Juni 24, 2017

Ramadhan di Serambi Mekkah

Hari ini kita sampai pada penghujung Ramadhan 1438 H. Sedih rasanya karena akan berpisah dengan bulan yang penuh dengan keberkahan, bulan yang mulia, bulan diturunkannya Al-Qur'an. Walaupun demikian, Ramadhan saya tahun ini berbeda dengan Ramadhan sebelumnya, bahkan dalam 10 tahun terakhir. Kenapa? Karena saya bisa merasakan 24 hari Ramadhan di Aceh.
Aceh adalah kampung halaman yang selalu saya rindukan. Sejak kuliah di Bandung, kerja di Jakarta, pasti pulang ke Aceh kalau udah mau dekat Lebaran. Bahkan pernah nggak pulang sama sekali karena nggak punya duit untuk mudik. Waktu itu sempat berjanji dalam hati, suatu hari saya harus bisa menghabiskan waktu Ramadhan di Aceh, seperti yang saya lakukan ketika masih kecil. Walaupun nggak full selama 30 hari, tapi tetap pengen pulang. Alhamdulillah tahun ini diberikan kesempatan untuk pulang sejak tanggal 1 Juni 2017, bahkan tiket pesawat ke Lhokseumawe dari Jakarta hanya Rp. 800rban. Allah telah menjawab doa-doa saya.

"If you wanna feel the truly Ramadhan, then go back to Aceh"

Kenapa pengen banget merasakan Ramadhan di Aceh? Alasan pertama karena rindu. Rindu suasananya, makanannya, tarawihnya, tadarusnya, dan sebagainya. Memangnya di Jakarta nggak bisa seperti itu? Bisa aja sih, tapi beda. Jakarta itu suasananya kerja, kerja, kerja, dan belanja. Jadi kurang fokus beribadah. Baiklah, saya akan memaparkan alasan kenapa saya kangen Ramadhan di Aceh satu demi satu:

Tadarus Al-Qur'an
Aceh adalah negeri 1000 mesjid. Dimana-mana dibangun mesjid nan indah dengan imam mesjid bersuara menentramkan. Kalian bisa mendengar suara imam memimpin shalat tarawih langsung dari kamar di rumah. Begitu indah, begitu syahdu. Setelah shalat tarawih, dimulailah tadarus sampai satu juz permalam. Seolah-olah mesjid satu dan mesjid lainnya membaca Al-Qur'an bersahut-sahutan.

Yang paling indah lagi, kadang terdengar suara anak laki-laki, sambung-menyambung ayat dengan suara orang dewasa, bahkan sama indahnya. Dan hal itu berlangsung sepanjang malam. Sebelum adzan Shubuh juga terdengar suara mengaji, sebelum magrib juga, pokoknya cukup menjadi penentram hati. Disini saudara-saudara saya saling bertanya, "Udah mengaji juz berapa?" Kalau sudah hari kelima Ramadhan, berarti minimal harus sudah juz 5. Sejak tinggal di Jakarta dan mengaji paling-paling sehari cuma 10 ayat, jadi terasa berat juga kalau harus 1 juz sehari. Padahal dulu selalu bisa. Tapi dengan tekad yang kuat, insya Allah bisa. Dicicil aja setiap selesai shalat Fardhu.

Menu Berbuka
Ini yang paling saya tunggu-tunggu. Hampir semua makanan di Aceh adalah favorit saya. Selain masakan Mama yang menurut saya paling enak di dunia, banyak juga jajanan pinggir jalan yang berbeda setiap harinya yang ingin saya makan. Bahkan sampai membuat daftar makanan yang ingin saya makan.
Tempat berjualan
Ayuk ngabuburit
  1. Rujak Aceh
  2. Air Tebu
  3. Mie Aceh
  4. Gorengan (Risol, Bakwan, dan kue-kue jajanan pasar)
  5. Pecel
  6. Martabak
  7. Roti Cane
  8. Es kelapa dengan sirup patung (sirup kurnia)
  9. Teh Tarik, dll.
Picai (Pecel)
Banyak jajanan😍
Dan berbagai macam lainnya yang saya udah agak lupa. Hampir setiap buka puasa saya wajib makan risol 2 buah dengan minuman yang berbeda-beda. Kadang teh manis panas, air tebu, es kelapa, dan segala macam ragam es. Es kelapa juga harus dicampur dengan sirup cap patung (sirup Kurnia) kesukaan saya. Duh, sirup ini enak banget deh. Menurut saya ini King of Syrup, semua sirup kalah😝😝😝. Ntah kenapa, buka puasa di Aceh membuat saya seperti orang kelaparan banget. Padahal sewaktu puasa biasa aja, tapi giliran mau buka tuh rasanya lapar dan haus banget. Mungkin karena melihat makanan di atas meja yang bikin ngences😝.
Sirup Patung
Mie Lidi
10 Malam Terakhir Ramadhan
Mungkin karena saya perempuan yang sebaiknya beribadah di rumah, jadi saya kurang tau tentang banyaknya orang yang beri'tikaf di mesjid pada 10 hari terakhir Ramadhan. Hari itu saya sedang berada di Banda Aceh untuk periksa gigi. Mamanya teman saya sengaja menjadwalkan untuk periksa gigi di malam hari karena setelah itu beliau mau beri'tikaf.
Waktu itu, saya tertegun. Apalagi sewaktu adik saya bercerita betapa banyaknya anak muda yang beri'tikaf di mesjid-mesjid di Banda Aceh. Ya, anak muda yang kebanyakan umurnya jauh lebih muda dari saya dan mereka berlomba-lomba mencari pahala di malam-malam terakhir Ramadhan yang disalah satu malamnya terdapat Lailatul Qadar. Saking ramenya di mesjid, makanan untuk sahur yang disediakan panitia mesjid sebanyak 1000 porsi saja masih kurang. Sampai-sampai panitia mesjid memberikan pengumuman untuk jemaah yang rumahnya dekat, pulang saja ya, sahur di rumah😄😄. Imam shalat tarawih dan Qiyamul Lail ada yang khusus didatangkan dari Madinah dan Mesir. Kalian bisa membayangkan betapa indah lantunan ayat suci Al-Qur'an yang mereka bacakan.
Pintu-pintu Baiturrahman
Mungkin beberapa tahun belakangan ini, Ramadhan di Jakarta terasa biasa saja. Teman-teman kantor juga kebanyakan sibuk dengan mengejar projek di kantor client karena Idul Fitri semua client pada berlibur. Belum lagi saya nyaris hampir tidak pernah merasakan Ramadhan di Aceh sehingga Ramadhan kebanyakan terasa hambar. Biasanya saya kerja lembur, lalu shalat tarawih di mesjid, baru pulang ke rumah. Sampai rumah udah capek banget, sehingga agak jarang bertadarus. Alhamdulillah tahun ini diberikan kesempatan oleh Allah untuk kembali merasakan Ramadhan seperti sewaktu saya masih kecil dulu. Walaupun saya harus membawa pulang pekerjaan ke rumah, yang penting internet kencang, saya bisa bekerja. Saya juga bisa memantau seluruh pekerjaan saya hanya dari balik meja belajar di kamar saya.

