Saya akan bercerita sedikit tentang kota eksotis ini. Dahulu kala, Luang Prabang adalah ibukota kerajaan dan pusat pemerintahan dari Kerajaan Laos. Sampai pengambilalihan oleh pemerintahan komunis Laos pada tahun 1975. Kota ini terletak di utara Laos tengah, yang terdiri dari 58 desa di sekitarnya, dimana 33 desa diantaranya menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995 untuk warisan kekayaan arsitektur, religius, dan budaya yang unik dan sangat luar biasa. Perpaduan antara perkembangan pedesaan dan perkotaan selama beberapa abad, termasuk pengaruh kolonial Prancis selama abad ke-19 dan 20.
Night Market
Hari pertama tiba di Luang Prabang, karena sudah sore juga dan beberapa tempat wisata tutup, yang bisa saya lakukan hanya menjelajahi pusat kota. Kalian bisa menyewa sepeda seharga 15,000 kip atau sewa motor 50,000 kip. Sebenarnya saya mau aja sewa motor, tapi Nida nggak berani saya bonceng. Disuruh nyetir motor sendiri, malah nggak bisa๐
๐
๐
. Akhirnya ya jalan kaki dan panas banget deh hawa kota ini. Saya udah keringetan parah banget. Padahal udah sore dan hampir magrib, masih aja gerah.
 |
Mari kita belanja |
Yang hanya bisa kami lakukan hari itu hanya belanja ke Night Market, sebuah pasar malam dimana para pedagang menggelar lapak di jalan utama kota Luang Prabang. Night Market berlangsung pada pukul 5 sore sampai 11 malam dimulai dari Wat Mai (sebuah kuil di pinggir jalan utama) di sepanjang Jalan Sisavangvong ke pusat kota (Jalan Settathilat). Jalan ditutup untuk kendaraan dan para pedagang dari pelosok kota muncul dengan membawa berbagai macam pakaian, keramik, bambu, lampu, selimut, selimut tidur, kerajinan tangan, dan syal sutra. Kalian harus hati-hati disini karena para pedagang sering mengutip harga yang lebih tinggi daripada saat membeli dari toko-toko pada siang hari.
 |
Dibeli dibeli |
Kalian bisa menawar sampai setengah harga di Night Market (persis seperti Ladies Market di Hong Kong). Saya nggak banyak belanja disini karena memang barangnya rata-rata ada di negara kita dan saya tipe orang yang agak malas menawar barang. Kalau lagi mood, ya nawar. Tapi kalau nggak mood, males juga. Palingan suruh Nida yang nawarin barangnya. Yang menarik perhatian saya seperti biasa adalah magnet kulkas, kartu ucapan, gantungan kunci, kopi, teh, dan tas lukis. Yang lain sih males belinya๐.
Royal Palace Museum dan Haw Pha Bang
Seperti biasa, saya nggak begitu suka dengan museum dan alhamdulillah pas saya kesini, museumnya udah tutup. Kok malah bersyukur? Hahaha. Saya datang ke Museum ini di hari ketiga saya di Luang Prabang. Padahal waktu itu belum jam tutup dan saya udah berusaha buru-buru setelah dari sungai Mekong, makan siang, dan mengunjungi museum ini. Tapi ya mau bagaimana lagi, katanya mereka mau mengadakan rapat di dalam museum dan menutup tempat ini lebih cepat. Ya sudah, saya dan Nida hanya berfoto saja di depannya dan memilih berbelok ke The Haw Pha Bang,
 |
Sisavang Vong on the palace |
 |
Royal Palace National Museum |
The Haw Pha Bang adalah sebuah kuil kerajaan dengan warna kuning mentereng yang masih satu komplek dengan Museum National. Kalian akan melihat naga emas King Kobras menakutkan yang menjadi ornamen di tangga utama. Eksterior bangunan ini merupakan perpaduan antara warna emas dan merah yang sangat mewah, dengan atap berjenjang agak mirip dengan rumah padang.
 |
The Haw Pha Bang |
The Haw Pha Bang selesai dibangun pada tahun 2006 dengan tujuan sebagai tempat penghormatan kepada Phra Bang, patung Buddha emas paling suci di Laos. Pembangunan kuil dimulai pada tahun 1963 dan sempat dihentikan saat partai komunis Pathet Lao berkuasa dan kembali pada tahun 1990an. Tempat ini juga berfungsi sebagai paladium Kerajaan Laos pada masa itu sehingga menjadikan Luang Prabang sebagai ibukota kerajaan sesuai dengan perubahan nama Phra Bang ke Prabang.
Phou Si Mountain
Tujuan selanjutnya Phousi Hill, juga disebut Phousi Mountain adalah sebuah gunung kecil di pusat kota Luang Prabang, yang terletak di semenanjung antara sungai Mekong dan Nam Khan. Phou Si, yang berarti "bukit suci" tingginya sekitar 150 meter. Tiket masuk seharga 20,000 kip dan kalian harus menaiki ratusan anak tangga berkelok-kelok untuk sampai ke puncak. Jujur aja menaiki ratusan anak tangga seperti itu lumayan berat untuk saya. Selain karena anak tangganya tinggi-tinggi banget bikin ngos-ngosan, hawa panas membuat saya cepat berkeringat, jadi cepat capek. Pokoknya perjuangan banget deh naik ke atas.
 |
Harga tiket |
 |
Mari menaiki anak tangga ๐ฉ๐ฉ๐ฉ |
 |
Jalanan berliku |
Phou Si Mountain ini terkenal dengan pemandangan 360 derajat seluruh kota Luang Prabang. Nggak heran kalian bakalan melihat hampir semua turis naik ke gunung ini untuk menunggu sunset atau sekedar menikmati pemandangan Luang Prabang dari atas. Ada sebuah sudut tempat paling bagus untuk mengambil foto. Hanya saja, kalian harus mengantri untuk berfoto disana karena semua orang yang naik ke puncak gunung pasti akan berfoto disini juga.
 |
Pemandangannya cakep ๐๐๐๐ |
 |
Nggak mau kalah |
Di puncak Phou Si terdapat sebuah kuil Buddha bernama Phou Si Wat Chom yang dibangun pada tahun 1804 oleh Raja Anourat. Struktur yang bisa dilihat dari kejauhan adalah stupa setinggi 24 meter, berwarna keemasan dan dihiasi oleh 7 menara emas. Bila cuaca cerah, Anda bisa melihat sampai ke stupa emas kuil hutan Phao Phoma Phai Santi Chedi di pegunungan sebelah timur Luang Prabang. Kebetulan kemarin cerah banget dan saya berhasil melihat kuil Phao Phoma Phai Santi Chedi itu dan bisa mengambil gambar kuil itu.
 |
Phou Si Wat Chom |
 |
Wat Phao Phoma |
 |
Kota Luang Prabang |
Selanjutnya, saya hanya menghabiskan waktu sampai matahari terbenam di puncak bukit untuk mengambil gambar. Setelah itu kembali menuruni tangga dalam kegelapan tanpa ada penerangan sedikit pun di sepanjang tangga.
 |
Detik-detik cahaya jingga |
 |
Matahari Terbenam |
0 comments:
Posting Komentar