Agustus 20, 2019

Kawat Terakhir di Gigi Bawah

Sebelum melakukan perjalanan ke Australia besok, saya kontrol gigi terlebih dahulu. Memang sudah jadwalnya sih, sekalian mengganti karet pengikat kawat yang sudah menguning karena menyantap makanan yang mengandung kunyit. Maklumlah, makanan di Indonesia memang banyak banget rempah, sehingga membuat karet menguning. Kalau tidak diganti karetnya, sewaktu saya senyum malah terlihat seperti ada sisa makanan di gigi. Jadi aneh banget.😅

Kontrol kali ini lumayan memakan waktu. Jujur aja saya tidak terlalu paham gigi saya diapain sama Orthodentist. Intinya, celah di gigi atas sudah semakin mengecil tapi saya tetap harus memakai kawat elastis untuk menarik geraham ke depan. Untuk gigi bawah, dokter bilang sudah menggunakan indikator kawat terakhir. Kalau di bulan depan sudah tidak ada masalah, maka gigi bawah saya bakalan di kunci. Semoga bukan pakai gembok, hahaha😆.

Sebenarnya saya suka banget melakukan perawatan gigi. Kalau urusan gigi kelar dalam satu tahun ke depan ini, berarti rutinitas saya untuk merawat dan mengecek kesehatan gigi sebulan sekali sudah tidak ada lagi. Seharusnya hal ini adalah yang paling saya tunggu-tunggu, tapi mengingat setiap bulan gigi bisa putih bersih dan sehat, kok jadi kecanduan ke dokter gigi ya😅.
Tinggal yang atas
Yang pasti, setelah urusan gigi selesai, saya bakalan scaling dan perawatan akar, lalu dilanjutkan pemutihan gigi, agar senyum jadi sempurna. Hiks, ntah senang ntah sedih, sebentar lagi saya akan masuk ke Perfect Smile era.

Baiklah, doakan saja semoga semua proses perawatan gigi ini lancar. Aminn ya Rabb🤲.

Kontrol Sapphire Orthodentist Rp. 50,000
Konsultasi Rp. 275,000
Karet Elastis Rp. 60,000
Service Charge Rp. 25,000
Total Rp. 410,000

By the way, kok mulai ada biaya-biaya lainnya ya? Biasanya Kontrol Rp. 275,000 sudah termasuk konsultasi. Sekarang malah dipecah🤔.

Agustus 08, 2019

Cancar Spiderweb Rice Field

Sepulang dari Wae Rebo, perjalanan dilanjutkan ke desa Cancar, tempat sawah berbentuk jaring laba-laba. Kalau biasanya kita melihat sawah dengan bentuk kotak-kotak, maka di Flores kalian akan melihat sawah terpusat. Penasaran? Saya juga.
Perjalanan
Perjalanan ke desa Cancar memakan waktu 2 jam dari Desa Denge. Jalan yang kita lalui sungguh berkelok-kelok, tapi belum ada apa-apanya dari kelokan menuju kota Bajawa (nanti saya akan ceritakan). Oh ya, kalian bisa melihat Pulau Mules di perjalanan menuju Ruteng atau ke Wae Rebo. Kata bapak supir sih tidak ada tempat wisata yang terkenal di Pulau tersebut selain mayoritas masyarakatnya beragama islam. Sejam awal perjalanan ke Cancar, saya tidur. Mungkin karena masih kecapekan menuruni bukit dari Wae Rebo ke Denge. Kami sampai di Cancar sekitar pukul 2 siang dan membayar tiket masuk 10rb perorang.
Terlihat Pulau Mules
Kalau kalian ingin melihat bentuk sawah secara sempurna seperti jaring laba-laba, maka kalian harus menaiki sekitar 250 anak tangga menuju puncak Weol. Duh, baru aja turun gunung, udah harus naik tangga lagi. Banyak pulak! 😅 Tapi 250 anak tangga berhasil kita naiki hanya dalam 15 menit saja. Apa kekuatan kita sudah bertambah? 💪Sesampai di Puncak Weol, saya langsung takjub dengan bentuk sawah yang sangat unik dan benar-benar seperti jaring laba-laba. Yang membuat bangga adalah bentuk sawah seperti ini adalah satu-satunya di dunia.
Sawah jaring laba-laba
Dulu, hanya ada satu kabupaten yaitu Manggarai (mirip nama stasiun KRL di Jakarta), sebelum dimekarkan menjadi Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat. Petani padi dapat dijumpai di 8 kabupaten yang ada di pulau Flores dan yang terbanyak berada sisi barat. Bukan saja hasil sawahnya, keunikan sawah di Manggarai seperti di Kecamatan Lembor Manggarai Barat, Cancar di Kecamatan Ruteng Manggarai, dan Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda Manggarai Timur adalah pada bentuknya. Sawah di area ini berbentuk seperti jaring laba-laba atau yang disebut Lodok dalam bahasa lokal.
Sejauh mata memandang
Bagi masyarakat Manggarai, sawah unik ini disebut Lingko dan terkait dengan pola pengelolaan lahan secara adat. Dimana titik nolnya berada di tengah-tengah lahan (ulayat) yang akan dibagi-bagi. Petakan-petakan sawah merupakan tanah adat yang dimiliki oleh beberapa orang untuk memenuhi kebutuhan bersama masyarakat adat yang pembagiannya dilakukan oleh Tu’a Teno atau ketua adat dan Tu’a Golo atau tua kampung. Para tetua ini umumnya akan mendapatkan bagian luas sawah yang lebih besar. Konon, pembagian tanah ulayat mengikuti rumus moso (jari tangan) yang disesuaikan dengan jumlah penerima tanah warisan dan keturunannya.
Memandang takjub
Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan disini kecuali mengambil foto. Angin juga berhembus sangat kencang dan udara siang itu lumayan dingin. Jadi menyesal tidak menggunakan sweater. Oh iya, kami sempat mengobrol dengan masyarakat lokal mengenai tempat-tempat mana saja yang bakalan kita kunjungi selama di Flores. Mereka menyarankan beberapa tempat yang memang sesuai dengan itinerary kita.
Pose dulu
Yang menjadi perhatian saya adalah perjalanan dari Ruteng menuju Bajawa yang kata orang lokal saja sungguh mengerikan kelok-keloknya. Kalau kita merasa dari Denge ke Cancar saja sudah sulit, apalagi ke Bajawa. Saya masih berpikir kalau saya tidak pernah muntah selama perjalanan tapi mendengar cerita orang-orang itu jadi serem juga. Bahkan mereka bilang, "Bajawa itu dataran tinggi dan ketika menuju kesananya, belokannya patah-patah banget. Mungkin matahari bisa berada di kiri dan kanan dan beberapa menit saja." Tunggu, kalau matahari bisa kiri dan kanan dalam waktu secepat itu, berarti patah banget dong belokannya😱😱😱.