Kesederhanaan
Ramadhan tahun ini saya sama sekali nggak ikut Midnight Sale yang biasanya selalu ada di Mall-mall seluruh Jakarta. Tahun lalu bela-belain sampai jam dua belas malam masih di Kota Kasablanka karena hampir semua tas bermerk diskon gede-gedean. Saya memang suka belanja (kebanyakan wanita pasti suka), tapi saya sempat belanja seadanya di Kuala Lumpur sewaktu pulang dari Laos. Mungkin karena kere juga, jadi mulai perhitungan dengan barang bermerk. Lagian, hasil belanjaan tahun lalu juga masih pada bagus, jadi nggak usah menumpuk barang.

Saya malah menikmati hidup biasa aja di Aceh. Biasanya saya hanya membawa uang Rp. 10,000 untuk belanja makanan berbuka puasa. Disini harga kue Rp. 500, air tebu Rp. 2,500, martabak Rp. 3,000, Mie Aceh Rp. 5,000, dan berbagai makanan enak lainnya dengan harga sangat miring. Kebayang duit di dompet Rp. 100,000 nggak habis-habis. Saya jadi senang disini.
Aneka cemilan Rp. 500
Pernah suatu hari saya pengen makan telur asin. Saya nitip ke tante untuk minta tolong dibeliin telur asin yang enak. Besoknya tante datang dan bilang kalau itiknya belum bertelur, jadi belum bisa beli😅. Saya agak heran tapi lucu juga ya. Besoknya tante datang lagi membawakan telur itik dan bilang kalau hari ini itiknya sudah bertelur. Saya langsung antusias mau langsung rebus telur asin. Ternyata telurnya belum asin dan harus diasinin dulu😅. Haduwh, lama juga prosesnya ya, hahahaha.

Mesjid Al-Muntaha
Tempat yang paling saya kangen. Sewaktu saya menginjakkan kaki untuk shalat tarawih di mesjid ini, seolah semua memori sewaktu kecil kembali. Teringat Pak Kasim yang galak dalam mengatur saf, teringat cinta-cinta monyet yang cuma bisa ketemuan pas waktu ceramah di sela waktu setelah shalat isya dan mau tarawih. Teringat bawa makanan seperti mau piknik ke mesjid, teringat cowok-cowok yang memenuhi koridor mesjid untuk duduk-duduk. Mungkin masa kecil saya memang dipenuhi kenangan indah. Terlepas dari peristiwa yang mengakibatkan banyak teman-teman harus pindah sekolah ke luar Aceh. Tapi tetap masa kecil adalah masa paling indah, apalagi kita dibesarkan untuk mencintai mesjid. 
Masjid Al-Muntaha
Malam itu imam shalat masih Ustadz M. A Gamal. Rasanya kangen banget deh. Seolah flashback ke belasan tahun yang lalu. Suara beliau masih merdu ketika membaca surat Ar-Rahman, sangat indah, memecah keheningan malam. Teringat dulu, sewaktu pesantren kilat dimana saya mau minta tanda tangan ustadz/ustadzah siapa pun agar kolom tanda tangan penuh. Terakhir harus hafal 3 surat pendek dan saat itu hanya ada ustadz M. A Gamal yang bisa dimintain tanda tangan. Saya dengan santainya melafalkan ayat-ayat surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-nas tanpa peduli panjang dan pendek. Beliau langsung nggak mau tanda tangan karena bacaan tajwidnya salah semua. Duh, padahal sisa 3 tanda tangan lagi saya sudah dapat seluruh tanda tangan, tapi malah tertahan di 3 kolom terakhir. Awalnya saya mau kabur aja, mencari guru atau ustadz lain untuk minta tanda tangan. Tapi karena ustadz Gamal kenal banget sama Papa, saya jadi takut beliau mengadu ke Papa.  Akhirnya saya ditahan satu jam bersama beliau untuk membenarkan tajwid 3 surat terakhir itu. 

