Agustus 17, 2018

Cerita Tentang Rindu

Selamat ulang tahun Indonesia ke 73. Saya akan mempersembahkan cerita manis untuk kalian. Kali ini saya menuliskan cerita yang merupakan lanjutan dari cerita-cerita dengan Label yang sama. Sekedar ingin break dari tulisan tentang travelling walaupun hanya satu postingan. Kalau kalian buka postingan ini dari hp, mungkin nggak akan kelihatan Labelnya, kecuali dari laptop atau komputer. Tapi tidak apa-apa. Silahkan menikmati cerita yang saya rangkai dari pengalaman pribadi dan impian yang sudah diramu dengan bumbu-bumbu terindah.

***

Sudah hampir setahun, tepatnya 11 bulan yang lalu, aku masih mengusahakan untuk bertemu dengannya, di kotanya. Bahkan aku sempat menggelar event di hotel tempat dia biasa bertugas hanya untuk bertemu dengannya. Tapi tidak lagi untuk kali ini. Aku sudah menyerah. Dulu aku memang berniat untuk memilikinya, sehingga apa pun mungkin akan aku lakukan hanya untuknya. Hanya saja, aku merasa yang berusaha sendiri. Tanpa dia berusaha juga untukku. Masalah pekerjaan yang paling menjadi halangan dan jauhnya jarak antara tempat tinggal kita. Dibutuhkan penerbangan selama 1 jam 10 menit ke kotanya dan aku sudah tidak ada keperluan lagi di kota itu. Dulu bisnis bisa jadi alasan utama, tapi tidak lagi sekarang karena aku sudah merekrut beberapa karyawan untuk memantau dan menjalankan bisnis.

Beberapa kali aku melakukan perjalanan baik di dalam maupun luar negri hanya untuk pelarian dari kerjaan dan dari cinta. Kita masih sering saling berkomentar di sosial media, posting foto di instagram dengan caption yang pernah kamu tulis dan aku tulis di instagramku. Tapi semua rasa sekarang jadi 'datar', tidak terlalu berarti lagi. Komentar di sosial media selalu kubalas tapi aku tidak antusias lagi. Mengobrol denganmu di social messenger juga sudah tidak semenarik dulu lagi, apalagi menelepon. Ternyata rasa yang dulu indah bahkan terlalu indah bisa hilang seiring berjalannya waktu.

Seorang teman di kantor bernama Kiki pernah bilang, "Perasaan itu bisa dijaga dengan komunikasi." Tapi sehebat apa pun komunikasi tanpa bertemu langsung, hasilnya akan sia-sia.

Sampai suatu hari aku bertemu dengan cowok bernama Rio disebuah pertemuan singkat acara teknologi. Dia pintar, kaya, ganteng, dan sangat mengerti tentang bisnis yang sedang aku jalankan. Kami terlihat cocok untuk segala hal kecuali satu, Rio tidak suka jalan-jalan. Dia suka mendengar cerita-cerita tempat indah dariku tapi sama sekali tidak ada tanggapan. Hanya mendengarkan, sudah cukup. Aku tidak bisa membahas hal lain dengan Rio kecuali bisnis. Dia memang sangat jago dalam berbisnis dan rela dimintain tolong dan saran apa pun. Tapi tetap terasa ada yang kurang...

Aku pernah sekali ikut Open Trip ke sebuah negara yang dilewati pegunungan Himalaya. Ardi sempat berkomentar di sosial media karena dia pengen ikut sedangkan aku tidak mengajaknya. Tidak mengajak? Padahal aku sendiri tidak pernah melewatkannya tapi alasan dia untuk menolak ajakanku selalu sama, bosnya tidak memberikan cuti. Aku hanya tersenyum garing membaca alasannya yang selalu itu-itu saja. Hanya balasan komentar singkat saja yang tidak penting berhasil aku ketik untuk Ardi.