Kami menghabiskan waktu kurang lebih sejam untuk menikmati pemandangan sawah jaring laba-laba sebelum melanjutkan perjalanan ke Ruteng untuk makan siang. Dari Cancar ke Ruteng cuma 5 menit saja waktu tempuhnya.

Baiklah, nanti saya lanjutkan lagi cerita dari Ruteng ke Bajawa yang membuat saya muntah 🤮🤮🤮 parah banget. Udah 10 tahun nggak muntah di perjalanan, akhirnya muntah.

Sampai jumpa!

Sumber:
https://www.mongabay.co.id/2017/07/28/sawah-berbentuk-jaring-laba-laba-di-manggarai-ini-hanya-satu-satunya-di-dunia/
https://www.atlasobscura.com/places/spider-web-rice-fields

After the tiring trekking from Wae Rebo, we continue our journey to Cancar Rice Fields that well known for their rice fields. It took about 2 hours from Denge to Cancar (the village of rice fields). This Cancar village really close to Ruteng city, only 5 minutes drive.

This is the only one rice fields in entire world that shaped really unique, like a spider web. The colourful rice paddies found throughout Asia are commonly laid out in rectangular plots, or sometimes as stepped terraces, adding to their natural beauty. On the island of Flores, Indonesia, however, the rice fields formed a delightfully unique shape, one that looks like a giant spider web.

This wonderful shape was not intentional, but rather the result of the traditional communal agriculture of the indigenous Manggarai people. Centuries ago, the cultivated land, known as Lingko, was shared by the entire village. The communal fields were circular, with the Lodok at the center, where ceremonial rituals were held around the harvest.

Each family was allocated a segment of the rice field, radiating from the center outward. (Each was inaugurated by the sacrifice of a water buffalo.) The more resources a family had, the larger their slice of the pie; at the time, the rice fields were shaped like pie charts. Later, the paddies were further subdivided by the decedents of the original owners, leading to the striking, web-like shape of the Lingko today. Also, the tribe or village chief will get a larger slice.

If you wanna enjoy the full scenery of the rice fields, there are 250 stairs to hike to Weol, the top of the hill. You have to pay IDR 10,000 per people (I don't know if the price is the same to foreigners) as an entrance fee.  Just take some pictures here, then we had to Ruteng to having lunch.

Agustus 06, 2019

Mengajukan Visa Australia Online - GRANTED

Akhirnya deg-degan saya selama seminggu ini berakhir juga. Ntah kenapa setiap pengajuan Visa, saya pasti was-was. Apalagi ngajuinnya mepet banget. Sebenarnya saya udah baca-baca blog yang menuliskan langkah-langkah mengajukan Visa secara online dan karena satu dan lain hal saya jadi menunda-nunda untuk mempersiapkan dokumen. Apalagi kemarin harus ngetrip ke Flores dulu, jadi semakin menunda pengajuan Visa. Saya juga lebih suka mengurus Visa sendiri dan nggak pernah pakai agen (kecuali Visa Umroh) biar tau tantangannya dan merasakan sensasi deg-degan yang nggak karuan (nggak usah diikutin ya).