Jadi teringat, sebandel-bandelnya saya dan teman-teman pada masa kecil, kami tetap takut sama orang tua, guru, dan nomor satu paling takut adalah guru ngaji. Teringat Alm. ustadz Arifin yang bertubuh gemuk berkeliling komplek dengan sepeda atau vespa untuk mengajar mengaji. Kebetulan saya nggak belajar sama beliau tapi kebanyakan teman-teman diajarin ustadz itu. Katanya beliau galak, tapi paling sayang sama muridnya. Jadi terpikir sekarang betapa banyak pahala yang beliau investasikan ke anak-anak agar pandai mengaji hingga dewasa. Semoga menjadi amalan jariyah sebagai ilmu yang bermanfaat.

Sebenarnya hal yang paling saya rindukan adalah suara Papa ketika sedang mengaji. Biasanya setelah shalat Ashar, Papa pasti duduk di sofa ruang tamu, dengan peci dan baju koko, lalu melanjutkan mengaji sampai 1 juz. Terkadang dulu kalau pulang dari Jakarta, saya bisa duduk diam sambil hanya mendengarkan suara Papa. Masih teringat betapa indahnya, betapa rindunya. Suara yang tidak mungkin saya dengar lagi sampai kapan pun😢😢😢.

Allahummaghfir lahu warhamhu, wa’aafihi wa’fu ‘anhu.
اَللهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
"Ya Allah, ampunilah dosanya, berilah rahmatMu ke atasnya, sejahtera dan maafkanlah dia."

Akhirnya, postingan saya selesai juga di hari terakhir Ramadhan. Jadi sedih sejak semalem ketika shalat tarawih terakhir. Menurut saya shalat tarawih itu berat, agak malas-malasan mengerjakannya, walaupun alhamdulillah nggak pernah tinggal (kecuali sewaktu mens). Tapi ketika mengerjakannya semalem, jadi merenung, Ramadhan segera berakhir😔😔😔. 
Mesjid Raya Baiturrahman
Semoga dapat dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya. Semoga tahun depan bisa merasakan 10 malam terakhir Ramadhan sampai Lebaran di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram berdua, bertiga, atau berempat juga boleh😁.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin. 
Taqabalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum wa ja’alna minal ‘aidin wal faizin
تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَمَنَا وَ صِيَمَكُمْ وَجْعَلْنَا مِنَ الْعَائِدِين وَالْفَائِزِين
"Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan (amal) dari kalian, puasa kami dan puasa kalian. Dan Semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah)."

Juni 22, 2017

Berbuka Puasa di Mesjid Istiqlal

Awal Ramadhan kemarin, sebelum mudik ke Aceh, saya akhirnya bisa berbuka puasa di Mesjid Istiqlal. Hal yang dari dulu sudah menjadi keinginan saya, tapi belum pernah terlaksana sama sekali sejak mulai tinggal di Jakarta dari tahun 2010. Setiap berganti Ramadhan, selalu berniat buka puasa, tapi selalu ada aral melintang dan nggak jadi terus kesini. Berhubung puasa pertama dimulai hari Sabtu, beberapa teman yang diajak bareng ke mesjid pada bisa, ya udah bela-belain harus ke Istiqlal.

Saya jalan dari Depok sekitar jam 1 siang karena takut kereta bakalan ngetem di stasiun Manggarai atau stasiun Gambir. Ternyata, kereta berjalan mulus dan saya sampai ke Masjid Istiqlal 50 menit kemudian. Ini rekor sih, bisa mengendarai kereta dari stasiun Depok Lama ke stasiun Juanda hanya 50 menit. Seandainya selalu secepat ini perjalanan naik kereta, pasti warga Jabodetabek akan merasa sangat diuntungkan. Saya sempat mampir ke 7eleven di depan stasiun Juanda untuk membeli air mineral dan roti untuk jaga-jaga kalau nggak ada makanan berbuka yang dibagikan. Oh ya, karena mesjid sangat luas, jadi sebaiknya kalian bawa plastik untuk menaruh sendal. Kalau nggak bawa, bisa beli plastik juga karena banyak pedagang yang jual.

Ini kali kedua seumur hidup saya shalat di mesjid Istiqlal. Terakhir sewaktu SMP kali ya😕. Mesjid ini masih sangat luas. Saya sempat berjalan agak jauh untuk mencari saf khusus cewek. Mungkin bukan jauh, tapi nggak tau jalan pintasnya. Akhirnya malah naik ke lantai 2, jalan berkeliling, lalu turun ke saf cewek. Pemandangan setelah zuhur waktu itu adalah kebanyakan orang yang tiduran. Memang jam-jam kritis sih setelah zuhur apalagi sedang berpuasa.

Saya sempat tiduran juga sampai jam 3 siang. Setelah itu mencari tempat untuk berwudhu. Karena nggak ada petunjuk arah ke tempat wudhu, saya jadi harus bertanya pada ibu penjaga mukenah. Toilet dan tempat wudhu ada di lantai paling bawah mesjid. Setelah tau arah, saya dan teman-teman langsung menuruni tangga, melewati lorong berkelok-kelok, sampai akhirnya menemukan tempat wudhu dan toilet. Kesan saya pertama kali kesini adalah, semua interiornya sudah tua. Teringat dulu ketika masih SMP, keran-keran wudhu terlihat begitu baru, toilet super bersih, dan semua interior terlihat bersih dan berkilau. Apa karena sudah dimakan usia?

