Februari 23, 2019

Aku Pamit

Mengawali tahun 2019 dengan perasaan tidak menentu, sehingga saya memutuskan untuk menulis cerita saja. Kalau dilihat-lihat, tahun 2018 saya hanya menulis satu cerita saja lho😗. Tahun 2017 hanya 3 cerita, dan 2016 lumayan banyak yang saya tulis. Sebenarnya dari dulu hobi saya memang menulis cerita, tapi ntah kenapa dua tahun belakangan ini saya merasa kekurangan inspirasi. Mungkin mengurusi perusahaan dan jalan-jalan kesana-kemari menjadi faktor utamanya. Walaupun postingan tentang petualangan saya terus bertambah, tapi saya merasa perlu menulis cerita pendek yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari.

Sebenarnya cerita ini sudah saya tulis di bulan November 2018 dan terus menjadi draft karena saya belum tau endingnya. Sempat menuliskan ending yang berbeda di Desember, lalu berubah lagi di Januari, dan saya rasa di Februari ini sudah nggak boleh berubah lagi😅. Kan ntar pusing mau ending yang mana dan berakhir seperti apa. Baiklah, saya akan menuliskan dengan ditambah banyak bumbu penyedap agar lebih enak dibaca. Mari disimak!

***

Ini sebenarnya adalah cerita tentang sebuah perpisahan. Aku mengingatkan kalian dulu sebelum menuliskan detilnya. Lusa aku akan berangkat ke Amerika untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Aku memegang Visa Amerika multiple entry selama 5 tahun. Bisa jadi, aku tidak akan pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Untuk mengakali jatah waktu perkunjungan selama 5 tahun, aku akan menetap di Shanghai karena bisnisku juga ada disana. Kebetulan aku memegang Visa China multiple entry juga.

Ada hal yang paling menyakitkan tentang semua ini. Bukan karena aku akan tinggal lama di luar negri dan meninggalkan negaraku tercinta, tapi aku tidak bisa mengajaknya untuk ikut. Bahkan aku harus berpisah dengannya.

Sekitar seminggu yang lalu, perasaanku hancur berantakan karena dia. Bahkan dengan wajah tanpa merasa bersalah dia bilang, "Kamu seharusnya tidak usah terlalu ambisius mengejar duit sampai ke Amerika dan meninggalkan Indonesia." Saat itu aku terdiam dan berpikir bahwa di dalam pikirannya berarti aku adalah orang seperti itu. Kalau saja bukan karena mempertaruhkan perusahaan dan karyawan, aku lebih memilih di Indonesia. Dan dia dengan egoisnya mengambil kesimpulan tentangku. Saat itu, dia langsung meninggalkan aku di lobi hotel dan pulang ke kosannya dengan keadaan marah, sedangkan aku terdiam mematung. Beberapa hari ke depan aku tidak akan melihatnya lagi tapi dia malah bersikap seperti itu padaku.

Hari itu hujan turun dan aku harus check out dari hotel tempat aku menginap. Aku harus pulang ke rumah dan bersiap-siap packing untuk ke Amerika. Sebelum pulang ke rumah, aku menyuruh supir untuk mengarahkan mobil ke daerah kosannya. Sudah hampir sebulan kami hilang kontak dan aku ingin melihatnya sekali lagi sebelum pergi. Aku turun dari mobil, mengambil payung, dan berjalan kaki melewati gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Sesampai didepan kosan, aku hanya berdiri diam sambil memperhatikan teras depan kosan yang sepi. Ntah ada apa tidak dia disana. Dari warung sebelah kosan, tiba-tiba mengalun lagu:

🎵Kasih, dengarkanlah aku
Kini hatiku yang berbicara
Resah yang ada di jiwaku
Ingin kulalui bersamamu🎵

Aku terbawa suasana. Tiba-tiba air mataku menetes. Teringat dulu pertama kali dia menyapaku di media sosial setelah 10 tahun hilang kontak dan dia langsung meneleponku untuk menceritakan semua tentang dirinya selama ini. Dia pandai bercerita, bahkan sangat detail. Awalnya aku tidak mau mendengarkannya karena ceritanya terlalu biasa dan aku merasa memiliki hidup yang lebih kompleks. Waktu itu aku berpikir, mendengar dia mengoceh hanya akan membuang-buang waktuku saja. Tapi aku tetap tidak menutup telepon. Aku memasang earphone agar tidak usah memegang hp dan mendengarkannya bercerita sampai 2 jam. Tidak terasa bisa mengobrol selama itu.