Tanggal 28 Juli 2019 kemarin, saya mencoba membuat akun dulu di https://online.immi.gov.au/lusc/login sesuai dengan pedoman cara mengajukan Visa Online dari beberapa blog. Saya screenshot beberapa tampilan halamannya.
Membuat akun
Membuat password
Kurang lebih cara membuat login sama aja seperti di website lainnya. Nanti bakalan ada konfirmasi ke email yang kita daftarkan di website. Setelah Login, kalian bikin grup dulu untuk mengajukan aplikasi berbarengan beberapa orang. Karena yang berangkat kali ini saya, Mama, Adik cowok, dan adik ipar, jadi saya bikin grup dulu. Hal ini hanya untuk memudahkan Kedutaan untuk mencari koneksi dokumen saja.

Karena bakalan banyak banget dokumen yang harus diupload ke website, saran saya lebih baik untuk membuat folder di laptop sesuai nama yang akan mengajukan Visa. Contohnya seperti ini:
Biar gampang dicari
Jangan lupa memberikan nama file yang memudahkan kalian untuk upload, sehingga nggak tertukar atau terbalik dengan orang lain. Contohnya seperti ini:

Penamaan dokumen
Setelah semua rapi, baru kita mulai pengisian Form. Jangan lupa memilih Visitor (subclass 600) sebagai tipe Visa yang akan kita ajukan. Tinggal isi data sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya ya. Kalau kurang paham sama bahasa inggrisnya, bisa bertanya mbah Google atau boleh menulis komentar di postingan ini. Insya Allah saya jawab sebisa mungkin.

Oh ya, ada salah satu pertanyaan di Form apakah pernah dalam pengajuan Visa, tapi Visa ditolak? Saya menjawab pernah tahun 2014 yaitu Visa Korea. Tahun itu karena saya punya Visa Jepang dan pernah saya tulis disini Masuk Korea Selatan Tanpa Visa, jadi saya tetap bisa masuk ke Korea dan peraturan ini sudah berubah ya sekarang. Udah nggak bisa lagi. Walaupun sudah lama, tapi kita tetap harus ngaku ya. Jangan bohong.
Pernah ditolak Visa nggak?
Tinggal diisi aja kronologisnya dulu 'gimana secara singkat, padat, dan jelas. Insya Allah nggak bakalan ada masalah.

Nah, ada hal yang paling simpang-siur di semua blog tentang persyaratan apa saja yang harus dilampirkan ketika mengajukan Visa Australia. Ada yang bilang harus ada tiket pesawat, surat keterangan kerja, ijin atasan, dan semuanya serba nggak pasti. Jadi, saya screenshot hal yang pasti-pasti aja nih. Bisa lihat dibawah kalau yang Required (wajib) cuma 4 hal. Eits, tunggu dulu. Kalau kita klik tanda tambah (+), beberapa ada yang beranak-pinak dan akan saya jabarkan satu demi satu biar tidak ada lagi kesimpang-siuran ini. Mari disimak!
Required and Recommended

  • Photograph - Passport : Kita upload pas foto latar belakang putih. Jujur aja saya nggak tau ukurannya berapa karena ini dalam bentuk file, sehingga saya kirimkan dalam ukuran lumayan besar. Mungkin kalau harus dicetak sih pasti ada ukurannya.
Pas foto
  • Travel Document : Ini ada beberapa pilihan. Tapi saya hanya mengupload Passport halaman depan dan belakang saja.
Passport
  • National Identity Document (other than Passport) : Saya mengupload KTP. Sempat was-was karena KTP saya sudah expired sejak 2017. Tapi kan di Indonesia sekarang sudah tidak berlaku tanggal kadaluarsa KTP, jadi harusnya tidak masalah. Kecuali kalau di KTP kalian ada tulisan "Berlaku Seumur Hidup", sudah pasti aman.
KTP
  • Evidence of the applicant's previous travel : Bukti kalau kita pernah berpergian kemana saja. Hal ini bisa dibuktikan dengan stempel di passpor. Nah, berhubung passpor saya baru sejak 2018, jadi mending saya upload juga expired passport (bisa dilihat di dropdown list ada current dan expired passport). Apalagi saya sempat menulis di Form kalau pernah direject Visa Korea dan berhasil masuk Korea. Jadi buktinya ya stempel dari Imigrasi Korea. Di passpor lama saya juga terdapat banyak Visa, sedangkan di passpor baru hanya Visa Umroh doang. Biar lebih menguatkan bukti kalau saya sudah sering jalan-jalan.
Current and Expired Passport
Baiklah, yang Required (wajib) sudah di upload semua. Sekarang mari berpindah ke tahapan Recommended (disarankan). Ingat ya, disarankan itu bukan berarti wajib. Kalau ada lebih baik, tapi kalau nggak ada juga nggak apa-apa. Hanya saja menurut saya semakin lengkap dokumen, semakin cepat proses pengajuan Visa.

