Mei 30, 2017

Myanmar Culinary

Hai semua, berhubung masih dalam suasana Ramadhan 1438 H dan sebentar lagi saya pulang ke Aceh, jadi saya mau berusaha menyelesaikan semua cerita perjalanan saya selama sebelum Lebaran. Biasanya setelah Lebaran kehidupan saya sehari-hari lebih hectic lagi, tapi selalu diusahakan menulis blog. Kasian juga kalau sampai blog ini terbengkalai karena saya sayang banget dengan blog ini.

Baiklah, kali ini saya akan memposting cerita tentang Myanmar lagi yaitu tentang kuliner. Mari disimak!

1. Padonmar Restaurant
Ketika tiba pertama kali di Yangon, setelah check in Hotel dan mampir ke Shwedagon Pagoda, kami melanjutkan makan siang di resto yang satu ini. Tempatnya mewah dan tetap buka walaupun Water Festival sedang berlangsung. Pertama kali masuk ke restonya, kalian bakalan merasakan suasana Myanmar yang sangat kental karena interior Resto memang dibuat seperti itu. Banyak bule' disini dan para pelayannya bisa berbahasa Inggris.
Markitmam (Mari kita mamam)
Yang menarik dari semua makanan di resto ini adalah salad daun teh. Negara kita kaya dengan daun teh tapi belum pernah dijadikan salad. Rasanya agak asam karena disuguhkan dengan daun jeruk nipis, tapi segar dan saya suka dengan salad yang satu ini. Kalau untuk makanan lain sih biasa aja dan ada di negara kita. Total yang kami habiskan untuk berlima adalah 57,475 kyat atau sekitar Rp. 600,000. Duh, mahal ya. Mana uang yang kami bawa sangat terbatas karena Kakros dan Tommy nggak bisa menukar uang AUD dan CAD ke MMK.
Salad Daun Teh
2. Feel Myanmar
Tempat ini seperti food court untuk makanan lokal. Alangkah lebih baiknya apabila datang ke Feel Myanmar itu ketika hari sudah malam. Kalau masih ada matahari nanti diguyur air karena Water Festival masih berlangsung. Jujur saja saya lebih tenang makan disini karena satu penjual hanya menjual jenis makanan yang spesifik sehingga saya nggak khawatir tentang kehalalannya. Harga makanan di Feel Myanmar ini juga murah, mulai dari 700 kyat (Rp. 7000) sampai 2000 kyat (Rp. 20,000) saja. Mana porsinya juga banyak jadi kami bisa sharing.
Hasil berburu makanan
Saya dan teman-teman memesan mie pecel (ini kita yang beri nama karena mienya diaduk dengan bumbu pecel), puding telur, gyoza ikan, air tebu, dan yang paling enak adalah teh susu Myanmar. Harga teh susu murah banget, cuma 700 kyat. Saya suka melihat pedagang teh susu membuat minuman. Dia merebus susu dalam satu wajan super besar, lalu memasukkan bubuk teh khas Myanmar. Harum susu dan teh sangat menggugah selera dan saya langsung mau beli. Rasanya juga enakkkk banget.
Es krim cherry 😆
Kami makan di Feel Myanmar ini sebanyak 2 kali. Pokoknya kalau udah malam ya makan disini untuk mengirit uang dan banyak pilihan makanannya. Lagian, Water Festival membuat 98% resto di Yangon tutup. Jadi bingung juga mau makan dimana. Biasanya setiap ke suatu negara, saya akan mencoba es krimnya. Yang paling unik adalah es krim cherry karena rasanya seperti obat batuk, hahaha. Untung belinya satu cup doang, jadi bisa bagi-bagi ke yang lain karena saya nggak suka.