Kami kemudian bertemu ketika aku mengadakan seminar. Dia datang ke hotel tempat acara berlangsung dan aku kaget. Aku menatap wajahnya, kurang lebih masih sama dengan beberapa tahun yang lalu. Hampir tidak ada yang berubah. Karena terlalu ramai peserta seminar di resto hotel yang membuat aku tidak akan bisa mengobrol dengan leluasa, aku mengajaknya (kabur) makan diluar. Untung dia bawa sepeda motor, sehingga aku tidak usah memanggil supir lagi untuk mengantarkan kita ke tempat makan.

Kita makan di sebuah resto dengan pemandangan citylights yang indah. Disitu dia bertanya beberapa bisnis padaku dan aku memang lumayan mengerti tentang dunia jual-beli. Selama ini dia membuka toko kue yang katanya pelanggannya tidak terlalu banyak. Memang dia tidak sampai rugi, tapi terkadang ingin juga banyak pelanggan. Aku menyarankan beberapa hal padanya yang lumayan gampang untuk dipraktekkan. Dia mendengarkan dengan serius semua yang aku bilang. Kita mengobrol sampai jam 11 malam. Setelah itu dia mengantarkanku kembali ke hotel.

Besoknya setelah seminar, dia datang lagi ke hotel sambil membawakan kue dari tokonya. Aku membukanya dan melihat ada beragam bentuk kue imut dengan berbagai rasa. Aku kaget dengan pemberian sederhana ini. Dia bilang, "aku sendiri yang membuat, membungkus, dan menatanya di dalam kotak untuk kamu. Dimakan ya." Mungkin, hal ini agak sepele. Tapi ini yang benar-benar menyentuh hati.

Aku memasukkan kue ke kamar hotel dan turun kembali untuk makan malam bersamanya. Kali ini aku bawa kamera dan kami berfoto di sebuah resto indah yang memiliki banyak lampu. Mungkin sejak malam itu, aku jadi ingin terus mengobrol dengannya. Kalau bisa sampai pagi. Tapi tidak mungkin karena besoknya aku harus mengisi seminar dan talkshow yang nggak ada habis-habisnya. Sepulang dari resto, aku meminta dia untuk mengajakku ke toko kuenya. Eksterior toko sangat klasik seperti bangunan jaman Belanda dulu, tapi aku suka. Sayang karena sudah malam, toko tutup. Dia juga mengajakku mampir ke kosannya yang berada tidak jauh dari toko kue. Aku duduk di ruang tamu dan dia menghidangkan teh panas bikinannya sendiri. It was so lovely back then.

Karena sudah dua malam berturut-turut aku makan diluar, panitia penyelenggara seminar mulai mencurigaiku pergi tanpa memberi kabar. Di malam ketiga, aku sama sekali tidak boleh keluar hotel. Aku melihatnya datang ke lobi dari lantai dua hotel. Aku turun sebentar dan bilang padanya kalau kali ini aku tidak bisa keluar dan tidak bisa makan bersamanya. Panitia langsung menyuruhku masuk kembali ke ruang seminar ketika melihatku mengobrol dengannya. Sejak itu, aku malah tidak bisa bertemu dengannya lagi karena dia pergi ke luar kota untuk belajar menu baru untuk toko kuenya.

Selama ini hidupku diwarnai dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Kehadiran dia lumayan merusak konsentrasiku. Aku tidak bisa bertemu dengannya dan agak susah juga untukku meneleponnya. Tidak bisa setiap hari, bahkan hanya seminggu sekali baru ada waktu menghubunginya. Mengirim pesan pun tidak bisa setiap hari juga, tapi aku tetap melakukannya. Kalau sudah menelepon, kita bisa 3 jam. Pulsa hpku memang tidak akan habis karena memang fasilitas dari provider yang aku dapatkan bisa menelepon siapa saja sampai 10rb menit gratis.

Sampai saat aku menerima surat tugas untuk tinggal di luar negri. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, aku bingung. Biasanya aku akan pergi tanpa memikirkan apa pun. Berbeda dengan sekarang dimana tiba-tiba aku berpikir tidak akan melihatnya lagi. Selama ini aku memang jarang bercerita tentang apa pekerjaanku sebenarnya kepadanya, bagaimana aku memulai bisnis, karena aku tidak ingin mengubah cara pandangnya terhadapku. Tapi kalau tiba-tiba pergi tanpa pamit, seolah-olah aku sangat buruk dalam berteman. Aku harus memikirkan cara untuk menceritakan tentangku padanya.