  • Family register and composition form: Dalam Form ini harus ada bukti kalau kita beneran satu keluarga. Disini saya mengupload Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran biar ada bukti kalau saya beneran anak Mama saya. Karena adik saya tidak satu Kartu Keluarga dengan Mama, berarti saya upload Akte Kelahiran adik yang membuktikan kalau Adik saya adalah beneran anak Mama saya. Akte kelahirannya pun berupa fotokopian karena yang asli ntah kemana. Karena adik saya sudah menikah, jadi saya upload buku nikahnya. Hal ini menjadi bukti kalau istri adik saya yang saya tulis di Form kalau keuangannya didukung oleh suaminya. 
Bukti anggota keluarga
  • Evidence of planned tourism activities in Australia : Disini saya mengupload itinerary singkat dan bukti booking hotel
Itinerary and Hotel Booking
  • Evidence of financial status and funding for visit: Saya memasukkan rekening koran saja.  Untuk Mama karena sudah pensiun, saya upload Pension Book. Sebenarnya banyak yang bisa diupload (bisa dilihat dalam dropdown list). Tergantung mana yang kalian bisa sediakan saja. 
Rekening koran dan buku pensiun
  • Evidence of current employment or self-employment: Disini saya dan adik memasukkan Evidence of Leave (Surat Ijin Atasan). Beberapa yang saya baca di blog ada yang memasukkan Surat Keterangan Kerja. Ya bebas aja, yang penting ada bukti kalau kalian masih kerja. 
Bukti kerja
  • Group tour details (Group name list, itinerary) : Sebenarnya saya bingung mau masukin apa ke menu ini. Menurut saya dalam menu ini adalah bukti kalau kita bakalan pergi berempat. Jadilah saya masukin tiket pesawat pulang-pergi dimana di tiket pesawat memang ada nama kita berempat dalam satu kode booking. Sekali lagi ini tebakan saya doang ya😝.
Bukti berpergian bersama
  • Exceptional reasons for extended stay in Australia as a visitor : Saya nggak upload apa-apa.
Nggak upload apa-apa
Setelah semua data selesai dimasukkan, tekan tombol Next dan nanti jadi berubah ke Ready to Submit. Kalau masih mau dicek dulu data-datanya silahkan. Saya membutuhkan waktu 2 hari untuk memastikan data benar dan semua dokumen sudah diupload. Nah, kalau data sudah benar, tinggal submit application yang bisa sekalian semua.
Ready to Submit
Harga Visa adalah AUD145 perorang. Bisa dibayar secara Debit/Credit Card, Paypal, atau UnionPay. Yang paling mudah memang pakai kartu kredit ya.
Pembayaran
Buat yang pakai kartu kredit, nanti ada kena surcharge sekitar 1.3% perorang dan akan ditotalkan otomatis ketika pembayaran.
Total pembayaran ditambah surcharge
Selesai pembayaran, baru deh saya kaget melihat waktu pemrosesan 18-24 hari. Wahhhh, kalau sampai jadi 24 hari kemudian, bisa-bisa saya gagal berangkat. Sejak baca itu, mulai deh saya setiap hari was-was nggak karuan. Duh, gimana nih kalau belum granted juga?
Aplikasi selesai
18-24 hari 😱😱😱
Hari demi hari berlalu. Statusnya masih Received dan belum ada tanda-tanda email masuk dari Kedutaan Australia. Mau dicek tiap hari pun statusnya masih sama. Jangan tanya betapa deg-degannya saya. Sampai tadi akhirnya karyawan di kantor bilang kalau ada yang menelepon dari Kedubes Australia, bertanya singkat tentang apa benar saya bekerja di kantor ini? Wah semakin deg-degan lah saya.

Tiba-tiba satu jam setelah kabar orang Kedubes menelepon kantor, saya langsung dapat email GRANTED. Alhamdulillah!!! Rasanya senang bukan kepalang🥳🥳🥳.
Visa Granted
Iseng-iseng saya cek di website. Status Received sudah berubah ke Finalised. Yeay🥳🥳🥳!
Finalised🥳
Kesimpulan dari proses pengajuan ini adalah Visa saya Granted dalam waktu 5 hari kerja. Di blog sih ada yang hanya 2 hari kerja, tapi ada juga yang 20 hari kerja. Jadi mending jangan mengajukan terlalu mepet ya. Saya mengajukan Visa malah 3 minggu sebelum berangkat dan alhamdulillah Granted dalam waktu 5 hari kerja.

Dulu saya mengajukan Visa United Arab Emirates seminggu sebelum keberangkatan dan alhamdulillah Granted dalam 2 hari kerja. Visa India dalam 5 hari kerja, Visa Jepang dalam 2 hari kerja, dan Visa New Zealand 3 hari kerja. Tapi sebaiknya kalian mengajukan dari jauh-jauh hari ya. Situasi dan kondisi yang membuat saya harus selalu mengajukan aplikasi Visa secara mepet tapi deg-degannya itu nggak enak banget deh. Hehehe.

Baiklah, semoga postingan ini bisa membantu kalian yang akan berpergian ke negara kangguru. Sampai jumpa!

Agustus 03, 2019

Walkthrough Wae Rebo

Dimulailah perjalanan berkelok-kelok tahap satu menuju Wae Rebo, sebuah kampung tradisional yang terletak di dusun terpencil tepatnya di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang begitu terkenal dengan sebutan kampung di atas awan.  Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada Agustus 2012 menyisihkan 42 negara lain. Makanya saya sangat antusias untuk mengunjungi tempat ini. 