3. Famous Restaurant
Kami mampir di Resto ini diperjalanan menuju Golden Rock Pagoda. Mungkin dari semua tempat makan yang kami kunjungi selama di Myanmar, resto ini yang paling absurd. Kami masuk ke resto dan duduk seperti biasa. Pelayannya datang dengan membawa tablet (kesannya oke punya) dan membawa menu yang membuat kita shock.
Tulisannya 😱
Kami langsung keheranan melihat tulisan di menu nggak ada satu pun yang kami mengerti. Akhirnya dia mengeluarkan menu yang ada bahasa Inggrisnya. Saya dan teman-teman menunjuk gambar makanan. Awalnya dicatat pesanan saya dan Nida di tablet. Trus sewaktu Kakros, Tommy, dan Willy pesan, dibilang nggak ada pesanannya. Mereka mengganti memilih menu yang lain tapi nggak ada juga. Akhirnya saya memastikan kalau pesanan saya ada, tapi tiba-tiba nggak ada juga. Macam mana ini kok nggak ada semua😩? Sampai akhirnya pelayan menutup menu dan sambil menggunakan bahasa isyarat bilang sama kita kalau semua nggak ada. Lho? Kalau semua makanan nggak ada, kalian jualan apa?😰😰 Akhirnya kami pesan Nasi Goreng ayam dan tomyam yang kayaknya 'ada'.
Tea Parcel
Untuk minuman, kami melihat ada Tea Parcel. Wah, boleh nih dicoba. Saya dan 2 teman yang lain mencoba memesan Tea Parcel. Pelayan keheranan dan bertanya pakai bahasa isyarat tentang Tea Parcel yang kami nggak 'ngerti maksud dia apa. Pokoknya kami bersikeras mau pesan Tea Parcel. Berhubung pelayannya udah menyerah nggak bisa menjelaskan pakai bahasa isyarat, ya udah dia iya-in aja kalau kita mau pesan Tea Parcel. Sewaktu minuman datang, baru kami heran kalau Tea Parcel itu adalah teh bungkus. Jadi dikasi plastik dan minuman dalam gelas untuk take away. Jadi ngakak sendiri sewaktu minuman diantar dan kami malah minum disitu😂.

Karena hampir semua dari kita pesan nasi goreng ayam, maka makanan keluar berbarengan. Yang terakhir makanan Willy yang keluar, tapi salah. Sewaktu Willy memastikan makanannya, dengan bahasa isyarat pelayan bilang kalau makanan yang dia pesan nggak ada, jadi makan ini aja ya. Hahahaha. Manaaa ada cara begitu di resto. Pokoknya resto yang satu ini yang paling absurd deh. Tempatnya luas, porsi makanan banyak, nggak perlu menunggu lama untuk menyantap makanan, harga makanan murah (hanya 1500-3000 kyat) tapi semua pelayan nggak ada yang bisa berbahasa Inggris. Bahkan menurut saya 90% dari orang-orang yang saya temui di Myanmar nggak bisa berbahasa Inggris. Cape dehh!

Sewaktu keluar dari resto, kami melihat ada penjual kue dari kulit roti cane yang di panggang, lalu ditaburi gula. Kita pesan beberapa dan langsung bilang, "parcel!" Ok, kita semua sudah mengerti bagaimana cara bilang take away secara Myanmar, hahaha. Rasa rotinya enak, lumayan untuk cemilan di mobil sampai ke Kinpun.

3. Mont Lone Ye Paw
Kami nggak sengaja mampir di sebuah resto karena Willy pengen ke toilet. Selagi menunggu Willy, kami memesan minuman dan pelayan Resto menyuguhkan makanan khas Myanmar bernama Mont Lone Ye Paw. Menurut saya, makanan yang satu ini adalah onde-onde versi Indonesia yang berwarna putih. Kalau di negara kita kan menggunakan pewarna pandan, jadi warnanya hijau muda.
Onde-onde Myanmar
Rasanya nggak ada bedanya dengan onde-onde kesukaan Papa saya ditambah dengan taburan kelapa yang membuatnya terlihat lebih menggugah selera. Berhubung saya memang kurang suka dengan onde-onde, jadi nggak kuat juga makan banyak.

4. Black Canyon Coffee
Hari terakhir di Yangon, sambil menghabiskan waktu sebelum menuju bandara, kami jalan-jalan keliling kota. Kebetulan waktu itu hujan super deras dan macet juga, jadinya bingung mau kemana. Ntah berapa tempat nongkrong kami kunjungi dan semuanya tutup. Akhirnya karena Tommy kebelet mau ke toilet, kami mampir di Black Canyon Coffee.


Nggak ada yang istimewa disini selain harganya lebih murah dari di Indonesia dan wifi kencang. Kita malah jadi bosan karena nggak tau mau ngapain lagi. Mau belanja, pertokoan tutup dan nggak ada duit juga. Untung aja Black Canyon Coffee ini bisa dibayar menggunakan kartu kredit.
Naro minuman di sepatu 😯
Baiklah, segitu dulu ya postingan saya tentang kuliner di Myanmar. Nanti di postingan selanjutnya bakal saya bahas tentang budget. Sampai jumpa dan selamat berpuasa!

Mei 29, 2017

Trip to Kyaiktiyo Pagoda

Sudah lebih sebulan nggak nulis blog. Mungkin sudah agak berdebu juga nih blognya. Mari kita bersih-bersih debunya, nyapu, dan ngepelin dulu biar kinclong. Selama bulan Mei saya super sibuk bahkan sampai merasa kelelahan karena kurang tidur. Saya juga nggak punya waktu untuk menikmati "me time" karena harus pack, unpack, pack, unpack, begitu terus sampai awal Juni nanti. Setiap pulang dari sebuah perjalanan, saya hanya membuka koper, mengeluarkan baju kotor, lalu masukin baju bersih, tutup koper, pergi lagi. Kebayang nggak kalau harus begitu terus selama 2 bulan?