Aku tetap menatap teras kosannya. Tiba-tiba mataku panas dan air mata mulai menetes.  Rasanya pedih sekali mengingat hal-hal indah bersamanya selama ini. Ntah bagaimana, dia keluar dari kosan dan melihatku berpayung di kala hujan gerimis seraya menangis. Dia membuka pagar kosan dan menyuruhku masuk, tapi aku menggeleng.

Aku teringat kembali saat aku ingin bilang padanya untuk ikut aku ke Amerika. Sebelum terus-terang, aku mengajaknya jalan-jalan ke Singapura. Dia hampir tidak pernah ke luar negri dan ini adalah jalan-jalan pertama dengannya. Kita jalan-jalan dan makan-makan kemana-mana. Saat itu begitu bahagia. Rasanya kami adalah orang yang tidak punya beban sama sekali. Sampai saat aku bilang padanya kalau aku akan pergi ke Amerika ketika di pesawat pulang ke Indonesia. Wajahnya berubah dan dengan santainya dia jawab, "Oh, ya udah pergi aja." 

Aku terdiam. Dia dengan entengnya jawab seperti itu. Aku berpikir, mungkin karena memang aku nggak penting untuknya. Selama 2 jam di pesawat, kami jadi diam saja. Sampai tiba-tiba dia bilang, "Kamu seharusnya tidak usah terlalu ambisius mengejar karir sampai ke Amerika dan meninggalkan Indonesia. Kamu kan cewek."

Sambil menunggu taksi, aku melihat dia terus mengetik pesan kepada seorang cewek. Ntah apa maksudnya, tapi hal itu lumayan mengganggu pikiranku. Taksi datang dan aku mengantarkannya duluan ke kosan, baru ke rumahku. "I don't have time for ego, anger, and jealousy by the way". Tapi cukup membuatku merasa nggak penting baginya setelah tanpa sengaja membaca nama cewek itu di hpnya. Sejak itu, sampai waktu aku akan berangkat, aku tidak lagi menghubunginya.

Aku menatap matanya dan mengatakan, "Selamat tinggal..," lalu membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku sudah tidak sanggup membendung semua air mata yang ingin mengalir deras. Baru kali ini aku seperti ini. Aku tidak mau menoleh. Ntah apa yang ada dipikirannya saat ini. Mungkin saat-saat kita bersama sama sekali nggak berarti baginya. Mungkin pertemuan kita kembali murni untuk urusan bisnis dan dia memintaku jadi mentornya. Mungkin obrolan berjam-jam selama ini hanya sebagai pelampiasan karena bosan dengan toko kuenya yang mulai kehilangan pelanggan.

Sampai saat dia menarik lenganku dan memelukku erat...
rain...
🎶Sejujurnya ingin kukatakan saja
Dari hati ini, 'ku mencintaimu
Kuharapkan kau mengerti dan percayakan hatimu
Semuanya kini terserah padamu 🎶

Celah Gigi Mengecil

Sepertinya kemarin adalah waktu kontrol gigi paling sederhana selama saya memakai kawat gigi. Saya dijadwalkan jam 10:40 pagi, tapi saya datang sejam kemudian. Maklum, saya baru saja selesai mengadakan arisan di hari Minggu kemarin (sepertinya akan saya tulis di postingan terpisah), sehingga banyak yang harus dibereskan dulu sebelum beraktifitas.

Saya kira ketika sampai di OMDC, saya bakalan menunggu lama untuk akhirnya dapat menemui dokter spesialis karena antrian saya sudah terlewat. Alhamdulillah ternyata hari ini klinik agak sepi sehingga walaupun saya sampai sejam kemudian, saya adalah pasien pertama yang kontrol. Baru duduk sebentar, tidak sampai 5 menit dokter datang dan saya masuk ruang rawat.

Dokter bilang, celah gigi saya (dulunya tempat gigi gingsul) sudah tinggal kira-kira 1-2 mm lagi. Hal ini membuat dokter menarik gigi dengan kencang untuk dirapatkan. Bahkan sepertinya struktur rahang diubah lagi. Jangan ditanya betapa mengerikannya proses tarik-menarik dan melilitkan kawat yang membuat berbagai macam alat perawatan gigi keluar masuk mulut😖😖😖. Saya hanya pasrah🏳️🏳️🏳️ mendengar bunyi krak kruk, teng teng, krik! So Scary...