Setelah berwudhu, adzan berkumandang dan kami mulai merapatkan saf. Ada seorang ibu-ibu yang berteriak menggunakan toak untuk menyuruh para jemaah wanita maju ke depan dan merapatkan barisan. Ini yang saya suka, berhubung banyak sekali orang remeh dengan kondisi saf rapat dan lurus. Kadang mereka membawa sajadah besar dan satu sajadah untuk satu orang, sehingga jadi banyak celah antar orang-orang. Berhubung nggak ada yang bawa sajadah, diteriakin ibu-ibu juga, jadilah saf rapat dan lurus.

Setelah shalat Ashar berjamaah, saya dan teman-teman duduk bersandar di pilar-pilar mesjid untuk mengaji sejenak. Kalau sudah lelah mengaji, biasanya saya hanya duduk termenung melihat banyak turis yang lalu-lalang untuk berkeliling. Pukul setengah lima sore, pengumuman pembagian makanan berbuka puasa terdengar. Yang mau ikutan berbuka puasa bersama harus duduk berbaris rapi di pelataran mesjid. Saya dan teman-teman membentuk barisan dan melihat sekeliling. Ternyata rame juga yang ikutan. Tua, muda, miskin, kaya, berbaur semua jadi satu. Banyak banget juga wartawan yang mengambil gambar. 
Duduk berbaris
Makanan berupa nasi kotak pun dibagikan. Porsi makanannya banyak banget dan saya sudah yakin nggak akan bisa menghabiskan makanan sebanyak ini ketika pas berbuka puasa karena pasti bakalan telat shalat magrib. Setelah makanan dibagikan, masih ada waktu 45 menit lagi sampai adzan magrib. Jadi bingung juga mau ngapain. Palingan melihat orang-orang yang sibuk mengobrol satu sama lain. Ada juga teman-teman saya yang sibuk posting IG Story😆. Adzan pun akhirnya berkumandang. Alhamdulillah, bisa buka puasa di mesjid ini. Saya hanya makan beberapa buah kurma, minum air, lalu berwudhu dan shalat magrib berjamaah. 
Makanan untuk berbuka puasa dibagikan
Orang-orang semakin ramai
Setelah shalat magrib, saya keluar dari barisan, dan duduk bersandar di pilar-pilar luar mesjid. Sekalian melanjutkan makan malam yang tertunda. Rasanya senang banget bisa buka puasa di mesjid ini setelah bertahun-tahun dan akhirnya kesampaian juga. Waktu selang antara shalat magrib dan shalat isya memang sangat singkat, sehingga setelah makan, kami harus langsung berwudhu dan kembali ke barisan shalat karena adzan Isya sudah berkumandang. Seperti shalat-shalat sebelumnya, terdengar suara ibu-ibu berteriak menggunakan toak menyuruh merapatkan barisan shalat.

Shalat Isya berlangsung khusyu', dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh imam terdengar sangat indah. Imam yang memimpin shalat di mesjid Istiqlal adalah bapak Prof. Dr. Nasaruddin Umar M.A selaku imam besar Masjid Istiqlal ke-5 dan juga wakil mentri Agama R.I. Jemaah masjid juga hampir penuh 100%. Alhamdulillah, masih banyak orang yang mau shalat tarawih berjamaah.
Shalat tarawih
Yang agak menjadi masalah buat saya adalah saya kegerahan banget ketika shalat tarawih. Apalagi setelah makan, metabolisme tubuh membuat keringat bercucuran. Mana pakai mukenah parasut yang membuat panas tubuh jadi meningkat. Rasanya dari ujung rambut sampai ujung kaki keringatan semua. Kipas angin ada sih, tapi jaraknya jauh-jauh banget dari pilar ke pilar dan nggak terasa sama sekali. Seandainya kubah mesjid bisa berpindah dan terbuka seperti di Masjid Nabawi, mungkin para jamaah akan merasakan angin dingin dari luar yang masuk ke dalam mesjid sehingga membuat shalat lebih nyaman. Atau seandainya dipasang AC central seperti di Masjid Raya Baiturrahman atau Masjid Sultan Oemar di Brunei Darussalam yang dinginnya minta ampunnn, pasti jemaah akan terasa lebih nyaman dalam beribadah. 

Setelah shalat, saya dan teman-teman nongkrong dulu di 7eleven stasiun Juanda untuk mendinginkan badan dan minum es teh manis. Rasanya dehidrasi tadi saking kepanasannya. Walaupun demikian, saya senang banget bisa berbuka puasa dan shalat tarawih di Istiqlal. Semoga nanti bisa berbuka puasa lagi di mesjid ini dan ketika saat itu tiba, mesjid sudah dilengkapi dengan AC. Aminnnn.

Kesimpulan Perjalanan ke Luang Prabang

Sampailah pada penghujung postingan untuk perjalanan saya ke Luang Prabang, Laos. Seperti biasa, saya selalu menarik sedikit kesimpulan tentang suatu negara yang baru saya datangi pertama kalinya. Mumpung sebentar lagi Lebaran dan saya masih ngutang 2 postingan lagi untuk segera di tuliskan sebelum Hari Raya Idul Fitri tiba. Jangan heran ya kenapa hampir setiap hari saya menulis blog, bahkan ada yang 2 postingan perhari.