Baiklah, cukup untuk cerita tentang kesibukan. Saya akan melanjutkan cerita di Myanmar sebelum isi otak saya terhapus karena banyaknya hal yang harus diingat. Hari kedua di Myanmar, kami semua bersiap menuju Kimpun, salah satu kota tempat Kyaiktiyo Pagoda yang lumayan terkenal dikalangan turis. Kami dijemput jam 7 pagi dari hotel karena perjalanan ke Kimpun memakan waktu kurang lebih 3,5 jam. Karena mobil yang kami sewa nyaman banget, kami tidur pulas sampai ke sebuah resto untuk sarapan. Perjalanan ke Resto padahal menempuh waktu 2 jam tapi nggak terasa karena kami semua tidur nyenyak.

Saya akan menceritakan tentang sarapan di Resto di postingan terpisah tentang Yangon Culinary. Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke Kimpun. Karena masih dalam masa Water Festival, mobil kami diguyur terus-menerus selama perjalanan sampai ke Kimpun. Kalau mobil harus jalan perlahan karena ada orang-orang yang sedang ajep-ajep sampai memakan setengah jalan raya, mobil kami langsung menjadi sasaran paling empuk untuk disiram. Bahkan kaca mobil sampai di ketok-ketokin dan dijilat (ini aneh banget sih, saking lebaynya sampe ngejilat kaca mobil). Karena saya duduk di dekat kaca mobil, sudah pasti saya langsung menarik tirai dan nggak mau melihat pemandangan mereka joget-joget sambil basah-basahan dan minum alkohol.

Sesampai di Kimpun, hujan mulai turun rintik-rintik. Kami berlima terpaksa harus membeli jas hujan seharga 1000 Kyat (harganya sama seperti di Indonesia). Sebenarnya jas hujan diperlukan untuk melindungi diri dari siraman air dari segala penjuru juga sih karena kalau kalian tidak berada di dalam mobil, bersiaplah jadi sasaran empuk untuk diguyur. Mana pakai sepatu kets, kena guyur kan males banget ya? Seharusnya bawa plastik juga untuk membungkus sepatu.

Sopir mobil kami bilang, kalau mau ke Kyaiktiyo Pagoda, kita harus naik mobil bak seperti orang Burma lainnya. Kami terdiam melihat mobil bak yang semula kosong, lalu datanglah orang berdesak-desakan untuk naik sampai mobil hampir meluap karena kepenuhan manusia. OMG! Kita langsung nggak mau duduk di bak, sehingga sopir menyarankan kita untuk duduk di belakang supir. Kami heran melihat bangku supir sempit amat dan kita harus naik berlima. Awalnya sempat nggak mau, tapi melihat seluruh penumpang yang duduk di bak diguyur di setiap pos pemberhentian, akhirnya lebih memilih berhimpit-himpitan dibelakang supir daripada harus diguyur.
Mobil bak
Ternyata duduk di belakang supir bukan pilihan terbaik. Malah lumayan mengerikan. Cara sopir nyetir yang lumayan ugal-ugalan, ditambah jalanan yang berada persis di sisi jurang membuat kita malah ketakutan. Apalagi jalanannya banyak belok-belok dan belokannya patah banget membuat supir ngerem mendadak, jalan lagi, dan kita kejeduk kaca mobil. It was really unsafe. Nggak ada sabuk pengaman juga di kursi belakang, bahkan tempat untuk pegangan nggak ada. Supir juga nggak pakai sabuk pengaman dan jadilah saya dan Kakros yang memegang sabuk untuk menahan diri dari mental-mental di dalam mobil.

Kurang lebih 20-30 menit menempuh perjalanan yang membuat saya berkali-kali hampir muntah, alhamdulillah sampai juga ke parkiran pagoda. Baru buka pintu mobil, udah diguyur. Untung aja pakai jas hujan. Yang harus saya lindungi banget adalah kamera dan hp yang ada di ransel dari guyuran air. Tapi ternyata jas hujan saya agak bolong sehingga baju saya basah juga. Untung nggak membasahi ransel. Saya melihat supir mobil kami yang ternyata duduk di bak belakang udah kebasahan dan gemetar kedinginan. Duh bang, kasian amat.