Mungkin sekitar 30 menit perjalanan baru dimulai, Satrio muntah🤮 (pertanda korban mulai berjatuhan🤔) dan hal ini membuat kami semua mulai was-was. Wah, ini perjalanannya masih belum jauh, 'gimana setelah ini? Setelah berhenti 10 menit dan bertukar duduk di dalam mobil (kali ini Rezki duduk di belakang) perjalanan pun dilanjutkan.

Sewaktu saya baca di blog, perjalanan melewati jalan Lintas Flores ke Denge menempuh waktu 5 jam karena harus melewati Ruteng. Saya sejak awal sudah bertanya pada bapak sopir apakah memungkinkan melewati jalan potong karena di blog disebutkan terkadang ada jembatan rusak makanya harus melewati Ruteng. Supir bilang kalau banyak jembatan sudah diperbaiki, sehingga kita bisa mempersingkat perjalanan. Alhamdulillah! Kita terus melanjutkan perjalanan dan hanya berhenti sejenak untuk ke toilet dan minum teh saja. Bahkan makan siang pun ditunda dulu. Oh ya, mulai saat ini kita akan memasuki daerah tanpa sinyal hp. Saya menghubungi keluarga untuk mengabarkan kalau dalam 24 jam ke depan saya nggak bisa dihubungi karena nggak ada sinyal.

Kita tiba di Denge pukul 3.30 sore. Sebelumnya, bapak supir sudah menelepon salah satu penginapan untuk mempersiapkan makan siang. Saya kira bakalan dipersiapkan banyak menu. Ternyata hanya nasi jagung, mie instant, dan sayur labu. Mana saya nggak makan mie instant lagi🤦‍♀️. Tapi kita tetap harus makan karena bakalan melakukan trekking yang jauh. Untuk menu sederhana tersebut, perorang kita membayar Rp. 35,000.
Menunggu makanan di Denge
Nasi jagung, telur, dan mie instant
Makanlah yang banyak sebelum trekking
Selesai makan dan ke toilet, kami bersiap mendaki. Kita hanya membawa ransel saja, sedangkan koper ditinggal di mobil. Oh iya, kita harus bayar ojek Rp. 100,000 perorang pulang-pergi untuk menuju ke tempat pendakian. Sekalian membayar guide Rp. 50,000 perorang agar ada yang menemani selama perjalanan. Sebenarnya kalau kalian mau jalan kaki sih bisa-bisa aja dari parkiran mobil sampai ke daerah pendakian. Tapi jauhhhhh dan jalannya menanjak. Mending menghemat tenaga dengan bayar ojek. Walaupun agak mahal, tapi yang penting kalian lebih cepat sampai. Apalagi kita mulai naik ojek jam 4:15 sore dan kalau saja masih mau jalan kaki, bisa-bisa terlalu malam sampai ke Wae Rebonya. Sewaktu naik ojek pun saya agak pegal menahan badan agar tidak terlalu kebelakang karena jalannya menanjak sekali. Awalnya sempat mau merekam video di hp malah nggak bisa karena harus pegangan.

Sesampai di tempat perhentian motor, kita turun dan berfoto dulu sebelum memulai trekking. Di foto saya kok tampak agak gendut ya? Tapi tenang aja, sepulang trip Flores ini body saya sudah seperti Captain Marvel😝. Pendakian pun di mulai. Awalnya saya masih sanggup menyandang ransel dan mendaki dengan kecepatan konstan. Saya nggak buru-buru walaupun teman-teman sudah lebih duluan ke depan. Agak susah memang untuk orang Asma seperti saya karena jadi gampang ngos-ngosan. Harus selalu berhenti beberapa detik untuk menstabilkan nafas baru deh bisa jalan lagi. Bayangkan jarak pendakian kita kali ini adalah 9 km, 3 kali lipat dari jarak mendaki gunung Ijen.
Bersiap mendaki setelah turun dari motor
Berfoto di plang Wae Rebo
Saya melihat perlahan keatas, betapa tingginya gunung yang harus didaki. Semula sewaktu mau ngetrip ke Wae Rebo, sempat kepikiran kalau untuk orang Asma medan seperti ini pasti menyulitkan. Tapi saya tidak pernah berpikir "tidak mampu". Semua hal pasti bisa dilakukan! Yang paling penting adalah kalau udah terlalu ngos-ngosan, bisa berhenti beberapa detik baru jalan lagi. Sampai akhirnya saya menyerahkan ransel pada Guide karena saya kewalahan kalau harus bawa ransel agak berat. Memang nggak bisa bawa apa-apa kalo mendaki karena untuk memperjuangkan diri sendiri dalam mendaki aja udah susah😵. Setelah nggak pakai ransel, tubuh jadi ringan banget. Serasa mau terbang. Sayangnya rasa itu hanya sementara saja karena ketika terus mendaki, tetap saja ngos-ngosan.
Pemandangan gunung dan hutan
Sampailah di POS 1. Fiuh! Saya dan teman-teman langsung duduk beristirahat sambil meneguk air. Rasanya capek banget dan perjalanan masih jauhhhh. Kita semua udah keringatan banget. Untung udah sore, jadi nggak tambah kepanasan karena efek sinar matahari. Sebaiknya kalau mendaki memang pakai kaos aja biar bisa menyerap keringat. Kita hanya beristirahat beberapa menit, kemudian melanjutkan perjalanan untuk mengejar waktu agar tidak sampai terlalu malam di Wae Rebo.
Istirahat di POS 1
Sekitar sejam perjalanan, kabut mulai turun dan suara langkah kaki kita jadi terdengar sangat jelas. Saya masih fokus mendaki dan mengatur napas. Sebisa mungkin terus melihat kebawah dan nggak mendadak mendongakkan kepala. Saya bersama Rezki dan Guide berada di jarak sekitar 100 meter dari Kakros, Debby, dan Satrio. Mungkin karena saya sering berhenti beberapa detik untuk mengatur napas, jadi jalannya agak lebih lama sedikit.