Aku agak lemah dalam mendaki gunung dan aku sangat tertolong dengan teman sesama trip bernama Riko. Orangnya baik, kocak, sangat suka jalan-jalan, dan aku merasa cocok mengobrol dengannya. Selama trip bareng walaupun orangnya self centered, tapi dia teman yang asyik. Bahkan sepulang trip pun, kami masih sering berhubungan dan dia suka main ke Jakarta untuk bertemu denganku. Tapi, kehidupannya tidak cocok denganku yang suka minum minuman beralkohol atau dugem. Aku tidak suka. Sekalipun kami nyambung, tetap saja ada hal prinsipal yang tidak bisa aku toleransi sama sekali. Kalau kata Indah (sahabat sekaligus wakil direktur di kantorku), "Mungkin aja kalau kamu deketin dia bisa berubah." Aku malah mendengus. Mengubah orang itu tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Tiba-tiba aku kangen Ardi...

Aku membuka Instagramnya dan melihat sedang berada dimana dia. Aku kaget karena dia sedang pergi sendirian ke sebuah pulau terpencil di Nusa Tenggara Barat.  Ada sedikit rasa kecewa di hati. Aku tidak akan mungkin menyusul ke pulau itu karena jadwal kantor yang sangat padat. Aku hanya duduk terdiam di meja kerja lantai paling atas kantorku sambil melihat keluar jendela. Kenapa setelah berbulan-bulan lamanya, meskipun bertemu dengan banyak orang, tetap saja Ardi yang selalu datang ke pikiranku? Sebenarnya, dia adalah seseorang yang masuk di segala kriteria yang aku inginkan. Suka jalan-jalan, ganteng, pintar, humoris, religius, dan bisa diandalkan. Hanya saja, aku sudah tidak mau lagi mencarinya.

Sampai suatu hari, aku menghadiri sebuah acara besar di Jakarta yang bekerjasama dengan sebuah Bank terbesar di Indonesia. Seluruh pemilik perusahaan diundang termasuk aku. Biasanya ini adalah cara bank untuk menghimpun dana dara para pengusaha untuk disimpan di bank tersebut. Karena rekan bisnisku banyak yang hadir dan kami sudah lama tidak bertemu, maka aku memutuskan hadir bersama Indah. Acara dimulai dari jam 8 pagi yang membuatku tidak bisa tidur lagi setelah shalat Shubuh.

Kata sambutan para petinggi bank membuatku ngantuk. Aku lalu beranjak menuju toilet untuk berusaha menghilangkan kantuk. Aku berjalan keluar aula, mencari toilet, sambil mengagumi interior hotel tempat acara berlangsung. Seperti biasa, aku akan mengeluarkan hp dan merekam video untuk instagram story. Seketika aku kaget melihat dari dalam hpku ada Ardi. Aku melihatnya berdiri dihadapanku seraya tersenyum. Senyum itu sudah lama sekali tidak pernah aku lihat lagi.

"Apa kabar, Rika?" tanya Ardi.
"Kamu... kok disini?" tanyaku penasaran tanpa berkedip, lalu berjalan mendekatinya. Hanya ada kami berdua di koridor sampai suara ketukan heels yang aku pakai terdengar.
"Aku bekerja di Bank ini." jawabnya.
"Apa kamu tau kalau aku salah satu tamu undangan?" tanyaku
Ardi mengangguk.
"Dan kamu nggak menghubungiku?"
Ardi terdiam berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Biar surprised."

Aku tersenyum sumringah. Rasanya ingin memeluknya tapi kutahan. Kenapa dia tambah ganteng hari itu dengan seragam batiknya? Ada rasa kangen yang terlalu membuncah. Kami mengobrol sambil berdiri bahkan sampai lupa waktu. Untung saja Indah meneleponku untuk menyuruhku kembali ke aula. Rasanya ingin mengajak Ardi pergi saja dari hotel ini seperti yang biasa kita lakukan dulu. Tapi sayangnya nggak bisa, dia sedang bekerja. Aku harus maklum untuk hal itu. 

Ketika makan siang, aku kembali menghampiri Ardi. Aku melewatkan semua rekan bisnis hanya untuk bersama Ardi. Kami mengobrol tentang banyak hal, seolah cerita 11 bulan yang belum kita obrolin ingin dibahas semuanya. Baru kali ini aku bersyukur karena acara seperti ini berlangsung 3 hari. Paling nggak, aku bisa bertemu Ardi selama 3 hari berturut-turut.

