalannya. Harga makanan di Feel Myanmar ini juga murah, mulai dari 700 kyat (Rp. 7000) sampai 2000 kyat (Rp. 20,000) saja. Mana porsinya juga banyak jadi kami bisa sharing.
![]() |
Hasil berburu makanan |
Saya dan teman-teman memesan mie pecel (ini kita yang beri nama karena mienya diaduk dengan bumbu pecel), puding telur, gyoza ikan, air tebu, dan yang paling enak adalah teh susu Myanmar. Harga teh susu murah banget, cuma 700 kyat. Saya suka melihat pedagang teh susu membuat minuman. Dia merebus susu dalam satu wajan super besar, lalu memasukkan bubuk teh khas Myanmar. Harum susu dan teh sangat menggugah selera dan saya langsung mau beli. Rasanya juga enakkkk banget.
![]() |
Es krim cherry 😆 |
Kami makan di Feel Myanmar ini sebanyak 2 kali. Pokoknya kalau udah malam ya makan disini untuk mengirit uang dan banyak pilihan makanannya. Lagian, Water Festival membuat 98% resto di Yangon tutup. Jadi bingung juga mau makan dimana. Biasanya setiap ke suatu negara, saya akan mencoba es krimnya. Yang paling unik adalah es krim cherry karena rasanya seperti obat batuk, hahaha. Untung belinya satu cup doang, jadi bisa bagi-bagi ke yang lain karena saya nggak suka.
3. Famous Restaurant
Kami mampir di Resto ini diperjalanan menuju Golden Rock Pagoda. Mungkin dari semua tempat makan yang kami kunjungi selama di Myanmar, resto ini yang paling absurd. Kami masuk ke resto dan duduk seperti biasa. Pelayannya datang dengan membawa tablet (kesannya oke punya) dan membawa menu yang membuat kita shock.
![]() |
Tulisannya 😱 |
Kami langsung keheranan melihat tulisan di menu nggak ada satu pun yang kami mengerti. Akhirnya dia mengeluarkan menu yang ada bahasa Inggrisnya. Saya dan teman-teman menunjuk gambar makanan. Awalnya dicatat pesanan saya dan Nida di tablet. Trus sewaktu Kakros, Tommy, dan Willy pesan, dibilang nggak ada pesanannya. Mereka mengganti memilih menu yang lain tapi nggak ada juga. Akhirnya saya memastikan kalau pesanan saya ada, tapi tiba-tiba nggak ada juga. Macam mana ini kok nggak ada semua😩? Sampai akhirnya pelayan menutup menu dan sambil menggunakan bahasa isyarat bilang sama kita kalau semua nggak ada. Lho? Kalau semua makanan nggak ada, kalian jualan apa?😰😰 Akhirnya kami pesan Nasi Goreng ayam dan tomyam yang kayaknya 'ada'.
![]() |
Tea Parcel |
Untuk minuman, kami melihat ada Tea Parcel. Wah, boleh nih dicoba. Saya dan 2 teman yang lain mencoba memesan Tea Parcel. Pelayan keheranan dan bertanya pakai bahasa isyarat tentang Tea Parcel yang kami nggak 'ngerti maksud dia apa. Pokoknya kami bersikeras mau pesan Tea Parcel. Berhubung pelayannya udah menyerah nggak bisa menjelaskan pakai bahasa isyarat, ya udah dia iya-in aja kalau kita mau pesan Tea Parcel. Sewaktu minuman datang, baru kami heran kalau Tea Parcel itu adalah teh bungkus. Jadi dikasi plastik dan minuman dalam gelas untuk take away. Jadi ngakak sendiri sewaktu minuman diantar dan kami malah minum disitu😂.
Karena hampir semua dari kita pesan nasi goreng ayam, maka makanan keluar berbarengan. Yang terakhir makanan Willy yang keluar, tapi salah. Sewaktu Willy memastikan makanannya, dengan bahasa isyarat pelayan bilang kalau makanan yang dia pesan nggak ada, jadi makan ini aja ya. Hahahaha. Manaaa ada cara begitu di resto. Pokoknya resto yang satu ini yang paling absurd deh. Tempatnya luas, porsi makanan banyak, nggak perlu menunggu lama untuk menyantap makanan, harga makanan murah (hanya 1500-3000 kyat) tapi semua pelayan nggak ada yang bisa berbahasa Inggris. Bahkan menurut saya 90% dari orang-orang yang saya temui di Myanmar nggak bisa berbahasa Inggris. Cape dehh!
Sewaktu keluar dari resto, kami melihat ada penjual kue dari kulit roti cane yang di panggang, lalu ditaburi gula. Kita pesan beberapa dan langsung bilang, "parcel!" Ok, kita semua sudah mengerti bagaimana cara bilang take away secara Myanmar, hahaha. Rasa rotinya enak, lumayan untuk cemilan di mobil sampai ke Kinpun.
3. Mont Lone Ye Paw
Kami nggak sengaja mampir di sebuah resto karena Willy pengen ke toilet. Selagi menunggu Willy, kami memesan minuman dan pelayan Resto menyuguhkan makanan khas Myanmar bernama Mont Lone Ye Paw. Menurut saya, makanan yang satu ini adalah onde-onde versi Indonesia yang berwarna putih. Kalau di negara kita kan menggunakan pewarna pandan, jadi warnanya hijau muda.
![]() |
Onde-onde Myanmar |
Rasanya nggak ada bedanya dengan onde-onde kesukaan Papa saya ditambah dengan taburan kelapa yang membuatnya terlihat lebih menggugah selera. Berhubung saya memang kurang suka dengan onde-onde, jadi nggak kuat juga makan banyak.
4. Black Canyon Coffee
Hari terakhir di Yangon, sambil menghabiskan waktu sebelum menuju bandara, kami jalan-jalan keliling kota. Kebetulan waktu itu hujan super deras dan macet juga, jadinya bingung mau kemana. Ntah berapa tempat nongkrong kami kunjungi dan semuanya tutup. Akhirnya karena Tommy kebelet mau ke toilet, kami mampir di Black Canyon Coffee.
Nggak ada yang istimewa disini selain harganya lebih murah dari di Indonesia dan wifi kencang. Kita malah jadi bosan karena nggak tau mau ngapain lagi. Mau belanja, pertokoan tutup dan nggak ada duit juga. Untung aja Black Canyon Coffee ini bisa dibayar menggunakan kartu kredit.
Baiklah, segitu dulu ya postingan saya tentang kuliner di Myanmar. Nanti di postingan selanjutnya bakal saya bahas tentang budget. Sampai jumpa dan selamat berpuasa!