Kami harus jalan kaki menanjak ke puncak gunung Kyaiktiyo. Ditengah jalan sempat dicegat untuk membayar tiket seharga 8000 kyat. Sebenarnya dari kita berlima, yang dicegat untuk bayar tiket cuma 2 orang (saya nggak termasuk dicegat). Seharusnya saya dan teman-teman yang nggak dicegat bisa langsung kabur aja nggak usah bayar tiket, hahaha. Tapi nggak jadi kabur karena kami baik hati, pada bayar tiket semua. Perjalanan menuju Pagoda juga agak menyeramkan karena kami terus-menerus disiram dengan segala cara, pakai tembak air, pake ember, pake selang air, ampun dah! Sepatu, jeans, dan muka udah basah kuyup, untung baju dan ransel nggak. Yang paling menyebalkan adalah kami harus buka sepatu untuk masuk pelataran pagoda. Mana habis hujan, jadi harus menapaki jalanan basah yang bercampur pasir dan tanah. Ihh jijik banget sebenarnya tapi ya sudahlah. 
Golden Rock Pagoda
Kami melihat sebuah batu besar berwarna kuning yang ternyata itulah Kyaiktiyo Pagoda. Saya kira beneran ada pagoda tapi ternyata pagodanya yang kecil diatas batu itu. Kyaiktiyo Pagoda juga dikenal sebagai Golden Rock Pagoda adalah situs ziarah Buddha yang terkenal di Mon State, Burma. Menurut gambar dari Google, saya sempat berpikir kalau batu emas ini sangat besar dan pada kenyataannya ukurannya kecil yaitu hanya 7,3 meter yang dibangun di atas batu granit yang ditutupi dengan daun emas yang disisipkan oleh para pemuja. Menurut legenda, Golden Rock bisa kokoh berdiri di tepi gunung karena berada diatas untaian rambut Buddha. Ada juga sejarah mengatakan kalau batu ini jatuh dari surga sehingga kenapa nggak bisa jatuh itu diluar nalar manusia. Kalau dari sisi ilmu pengetahuan, batu jadi seimbang karena menentang gravitasi yang terus-menerus berada di ambang rolling menuruni bukit. Ntah yang mana yang benar, tapi yang pasti Kyaiktiyo Pagoda ini adalah situs ziarah Buddha ketiga yang paling penting di Burma setelah Pagoda Shwedagon dan Pagoda Mahamuni.

Karena penasaran, kami mendekat ke batu emas. Ternyata sedang di tutup dan wanita tidak boleh sama sekali masuk ke pekarangan pagoda. Ya sudahlah, nggak apa-apa juga nggak boleh masuk karena saking tingginya tempat itu, saya jadi seram juga kalau melihat kebawah. Mana banyak kabut karena baru saja hujan dan tempat ini tinggiiii sekali. Saya dan teman-teman hanya menghabiskan waktu kurang lebih satu jam untuk berfoto berbagai macam gaya di bawah batu emas. Setelah itu kami pulang dengan melalui jalan yang sama, diguyur lagi, naik mobil bak lagi, duduk dibelakang supir lagi membayar 3000 kyat lagi. Kayaknya harganya agak di mark up karena kami dianggap turis. Abang supir tetep duduk di bak belakang dan saya yakin 100% dia bakalan basah kuyup lagi. Sebenarnya ada larangan untuk tidak menyiram biksu di Water Festival. Tapi para biksu malah suka duduk di bak mobil, jadilah ikutan kesiram. Mungkin yang siram bilang, "Ups, nggak sengaja."

Perjalanan pulang ternyata jauh lebih menyeramkan daripada pergi. Kali ini rasanya seperti naik roller coaster karena jalannya menurun dan bapak supir mengendarai mobil dengan super kencang. Saya dan Kakros harus memegang seat belt yang tergantung di dinding mobil dari sisi yang berbeda karena memang nggak ada pegangan sama sekali. Sempat kejeduk dinding mobil lagi, kebayang udah berapa benjol di kepala.
Jalan menurun
Sampai ke pemberhentian mobil bak, kami turun. Tommy malah kena guyur lagi tiba-tiba dan setengah badannya basah kuyup. Memang kita udah melepas jas hujan selama di dalam mobil karena kepanasan. Melihat Tommy kena guyur, kita juga jadi sasaran tembak air anak-anak. Kami langsung mengeluarkan jas hujan dan memerisai diri dengan jas hujan. Daripada nanggung, akhirnya pakai lagi deh jas hujannya.

Sebelum naik mobil ke destinasi selanjutnya, kami makan dulu di dekat parkiran. Menu makanan standar sih seperti mie dan nasi goreng tapi cukup untuk mengganjel perut yang udah keroncongan. Kami juga minum teh susu khas Myanmar (teh tarik di negara kita) yang hangat dan rasanya enak banget. Selesai makan, kami melanjutkan ke tujuan berikutnya, Shwemawdaw pagoda, yang sudah saya bahas di postingan sebelum ini.

Selanjutnya saya akan menuliskan tentang kuliner. Sampai jumpa!

Follow me

My Trip