Tidak lama kemudian, gigi dan rahang saya berhasil di edit. Rasanya kenceeeng banget. Antara gigi atas dan bawah pun jadi ngilu kalau sempat tersentuh. Ntah apalagi prosesnya, saya nurut saja. Demi Perfect Smile 2019. Saya juga suka banget melihat gigi setelah selesai kontrol kawat gigi. Serasa gigi jadi bersih. Mungkin karena saya suka pakai karet transparan yang warnanya akan berubah kalau kita sering makan makanan yang mengandung kunyit (biasanya karet gigi bakalan berubah jadi kuning). Setelah kontrol, jadi terlihat bening lagi dan bersih banget deh gigi saya😃.
Senyumin aja~
Kontrol Sapphire Braces Rp. 275,000
Service Charge Rp. 25,000
Total Rp. 300,000

Per tahun 2019, ada kenaikan harga tapi nggak terlalu signifikan. Masih okelah... Oh ya, kalau dilihat dari foto, senyuman saya masih agak miring. Tapi percayalah, kalau kalian lihat saya langsung, struktur wajah saya banyak berubah dan senyuman sudah lurus secara vertikal. Kalau horizontal masih belum. Bingung kan? Sama, saya juga bingung cara mendeskripsikannya ke dalam sebuah tulisan😅.

Ok deh, sampai jumpa!

Februari 10, 2019

Melalui Masa-Masa Krisis

Postingan pertama di bulan Februari. Jadi agak jarang menulis bukan karena nggak mau, tapi saya baru saja melewati beberapa masalah di kantor yang menuntut saya untuk fokus menuntaskannya. Memiliki perusahaan memang nggak seindah impian. Kalau melihat nilai uang yang kita terima sangat besar🤑, rasanya hati senang bukan kepalang. Giliran pendapatan perusahaan menurun bahkan nyaris tidak ada? Belum lagi karyawan yang terlihat setia malah kabur? Atau penjaga kantor yang nomor satu kita percaya untuk mengawasi, membersihkan, dan mengamankan inventaris kantor, malah orang yang membawa kabur semua laptop? I felt very stressed out...

Sebenarnya krisis ini sudah terjadi. Alhamdulillah atas kerjasama tim dan perencanaan keuangan yang baik, masa-masa krisis bisa dilalui. Kita memang tidak bisa selamanya berada di puncak, gemilang cahaya, tapi Allah subhanahu wata'ala memang perlu memberikan cobaan, agar belajar, dan naik kelas. Kalau bahasa ekonominya, high risk high return. Sederhananya, resiko tinggi, keuntungan juga tinggi.

Mensupport operasional perusahaan yang tidak sedikit, belum lagi pendapatan yang terus menurun membuat saya pusing tujuh keliling🥴. Melihat tabungan sudah sangat menipis, belum lagi saya harus tetap menjaga emosional karyawan dengan bersikap santai, seolah-olah semua baik-baik saja. Apa pun yang terjadi pada perusahaan, para karyawan adalah orang-orang yang paling penting dijaga emosinya. Jangan sampai mereka mendadak mengundurkan diri berjamaah hanya karena bosnya kelihatan stres memikirkan nasib keuangan. Alhasil, muka biasa aja, hati teriris-iris💔💔💔. Sudah mencoba tidak memikirkannya tapi tetap kepikiran.

Hal yang pertama saya lakukan di masa krisis adalah sering mendengar kajian para ustadz-ustadz mantab seperti Adi Hidayat, Khalid Basalamah, dan Firanda Andirja, di Youtube. Saya biarkan saja Youtube terus memutar ceramah mereka untuk menenangkan hati. Salah satu kajian yang lumayan kena di hati saya adalah tentang cerita kesabaran nabi Ayyub yang mendadak ditimpa sakit sampai 20 tahun, padahal dulu nabi Ayyub adalah orang paling gagah, raja, kaya, dan sebagainya yang baik-baik. Penyakitnya tidak membuat keimanannya berkurang, justru bertambah. Bahkan beliau tidak mengeluh sama sekali. Sampai ketika penyakitnya mulai mengganggu untuk menjalankan ibadah kepada Allah, maka nabi Ayyub berdoa:

"(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". (QS. Al Anbiya': 83)

Penggalan kisah di kajian ini membuat saya merenung. Permasalahan saya tidak sesulit Nabi Ayyub dan juga tidak selama 20 tahun, tapi saya sudah stres. Memikirkan jalan keluar untuk permasalahan malah bikin tidur sampai larut malam. Besoknya bangun shalat Shubuh pun tidak di awal waktu. Saya berkesimpulan, mungkin cobaan ini terjadi untuk mengingatkan saya pada peningkatan keimanan. Tapi saya masih sepelekan juga. Shalat masih biasa saja, berdoa hanya sedikit, mengaji juga masih seadanya.