***

Hari ini aku senang bisa bertemu dengan Rika. Sudah terlalu lama tidak komunikasi tapi tidak pernah membuat perasaanku berkurang kepadanya. Aku senang sekali karena Rika adalah tamu undangan Bank tempat aku bekerja dan aku sengaja memilih jadi panitia acara yang akan membantu para tamu dalam hal apa pun. Sebenarnya yang ingin aku bantu cuma Rika, hihihi. Para tamu yang lain sih biar menjadi tugas teman-temanku.

Hari kedua acara, aku sudah bersiap lebih pagi karena janjian sama Rika untuk mengobrol dulu sebelum acara di aula mulai. Seandainya bisa, aku ingin duduk di sebelahnya saja selama berlangsungnya acara. Sayangnya dia adalah para tamu undangan dan harus duduk di deretan para undangan. Hai ini sialnya Rika terkena macet, jadilah aku harus menunggunya. Aku sih bisa saja dari Shubuh ke aula karena memang aku menginap di hotel yang sama. Kebayang kan melihat aula masih sepi dan aku dianggap sebagai karyawan paling rajin di dunia. Aku keluar dari aula dan tidak sengaja bertemu dengan atasanku.

"Pagi, Pak!" sapaku.
"Kamu pagi sekali."
Aku tersenyum. "Biar semangat."
Bapak itu terdiam sesaat dan mulai pembicaraan, "Ardi..."
"Ya?"
"Saya melihat kamu kemarin bersama Ms. Erika. Dan kalian tampak sangat akrab."
"Iya, Pak. Kita sudah lama tidak bertemu."
"Saya mau kamu mencari tahu dimana dia menyimpan uangnya."
Aku kaget.
"Kamu tau, Ms. Erika mempunya bisnis sangat banyak tapi uang di rekeningnya tidak terlalu banyak. Padahal dia memegang semua bisnis paling bonafit di negara kita. Saya penasaran dimana dia menyimpan uang. Aset yang dia miliki juga tidak terlalu banyak."
Aku terdiam. 
"Seandainya dia menyimpan seluruh uangnya di bank kita, kita bisa untung besar. Atau saya perintahkan kamu untuk membujuk Ms. Erika paling tidak bakalan menyimpan uang di bank kita senilai 10 Milyar. Kalian kan teman, seharusnya bakalan lebih mudah."
Aku sangat tidak bisa melakukan ini dan kenapa aku diam saja?
"Atau kalau ternyata kalian punya hubungan spesial, lebih bagus lagi karena perusahaan kita bisa untung besar hahahaha. Saya tunggu kabar baiknya hari ini ya!" Kata atasanku sambil menepuk pundakku.

Bapak itu kemudian pergi meninggalkanku yang masih merasa kacau. Aku kemudian menoleh berencana menyusul atasanku untuk mengatakan aku tidak bisa. Sayang, yang aku lihat malah Erika yang ntah sejak kapan berdiri disana. 

Erika mendekatiku. "Sepertinya aku tau kenapa aku ada dalam daftar tamu dan kenapa kamu tiba-tiba baik setelah selama ini kita jarang berkomunikasi." Matanya sangat tajam menatapku.
"Erika...." kataku lirih.
"Jadi bapak itu yang jarang ngasih kamu cuti untuk jalan-jalan sama aku?"
Aku masih diam.
"Sebutkan saja berapa yang kamu butuhkan, nanti aku transfer. Anggap saja nilai itu adalah harga yang harus aku bayar untuk menghapus kamu dari ingatanku selamanya. Selamat tinggal Ardi."
Aku menarik lengan Erika dengan kencang untuk menahannya. "Aku tidak akan pernah melakukan hal buruk padamu dan kamu tau itu." ucapku sambil menatap mata Erika. Dia menepis tanganku dan pergi meninggalku yang kacau. Aku hanya bisa melihat dia memasuki aula dengan terburu-buru. 

Di sisi lain, aku melihat atasanku sedang mengobrol dengan beberapa pengusaha sambil tersenyum penuh arti kepadaku. Atasanku pasti tidak tau kalau tadi aku dan Erika malah berantem. Bisa-bisa karirku selesai sampai disini dan aku tidak akan pernah bisa bertemu Erika lagi. Kepalaku langsung sakit rasanya.

Kenapa selalu begini?

0 comments:

Follow me

My Trip