Tempat Wisata
Sebenarnya tempat wisata di Luang Prabang itu sedikit. Hanya karena AirAsia hanya terbang beberapa kali kesini dalam 1 minggu, jadinya terasa lama banget liburannya. Lama perjalanan saya adalah 4 hari 3 malam dan saya disana santai banget. Bahkan sempat bingung, mau ngapain lagi ya, mau kemana lagi ya. Tapi santai-santai begini enak juga sih, berhubung saya ke kota itu sedang dalam kondisi tidak fit. Sekalian beristirahat di Villa.
Kuang Si Waterfall
Sungai Mekong
Walaupun tempat wisatanya sedikit, tapi kebanyakan menanjak, menaiki tebing atau bukit, sampai ke puncak. Nah, mendaki itu terlalu melelahkan buat saya karena anak tangganya besar-besar dan jaraknya jauh-jauh. Kalian harus menyiapkan ekstra tenaga kalau ke Luang Prabang. Apalagi, suhu udara di kota ini mencapai 38 derajat. Saya sampai mimisan, bahkan mimisannya lama sampai saya sudah berada di Indonesia. Jadi kebayang kalau bawa orang tua kesini pasti nggak akan sanggup jalan menanjak dan menaiki ratusan anak tangga.

Makanan
Agak sulit menemukan cemilan halal di kota ini. Biasanya saya lumayan berani makan apa aja cemilan di pinggir jalan karena jarang dicampur dengan penjual makanan non halal. Sayangnya di kota ini cemilan buah dan potongan-potongan daging babi dijual barengan. Bahkan rumput sungai (bukan rumput laut karena berasal dari sungai Mekong) juga ada yang nggak halal. Susah juga jadinya. Padahal river weed itu enak banget loh!
Makanan khas Luang Prabang
Alhamdulillah resto halal memang deket banget dari penginapan saya dan memang saya merasa lebih aman makan disini. Dulu sewaktu di Hong Kong, dengan gampangnya saya mencari makanan halal karena kebanyakan di dekat kuil Buddha banyak resto vegetarian. Jadi, lumayan harus berhati-hati ya disini. 

Belanja-belanji
Kalau kalian mau belanja hasil kerajinan tangan, magnet kulkas, tas rajut, semua ada di Night Market. Tapi karena negara kita juga kaya dengan hasil kerajinan dan saya juga menjual kerajinan Indonesia, jadi mendingan beli di Indonesia aja deh. Harga barang di Night Market kadang terlalu mahal dan penjualnya nggak mau (agak susah) menurunkam harga. Mungkin karena bule' kalau belanja disini nggak pernah terlalu menawar harga. Berbeda dengan kita orang Indonesia yang suka menawar dengan harga serendah mungkin.
Night Market
Saya hanya beli gantungan kunci, magnet kulkas, tas jinjing, dan kartu pop up 3D saja disini untuk oleh-oleh (saya selalu membeli oleh-oleh kapan pun dan dimana pun😜😜😜). Selebihnya saya merasa barang-barang itu di Indonesia juga ada.

Budget
Baiklah, saya akan menuliskan perincian uang yang saya keluarkan untuk perjalanan ke Luang Prabang dan menginap 2 malam lagi di Kuala Lumpur. Mari disimak!

Tiket AirAsia KL - Luang Prabang PP Rp. 305,200
Bagasi AirAsia Rp. 187,715
Lion Air CGK - KUL PP Rp. 1,169,660
Total Rp. 1,662,575

Penginapan:
Hotel City View KLIA Rp. 193,576
Hotel Barry In KLIA   Rp.  195,809
Villa Le Tam-Tam     Rp. 1,658,000
Total 2.047.385 : 2 = 1,023,692

Grand Total Rp. 2,686,267

Ditambah saya membawa USD 100 untuk makan dan jajan yang masih sisa beberapa belas USD sampai pulang ke Kuala Lumpur. Menurut saya ke Luang Prabang lumayan murah juga. Mungkin karena dapat tiket PP Airasia Rp. 0,- dan hanya membayar bagasi saja.

Semoga bermanfaat ya 😌😌😌

Juni 21, 2017

Luang Prabang Culinary

Sebenarnya banyak variasi makanan yang bisa kalian dapat di Luang Prabang. Cemilan-cemilan di sepanjang Night Market beragam macam yang bisa kalian nikmati. Hanya saja, saya agak meragukan kehalalannya karena kebanyakan memang menjual babi. Walaupun banyak juga yang jualan buah-buahan, tapi cara mereka mengupas buah pun agak jorok ya, jadi saya jijik sendiri. 

Saya akan menceritakan tentang beragam kuliner di Luang Prabang, termasuk dari restoran halal hasil saya browsing internet. Mari disimak 🍛🍜🍝🍞:

1. Sarapan di Villa Le Tam Tam 🍞🍉🍌
Sebenarnya untuk menu sarapan bisa request ke Villa mau makan apa. Saya lebih suka makan telur rebus, roti tawar, dan buah-buahan. Pernah suatu hari pihak hotel merasa kita kok makannya nggak ada daging. Jadi mereka memberikan kita smoke meat dan ternyata itu pork dan disajikan diatas omelet. Saya bersikeras kalau saya vegetarian dan nggak makan daging. Trus mereka suruh saya pindahin aja porknya, tapi makan telurnya doang, atau rotinya aja. Ya mana mungkin karena makanan halal kena babi jadi haram juga. Jadilah omeletnya kebuang sia-sia.
Sarapan di Villa
2. Wat That Restaurant 🍲🍳🍱
Resto ini deket banget dari Villa tempat kami menginap, hanya sekitar 200 meter saja. Bahkan kalau melalui jalan potong, bisa cuma 100 meter doang jaraknya. Wat That resto ini menyatu dengan Wat That hostel yang harga menginap semalem murah banget, cuma Rp. 70rban udah termasuk sarapan. Well, berhubung saya sama sekali nggak browsing ketika kesini, jadi deh menginap di Villa agak mahal sedikit, hihihi.
Enak banget
Menu makanan di resto ini lumayan bervariasi. Saya memilih makanan Kapau (mirip nama warung padang di Indonesia) yaitu sayuran buncis, di tumis dengan ayam dan cabe yang rasanya enak banget. Kami juga memesan river weed (rumput sungai, bukan rumput laut) yang digoreng garing dan rasanya enak banget juga. Ahhh, saya suka semua makanannya apalagi karena ini halal, jadi nggak was-was menikmatinya. Penjual makanannya adalah orang Malaysia yang menikah dengan orang Laos. Si abang itu juga mengingatkan kita jangan sembarangan beli river weed (saya dan anak-anak Malaysia lainnya jadi mau beli di pasar saking enaknya) karena bisa nggak halal juga.