Saya menyuruh Guide bercerita tentang Wae Rebo untuk mengalihkan perhatian saya ketika mengatur napas. Guide mulai bercerita, Nenek Moyang Wae Rebo disebut Maro yang diyakini berasal dari Minangkabau. Mungkin kita ketahui bersama kalau orang Padang suka berpetualang, hidup berpindah-pindah, untung dulu enggak sekalian buka warung di Wae Rebo. Sebagai informasi, saya jadi harus googling lagi tentang sejarah Wae Rebo karena beberapa cerita dari Guide saya sudah agak lupa.

Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Dulu Popo sempat dibumihanguskan karena ada kesalahpahaman dan konflik keluarga, lalu mereka mengungsi ke Liho. Dari Liho mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu. 

Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.  Sampai sekarang, penduduk Wae Rebo meyakini kalau desa yang mereka tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Maka dari itu mereka tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana.

Guide mengatakan kalau nanti masuk desa harus ada upacara adat dulu untuk menghormati arwah leluhur dan minta ijin kalau kita mau tinggal di desa. Batas upacara adat sampai jam 6 sore, dan setelah itu acara adat akan dimulai lagi keesokan harinya pada pukul 6 pagi.  Saya melihat jam tangan, sekarang aja sudah pukul 6 dan kita sudah melewati POS 2. Berarti tidak akan ada lagi upacara adat hari ini.

Hari mulai gelap, kabut turun, dan suara jangkrik semakin terdengar. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah agar menjaga kita semua diperjalanan. Kalau mendaki gunung memang nggak boleh sombong karena kita nggak akan tau apa yang akan terjadi dihadapan kita. Saya mulai menyalakan senter hp karena suasana jadi gelap gulita. Walaupun ada cahaya bulan yang terang-benderang, tapi tetap aja gelap. Ntah berapa kali saya tanya ke Guide, "Mas, nggak ada ular kobra 'kan? Nggak ada beruang 'kan? Nggak ada harimau 'kan?" Alhamdulillah nggak ada.

Ketika beberapa meter lagi mencapai POS 3, mulai ada kawanan orang Flores yang datang beramai-ramai. Fiuh, suasananya jadi nggak hening dan mereka juga ramah banget menyapa kita. Kita sempat mengobrol sejenak sampai tiba di POS 3. Alhamdulillah kita tiba di POS terakhir ini dalam waktu 2 jam lebih sedikit. Sempat was-was juga karena tulisan di blog yang menuliskan kalau perjalanan ke Wae Rebo itu minimal 3 jam dan saya sudah menghitung-hitung bisa jadi kita sampai jam 8 malam, apalagi ditambah saya yang sesak napas dan sebentar-bentar berhenti sejenak. Untungnya kita tiba jam 6.30 dan dianggap hari baru mulai malam.

Saya langsung antusias melihat rumah-rumah adat (Mbaru Niang) diantara kabut tebal. Bayangkan, tadinya kita di hutan, sekarang seolah menemukan komplek perumahan dengan rumput sangat rapi dan tempatnya begitu bersih. Tidak ada sampah sama sekali di halaman. Guide menyuruh kami masuk rumah agar tidak kedinginan karena desa ini terletak pada ketinggian 1000 mdpl. Kami menaruh tas, lalu duduk di tengah-tengah rumah. Saya dan teman-teman disambut oleh warga lokal dengan disuguhkan teh atau kopi. Sempat mencoba kopinya tapi pada dasarnya saya memang nggak suka kopi🥴.
Tempat kita tidur nanti malam
Disuguhkan teh dan kopi
Seorang warga lokal mengucapkan sepatah dua patah kata sebagai prosesi penyambutan dalam 2 bahasa. Saya takjub dengan bahasa Inggris bapak itu yang sangat bagus dan lancar. Beliau juga bilang kalau sekarang sedang dipersiapkan makan malam dan diharapkan kita sabar menunggu. Oh ya, karena saya dan teman-teman belum mengikuti prosesi adat, seharusnya kami nggak boleh mengambil foto. Tapi karena memang keadaan yang membuat kami tiba lewat pukul 6 sore, maka boleh berfoto tapi nggak boleh jauh-jauh dari rumah adat. Saya sempat khawatir nggak boleh berfoto, bahkan kita jadi diam-diam memotret seisi rumah. Baru ketika Guide mendiskusikan hal ini ke orang rumah kalau kita sampainya malam, kita akhirnya diijinkan untuk mengambil foto dan merekam video. 