Lalu saya mendengar kajian ustadz Adi Hidayat tentang keutamaan Shalat Tahajjud. Salah satunya karena bisa memberikan jalan keluar dari semua masalah. Tetap, saya hanya mendengarkan saja, tidak terlalu diambil hati. Seolah-olah masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Apa sebanyak ini syaitan😈😈😈 ditubuh saya? Shalat tahajjud biasa saya lakukan kalau kebetulan berpuasa pada hari itu karena bangunnya pasti lebih awal untuk makan sahur.

Saya juga mendengar kajian tentang keutamaan istighfar yang bisa membuka jalan terhadap rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Memang dosa manusia biasa seperti saya tidak bisa dihitung dan mungkin salah satu yang menjadi penghambat rezeki. Mulai saat itu, saya mencoba untuk memperbanyak istighfar. Dimana pun kalau teringat, saya usahakan untuk bisa beristighfar.

Saya menelepon Mama, minta doa yang banyak. Sampai hari ini, saya yakin doa Mama yang sangat mempengaruhi dalam membangun perusahaan. Ustadz Firanda bilang, kalau kita berdoa pada Allah untuk meminta seisi dunia, pasti dikabulkan. Beberapa kali juga sempat kirim pesan kepada teman yang sedang melaksanakan umroh 🕋untuk mendoakan perusahaan. Doa ditempat terbaik pasti dikabulkan dan saya 100% percaya akan hal itu. Maka hampir setiap hari saya mengingatkan teman saya itu untuk berdoa, berdoa, dan terus berdoa, meminta seisi dunia.

Yang paling berat adalah bersedekah. Kalau memang duit sedang banyak sih, saya pasti bersedekah. Kali ini duit di tabungan sisa sedikit. Kalau kata ustadz Khalid, sedekah bisa melipatgandakan rezeki sampai beratus kali lipat. Kalau sedekahnya cuma seribu dua ribu, trus mengharapkan seluruh isi dunia, sepertinya kurang. Logikanya, kalau ingin panen raya, semai benih dulu yang banyak, baru panen. Jadi sedekah dulu yang banyak, baru kaya. Ummm, agak sulit sepertinya. Tapi tantangan seperti ini harus bisa dilalui. Baiklah, saya transfer sedekah, dan nggak mau login internet banking untuk melihat saldo🙈.

Sampai pada minggu dimana masalah perusahaan memuncak. Rasanya saya sudah melarikan diri terus dari masalah dan kali ini saya berada di jalan buntu dengan tembok yang tinggi di hadapan saya. Secara fisik, saya sampai demam tinggi dan sakit tenggorokan. Fisik dan pikiran sudah terkena dampaknya, tapi mengingat nabi Ayyub tidak mengeluh, dan saya sedang berusaha untuk tidak mengeluh. Hal ini membuat saya sering melamun, berpikir kalau begini 'gimana, kalau begitu 'gimana. Tetap tidak ada solusi😔😔😔. Di kereta pun jadi malas buka hp, karena banyak pikiran. Belum lagi malam-malam tidak bisa tidur.  

Saat itu, saya teringat lagi kajian ustadz Adi Hidayat dan ustadz Khalid tentang sabar dan shalat. Sabar sudah, shalat (dalam hal ini tahajjud) belum. Saya niatkan bangun disepertiga malam, hanya untuk shalat tahajjud dan memanjatkan doa. Saya sudah bingung ya Allah, kesabaran sudah hampir diambang batas, udah disabar-sabarin, udah riset sana-sini, tapi belum ada jalan keluar ya Allah. Begitulah kira-kira doa saya. Dan berlangsung terus sampai hari dimana Allah subhanahu wata'la memberikan solusi. Di suatu hari itu, 70% masalah perusahaan berakhir dan saya bernapas super lega. Saya percaya ini efek dari doa-doa di tempat paling suci umat muslim di dunia yang dipanjatkan oleh teman saya ketika berumroh, doa dari para karyawan yang selalu saya minta untuk mendoakan perusahaan, dan doa dari saya sendiri sebagai pemilik dan pemegang saham. 