3. Night Market Snack🍧🍪🍹
Saya lebih suka nongkrong di kios kecil yang menyediakan jus. Asumsi saya kalau jualan buah pasti halal. Saya juga memesan Crepes kacang dan coklat sebagai makanan ringan karena capek berkeliling untuk belanja. 
Cemilan crepes dan jus
Jajan di kios-kios seperti ini lumayan mahal. Mereka sengaja memberikan harga berkali lipat lebih mahal untuk turis, padahal cuma pesan jus doang. Mendingan langsung makan di resto aja daripada beli cemilan di kios-kios seperti ini.

4. Nisha Restaurant 🍛🍵🍚
Resto ini menyediakan makanan India dan Free WIFI. Saya lupa memfoto makanannya tapi seperti makanan India biasa yang kebanyakan menu dari kari. Harga makanan dan minuman disini juga lumayan bersahabat. Total makanan berat di Nisha Resto sama dengan harga total cemilan di Night Market👀👀👀.

Saya mencari resto ini menggunakan GPS dan mendownload offline map karena takut nanti malah nggak dapat wifi lagi. Kalau mau jalan kaki dari Night Market ke resto ini sekitar 10 menit, tapi perjalanan balik ke Night Market malah lebih cepet, sekitar 5 menit. Bingung juga kenapa. Untuk rasa makanan sih, saya lebih suka di Wat That karena agak mirip dengan masakan Indonesia. Tapi kalian bisa mencoba Nisha Restaurant sebagai pilihan lain untuk makanan halal di Luang Prabang. Bosen juga kan makan di Wat That terus selama 4 hari di Luang Prabang.

Nanti akan saya posting tentang budget ke Luang Prabang. Sampai jumpa!