Sebelum makan, saya minta ijin shalat dulu. Awalnya saya agak ragu mau shalat dimana dan takut nggak enak sama pemilik rumah, tapi ternyata orang rumah bahkan menunjukkan arah kiblatnya. Jadi terharu😥. Pemilik rumah dan para tamu juga tidak berisik ketika kami sedang shalat. Sewaktu saya, Rezki, dan Satrio shalat, Kakros mengurus pembayaran menginap di rumah adat Rp. 325,000 perorang dan harus uang tunai. Jangan berharap ada mesin EDC disini apalagi membayar pakai kartu kredit.
Bersiap makan malam
Makanan mulai dihidangkan
Makan malam pun dihidangkan di tengah rumah. Secara bergiliran kami mengambil menu sederhana yang rasanya enak banget. Ntah karena kecapekan naik gunung dan lapar, jadi seolah-olah rasa makanan jadi mantap banget. Malah ayam sepotong rasanya kurang. Jadi nambah sepotong lagi. Malam itu menunya ayam, sayur labu, dan sambal yang pedasnya minta ampun😰. Kita menikmati hidangan sambil bercengkrama dengan para tamu lainnya juga. Sekalian bertukar pengalaman dalam pendakian menuju Wae Rebo.
Selamat makan
Setelah makan, kami keluar sejenak untuk melihat bintang. Rencananya mau nyari Milky Way tapi masih terlalu berkabut di luar. Saya ingat dulu pernah baca kalau bintang akan bersinar terang pada pukul 11 malam keatas. Jadi kami semua memutuskan untuk tidur dulu sejenak, baru deh nyari Milky Way. Jangan tanya ada yang mandi apa enggak? Semuanya enggak mandi 😂😂 karena suhu udara diluar dingin sekali. Padahal tadi kita keringatan parah banget, tapi tetap mengurungkan niat untuk mandi. Tadi aja sewaktu berwudhu, saya sempat kedinginan karena kamar mandi berada diluar rumah dan airnya dingin banget.

Kami menyetel alarm jam 11 malam, lalu semua tidur jam 9 malam. Berhubung nggak ada sinyal sama sekali, nggak bisa main hp, jadi kita langsung bisa tidur tanpa harus mengecek hp. Jam 11 malam, Satrio bangun untuk mengecek langit. Katanya sih masih berkabut dan Milky Waynya belum keluar. Saya percaya aja dan melanjutkan tidur. Sampai pukul 3 pagi, Satrio ngecek langit lagi tapi katanya masih nggak ada Milky Way. Sebenarnya saya udah mulai curiga. Jangan-jangan Satrio salah paham tentang langit seperti apa yang ada Milky Way, tapi karena saya juga ngantuk berat, ya udah saya percaya aja sama Satrio. Mana suasana dalam rumah adat sangat gelap. Ada sebuah lampu darurat yang menyala beberapa menit, lalu mati, nyala lagi, lalu mati lagi. Saya terbangun lagi jam 4 pagi dan mendengar suara ayam berkokok sangat keras. Duh, udah lama nggak mendengar suara kukuruyukkkk🐓.

Sampai ketika Shubuh, saya bangun dan MANDI! Saya memang udah berencana mandi pagi agar bisa menjemur handuk dulu sebelum turun gunung. Jam 5 pagi saya melihat ibu-ibu sudah menyalakan tungku api untuk memasak. Karena kamar mandi berada di dekat dapur, jadi hangatnya tungku terasa ke kamar mandi. Saya jadi nggak terlalu kedinginan ketika mandi. Selesai mandi, saya shalat Shubuh dalam kondisi gelap gulita. Saya menyadari ada salah satu tamu yang menyenter saya dan kaget melihat saya pakai mukenah. Mungkin dikira hantu kali ya😂😂😂? Sampai saya lagi shalat jadi melihat ke arah cowok yang menyenter saya. Selesai shalat, saya dandan dan keluar. Udara pagi begitu segar dan mulai terlihat cahaya kemerahan karena matahari mulai terbit.
Selamat pagi
Saya akhirnya bisa melihat bentuk Mbaru Niang dengan jelas ketika matahari sudah terbit. Meskipun lokasi tempat ini berada jauh dari keramaian dan sulit terjangkau, namun desa Wae Rebo sangat terkenal terutama oleh wisatawan asing dari negara-negara di Eropa karena desain arsitekturnya bangunan rumah yang unik sehingga memiliki daya tarik tinggi. Ada total 7 rumah adat di desa ini dengan atap berbentuk kerucut (seperti keong). Dalam satu rumah ada 6 sampai 8 kepala keluarga yang tinggal disini. Untuk anak-anak yang berusia sekolah, mereka akan tinggal di desa bawah agar memudahkan mereka pergi sekolah, dan akan kembali ke Wae rebo ketika akhir pekan.
Diantara Mbaru Niang
Saya masuk kembali ke dalam rumah, membangunkan Kakros dan Debby, juga menyuruh mereka mandi walaupun kedinginan. Kakros heran karena saya udah mandi karena seharusnya saya adalah orang yang sangat bersikeras untuk nggak mandi semalam. Karena setelah bangun pagi, saya merasa nggak enak banget kalau nggak mandi. Kakros jadinya mandi juga karena tau saya mandi. Saya kemudian keluar lagi seraya membawa kamera dan hp untuk menikmati udara pagi yang begitu segar. Sampai akhirnya Kakros dan Satrio keluar dari rumah adat dengan membawa kamera juga.
Berfoto dengan kain khas Flores
Beberapa teman-teman dari Flores juga keluar dari rumah adat. Mereka meminjamkan kain Flores dan kami bertiga jadi bisa berfoto dengan beragam macam gaya menggunakan kain yang menyerupai sarung tapi lebih tebal. Mereka bilang kalau seluruh orang Flores pasti punya kain itu. Lumayan hangat sih kalau membungkus diri dengan kain tersebut.