Agak sulit menuliskan betapa leganya perasaan saya pada hari itu. Analoginya, seolah tembok yang semula membuat jalan buntu, ketika saya raba-raba, ternyata terdapat pintu yang pegangannya mempunyai warna sama dengan tembok. Di sela-sela waktu yang sangat mepet, permasalahan sudah mengejar saya, saya bisa membuka pintu, dan saya berlindung di balik tembok. Apa yang ada di balik tembok pun seolah seperti jawaban doa-doa saya berikutnya dan hasil riset sampai malam yang saya lakukan. Saya seolah menemukan padang hijau dimana-mana bunga-bunga sedang menguncup untuk bersiap mekar🥰🥰🥰. Seolah-olah penjualan yang selama ini menurun drastis membuat saya belajar terus dan mengaplikasikan hasil pembelajaran itu langsung ke semua website di dunia maya. Hasilnya, penjualan meningkat super tajam, bahkan naik 2 kali lipat dari tahun lalu.

Kalau dihitung secara kalkulasi matematika, Alhamdulillah kondisi perusahaan sudah membaik 80%. Jadi teringat kata mutiara yang saya baca di Instagram, "Jika ingin memperbaiki hidup namun bingung harus mulai dari mana, mulailah dengan memperbaiki sholat." Saya setuju 100% untuk hal ini. Saya sudah mengaplikasikannya. Shalat adalah kumpulan dari zikir dan doa. Ketika shalatnya baik, maka baiklah orangnya dan nasibnya. Ketika sudah di titik lega seperti saat ini, dimana krisis sudah akan berakhir, walaupun secara fisik saya masih sakit, tapi rasanya senang sekali.
"Sesungguhnya bersama dengan kesulitan, ada kemudahan." (QS: Al-Insyirah:6)
Setelah semua berlalu, saya jadi menapak tilas. Bisa jadi ini karena kesalahan saya dimana salah memprediksi penjualan di akhir tahun dan kurang riset produk. Kita masih terlalu nyaman dengan penjualan tahun lalu, sehingga menyepelekan tahun ini. Padahal, dunia tiap detik mengalami perubahan yang menuntut kita harus belajar terus. 

Salah satu hal yang paling penting adalah peran teman-teman terdekat yang memiliki jabatan juga di perusahaan. Jadi teringat sebuah kisah pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang laki-laki berkata kepada Umar, “Sesungguhnya si Fulan itu orangnya baik.” Umar bertanya, “Apakah Engkau pernah bersafar (melakukan perjalanan) bersamanya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar bertanya lagi, “Apakah engkau pernah bermuamalah (berbisnis) dengannya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar bertanya lagi, “Apakah engkau pernah memberinya amanah?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar lalu berkata, "Kalau begitu engkau tidak memiliki ilmu tentangnya (mengenalnya). Barangkali engkau hanya melihat dia shalat di masjid.” (Mawa’idz Shohabah)

Jadi, kita belum dikatakan mengenal seseorang jika kita belum melakukan perjalanan bersama, melakukan jual-beli (bisnis) bersama, dan belum pernah memberikan tugas (amanah) kepadanya. Alhamdulillah tidak ada satu teman pun yang pergi menjauh, dan ini juga bagian dari rejeki menurut saya. Kejadian seperti ini membuat saya jadi tambah mengenal karakter teman-teman seperjuangan. Alhamdulillah saya diberikan orang-orang yang baik untuk mendukung seluruh langkah dalam bisnis. Hampir semua jajaran manajemen pernah bersafar bersama, berbisnis, dan selalu melaksanakan amanah yang saya berikan. Rejeki tidak melulu dalam bentuk harta. Teman baik juga tidak ternilai harganya🥰🥰🥰.

Baiklah, mungkin postingan ini sudah telalu panjang. Sekalian curhat soalnya. Semoga kita terus menjadi orang-orang sabar, karena kesabaran selalu berbuah manis. Semoga Allah selalu memberikan solusi dalam segala permasalahan kita. Aminnn ya Rabb🤲.
"Maka Bersabarlah Dengan Sabar Yang Baik." (QS Al-Ma'rij 5)

Follow me

My Trip