Juni 20, 2017

Cruising Mekong River

Jujur saja saya nggak tau kalau sungai Mekong ada di Laos. Sewaktu pertama kalinya check in Villa di Luang Prabang dan resepsionis menceritakan semua destinasi wisata di kota itu, saya kaget sendiri karena sungai Mekong jaraknya hanya 50 meter dari Villa tempat saya menginap. "What? That Mekong river is here?" Well, beginilah kalau pergi ke suatu tempat tanpa membaca terlebih dahulu atau menyusun itinerary. Jadi agak malu-maluin 'kan? Hahahaha. Untung cuma ke Laos doang. Coba kalau pergi ke negara jauh tanpa persiapan? Nggak mungkin juga sih. Pasti udah heboh sendiri dengan menyiapkan ini itu bahkan sebulan sebelum keberangkatan.
Sungai Mekong
Perahu Mekong
Mekong adalah sungai trans-batas di Asia Tenggara dan merupakan sungai terpanjang ke-12 di dunia, juga yang terpanjang ke-7 di Asia. Diperkirakan panjangnya adalah 4.350 km (2.703 mil), meliputi area seluas 795.000 km2 (307.000 sq mi), menghabiskan 475 km3 (114 cu mi) air setiap tahunnya. Sungai ini mengalir dari Dataran Tinggi Tibet melalui Provinsi Yunnan China, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Pada tahun 1995, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam membentuk Mekong River Commission untuk membantu pengelolaan dan penggunaan sumber daya dari Sungai Mekong secara terkoordinasi. Pada tahun 1996, Cina dan Myanmar menjadi "dialogue partners" MRC dan enam negara sekarang saling bekerja sama dalam satu rangkaian. 
Duduk manis di perahu
Hal yang paling membuat saya antusias, "Yeay, akhirnya saya ke Mekong."😎😎😎. Walaupun Mekong bukan termasuk 7 Wonder of Nature seperti Ha Long Bay dan Jeju Island yang pernah saya kunjungi, saya tetap sangat antusias mengunjungi tempat ini. Bangun pagi, sarapan, dan langsung jalan kaki menyusuri pinggiran sungai Mekong untuk mencari pelabuhan yang menyediakan jasa berlayar ke Pak Ou Cave, sebuah gua tempat ratusan patung Buddha berada. Setelah 10 menit berjalan kaki, kok nggak menemukan tanda-tanda adanya pelabuhan. Akhirnya bertanya pada bapak-bapak yang sedang nongkrong disitu dan beliau menawarkan jasa ke Park Ou dengan membayar 100,000 kip. Hmm, mahal juga sih, tapi saya udah males jalan kaki lagi karena Luang Prabang itu panas banget, bahkan sampai 38 derajat. Ya udah, saya dan Nida menerima penawaran dari sang bapak untuk naik perahu dengan harga agak mahal.
Pom bensin di sungai
Awalnya saya berpikir bakalan cuma berdua doang dengan Nida menjadi penumpang di perahu. Ternyata perahu transit di dermaga (yang kami cari) untuk berpindah perahu dan menaikkan penumpang lainnya. Saya bertemu orang Indonesia yang awalnya satu pesawat dengan kita dan dia bilang hanya membayar 60,000 kip saja. Huuu, kita jadi kemahalan deh😞. Berlayar di sungai Mekong pun dimulai. Saya mengambil beberapa foto dan melihat sekeliling. Karena kita berada di tengah sungai tanpa area teduh, jadi terik banget langsung ke muka. Saya sarankan kalian untuk pakai topi dan kacamata hitam disini karena silau banget. Anginnya enak banget, bikin ngantuk. Apalagi ayunan perahu benar-benar bikin mata terpenjam. Sampai akhirnya saya tiba di sebuah desa bernama Lao-lao Village.
Etalase Whiskey
Whiskey menyeramkan😨😨😨
Sempat bingung awalnya kenapa saya ke desa ini. Apa saya salah naik perahu? Ternyata memang semua perahu pasti merapat ke desa yang terkenal dengan Whiskey dan kain tenun. Mungkin kalau kain sudah biasa ada di negara kita. Yang mengherankan adalah Whiskeynya. Gila ya, mereka menaruh tokek, ular kobra, lipan, kalajengking, ular, dan berbagai jenis hewan seram lainnya di dalam botol whiskey. Alkoholnya juga tinggi banget, yaitu 50%. Saya sih udah seram duluan melihat ada binatang melata di dalam botol whiskey. Katanya hewan-hewan itu untuk obat. Hiiiii, mending ke dokter daripada harus minum ini untuk obat.
Ada kobra😱😱😱😱
Kain tenun
Setelah mampir sekitar 45 menit di desa Lao lao, kami melanjutkan perjalanan ke Pak Ou Caves. Mungkin total perjalanan kesini tuh ada kali 2 jam dan saya hanya melek 30 menit, sisanya tidur nyenyak. Pas bangun udah sampai di jembatan menuju pintu masuk gua. Kita harus membayar tiket seharga 20,000 kip, baru bisa naik ke tangga menyusuri gua. Tebing ini memiliki dua gua. Yang pertama bernama Tham Thing, lumayan dekat dengan tempat pemberhentian kapal, jadi nggak begitu capek naik tangga.
Sampai ke tebing
Mari menyusuri gua
Tangga ke gua Tham Thing
Tiket masuk
Ada apa di dalam gua? Kalian bisa melihat banyak sekali patung Buddha dimana-mana. Gua Tham Thing cukup terang dan memiliki beberapa tanda yang menjelaskan tentang patung dan altar doa di dalamnya. Beberapa patung Buddha ada yang sudah retak dan patah-patah. Mengingat usia gua ini sudah sangat tua mungkin ya, makanya banyak patung yang kondisinya udah nggak bagus lagi. Saya tidak berlama-lama disini karena memang tempatnya agak sempit untuk melihat patung Buddha. Bahkan ada altar tinggi yang kalau mau naik kesana harus gantian sama orang lain saking sempitnya tempat itu.
Patung-patung Buddha
Altar sempit
Berikutnya adalah gua Tham Theung, yaitu gua bagian atas berjarak 10 menit menaiki beberapa tangga curam. Awalnya saya kira masuk gua Tham Theung harus bayar lagi, ternyata nggak. Kalian tau, saking curamnya dan banyaknya anak tangga menuju gua ini, saya sampai ngos-ngosan setengah mati. Kayaknya dari ujung rambut sampai ujung kaki udah keringatan parah banget saking capeknya menaiki tangga-tangga ini. Saran saya kalau emang nggak terbiasa naik gunung, mending nggak usah naik ke Tham Theung karena bisa saja kalian pingsan nantinya. Nida aja udah lelah banget sampai harus beristirahat berkali-kali sepanjang perjalanan. 
Pintu masuk gua Tham Theung
Gua Tham Theung ini gelap banget. Sampai-sampai kamera mirrorless saya nggak bisa mengambil gambar sama sekali. Saya jadinya pakai kamera hp dan senter untuk melihat patung Buddha yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan jauh lebih banyak daripada gua yang berada di bawah. Karena sulitnya mencapai gua ini, pengunjung gua agak sedikit disini. Bahkan sewaktu saya masuk, hanya ada 2 orang turis dan saya doang di dalam gua dan saya merasa agak seram juga jadinya. Tapi saya nggak takut sama per-hantu-an, cuma merasa patung-patung Buddha itu melirik saya aja. Hiiii, seram jugakk!😰😰😰
Patung-patung Buddha diambil pakai kamera hp
Tangga curam
Nggak berlama-lama di Gua Tham Theung, kami turun ke dermaga. Memang waktu turun lebih singkat daripada waktu naik, jadi mungkin kami sampai ke dermaga hanya dalam waktu 5 menit saja. Kami penumpang terakhir yang menaiki perahu, sedangkan penumpang lain udah lengkap. Setelah kami naik, perahu pun berlayar kembali meninggalkan gua-gua itu.

Di postingan berikutanya saya akan membahas tentang makanan di Laos. Sampai jumpa!

Kuang Si Waterfall

Cerita kali ini adalah tentang sebuah air terjun yang menjadi destinasi wajib ketika berada di Luang Prabang, Laos. Namanya Kuang Si Waterfall. Air Terjun yang satu ini terletak 29 km selatan Luang Prabang. Katanya, kalau ke Luang Prabang nggak ke Kuang Si Waterfall, berarti belom sah ke kota ini. Saya berangkat ke Kuang Si  Waterfall di hari kedua. Awalnya sih pengen dari pagi kesana, tapi ternyata hari itu hujan super deras. Tau bakalan hujan kan nggak akan mandi pagi banget, mending tiduran dulu mumpung hotel tempat saya menginap enak banget. Ditambah bisa pesan sarapan apa aja sepuasnya😋. Oh ya, selama di Luang Prabang, saya banyak banget makan buah karena pihak hotel selalu menyediakan buah, buah, buah aja terus. Nggak apa-apa deh, untuk antioksidan dan menghaluskan kulit😉😉😉. 

Setelah hujan reda sekitar pukul 11.30 siang, saya memesan van untuk berangkat ke Kuang Si beramai-ramai dengan turis lainnya. Harga perorang 50,000 kip pulang pergi, tapi ada beberapa traveller dari Malaysia malah dapat 30,000 kip doang. Kalian bisa juga ke air terjun dengan menyewa sepeda motor yang berarti kita bisa berkendara melewati beberapa desa yang indah dalam perjalanan. Memang sih perjalanan menuju Kuang Si Waterfall agak jelek dan berbatu, sehingga kami di dalam mobil jadi terpental-pental terus. Apalagi saya duduk di dekat jendela yang membuat saya terantuk dengan keras ke kaca. Jadi benjol deh. Lama perjalanannya kurang lebih 1 jam dan saya tidur di mobil. Tapi selalu terbangung karena kepala saya terantuk kaca jendela.
Selamat datang
Berfoto di depan gapura
Sesampai di Kuang Si, kami pun disuruh berjalan ke arah gapura. Ternyata 50,000 kip itu udah termasuk tiket masuk, jadinya nggak usah bayar tiket lagi. Kita harus melalui jalan setapak terlebih dahulu baru bisa melihat air terjun berwarna zamrud. Sebelumnya, kalian akan melewati Bear Sanctuary, tempat perlindungan beruang matahari dan bulan (Sun Bears dan Moon Bears) yang sudah langka karena diburu untuk diambil empedunya yang bisa dijadikan obat kuat. Kasian banget ya beruang-beruang ini. Saya sarankan kalian jangan terlalu dekat ke pagar tempat kandang beruang, karena jarak dari pagar ke pengunjung dekat banget. Bisa saja tangan beruangnya sampai pada kalian. Untung saja sewaktu saya kesana, beruang-beruang tersebut sedang santai-santai di ayunan dan nggak mendekat ke pagar.
Bears Sanctuary
Beruangnya lain main
Setelah puas berfoto dengan beruang, saya melanjukan perjalanan ke Kuang Si Waterfall. Duh, jadi seger banget melihat air terjun dimana muaranya seperti kolam renang alami dengan air berwarna hijau zamrud. Saya memang nggak berencana berenang, jadi cuma mengambil foto dan sedikit bermain air. Kalian harus trekking dari paling bawah air terjun sampai ke atas untuk melihat pemandangan lebih indah lagi. Kalian juga akan melihat air terjun dari atas dimana banyak turis yang melompat masuk ke air. Kebanyakan pengunjung tempat ini adalah turis dan hampir nggak ada warga lokal. 
Akhirnya ketemu air terjun
Lompat? Nggak? 😁
Air berwarna zamrud
Segerrrrrr
Yang paling menyebalkan dari tempat wisata ini adalah turis dari China dengan gayanya yang norak dan suka teriak-teriak. Mereka kalau panggil temennya yang jaraknya deket pun teriak kenceng banget. Beberapa bule' sampe' nutup telinga mereka karena suara turis China itu kenceng banget dan seperti orang sedang ngomel. Belum lagi mereka suka buang sampah sembarangan, berfoto dengan gaya yang aneh (memeluk pohon, mengisap rokok, dll), pokoknya nyebelin deh. Saya jadi males berada di dekat mereka.
Yang mau jajan
Saya rasa, waktu banyak terbuang kalau naik van carteran. Kami baru dijemput setelah 3 jam berada di air terjun. Untuk yang berenang di air terjun sih, lumayan singkat waktunya karena setelah berenang pasti makan dan berfoto. Jadi nggak terasa. Nah, kalau seperti saya yang nggak berenang, jadi bosan. Udah jalan-jalan kesana kesini, berfoto, duduk-duduk santai, tetep aja udah nggak tau mau ngapain. Kami disuruh ngumpul jam 15.30, tapi van baru datang jam 16.00. Duh, tambah bosan lagi. Sebaiknya kesini naik tuk-tuk aja karena tuk-tuknya beneran nungguin sampai kita beres main di air terjun. Jadi kalau udah bosen, bisa langsung pulang.
Para turis sedang mandi
Spot paling bagus untuk melompat
Di perjalanan pulang, ternyata jalannya lebih memusingkan lagi. Saya sampai hampir muntah saking terlalu berkelok-kelok dan supir van nyetirnya nggak mulus banget. Sedikit-dikit ngerem, trus ngegas mobil lagi, ngerem lagi, dan membuat saya sedikit lagi muntah. Nggak keren banget naik van bisa muntah. Daripada muntah, saya memilih tidur. Tapi saya terantuk kaca jendela lagi sampai dua kali. Duh, kayaknya udah ada benjol diatas benjol di kepala saya kaya es krim cone🍧.

Alhamdulillah sampai juga pusat kota dengan selamat. Menurut saya air terjun di Indonesia jauh lebih bagus daripada Kuang Si. Kalau saja turis-turis ini pernah ke air terjun Madakaripura, curug Cigangsa, atau curug Cikaso, Kuang Si jadi nggak ada apa-apanya. Baiklah, nanti saya cerita lagi tentang Sungai Mekong. Sampai jumpa 💗

Follow me

My Trip