Sekitar pukul 6:30, Guide memanggil kita untuk ke rumah kepala suku menjalani prosesi acara adat. Saya dan teman-teman masuk ke rumah yang paling besar dan berada di tengah, lalu kami duduk dengan berjajar rapi. Kepala suku masuk, berbicara berkomat-kamit menggunakan bahasa Manggarai yang tidak kami mengerti, dan setelah itu acara adat selesai. Kami bingung, udah? Gitu doang?😲 Saya kira bakalan ada prosesi seperti apa begitu, ternyata enggak. Kata Guide, tadi kepala suku sedang mendoakan kita agar para arwah leluhur menjaga kita dalam perjalanan pulang. Baiklah!
Diluar rumah kepala suku
Setelah prosesi adat, kami pun boleh berfoto dimana pun, asal bukan di bagian gundukan tanah yang berada di tengah kampung. Kata Guide, tanah tersebut hanya diperuntukkan untuk kepala suku ketika ada acara adat besar. Kami menurut saja dan mengambil foto ditempat lain. Saya naik ke atas bukit agar bisa mengambil gambar 7 Mbaru Niang sekaligus. Sayangnya karena ada satu rumah yang agak kebelakang, jadi susah mengambil foto panoramik untuk semua rumah. Jadi cuma bisa mengambil foto 6 rumah saya. Duh, rasanya indah sekali pemandangan hari itu. Jadi betah berlama-lama. 
6 Mbaru Niang
Foto gaya
Sekitar jam 7.30 pagi, panggilan sarapan pun tiba (udah kayak pentungan hansip). Kali ini menu sarapan adalah nasi kuning, telur dadar, dan kerupuk. Seperti biasa, walaupun sederhana, kami melahapnya dengan sampai habis. Bahkan telurnya sampah tambah sepotong lagi. Apalagi makannya bareng-bareng dengan semua tamu yang menginap. Sungguh pengalaman yang luar biasa.
Menu sarapan
Selesai sarapan, kami pun mempersiapkan barang-barang untuk pulang. Jangan sampai ada yang tertinggal apalagi kamera dan aksesorisnya. Satrio juga akhirnya mandi setelah membujuknya dalam waktu yang lama (dia paling kedinginan diantara kita semua). Saya hanya membawa tas serbaguna yang ringan saja, sedangkan ransel saya titipkan pada guide. Sebelum pulang, kami berfoto dulu untuk dokumentasi Rancupid Travel dari segala sisi.
Bersama para tamu
Bersama teman-teman Flores
Sebelum perjalanan pulang menuruni gunung dimulai, kami berfoto di gapura Wae Rebo dulu karena semalem nggak kelihatan karena gelapnya situasi gunung. Baru setelah itu kita berjalan pulang. Hampir semua pengunjung yang menginap bareng kita semalem, pulang di waktu yang sama. Jadi ramai di jalan, tidak seperti ketika kita datang kemarin sore yang begitu sepi.

Gapura Wae Rebo
Perjalanan pulang ternyata tidak segampang yang saya bayangkan. Karena kabut semalam, jalanan jadi basah dan licin sehingga kita harus jalan perlahan. Sebaiknya tidak terburu-buru mengejar waktu karena jalan setapak menuruni gunung ini berada di pinggir jurang. Kalian harus ekstra hati-hati kalau tidak mau jatuh terpeleset. Saya kira perjalanan menurun akan menempuh waktu paling tidak setengah perjalanan mendaki. Ternyata kita menghabiskan waktu 1 jam 45 menit untuk turun gunung. Hanya selisih kurang lebih 30 menit dari perjalanan pergi. Padahal udah sempat melewati jalan potong yang ditunjukkan teman-teman Flores, tapi tetap aja tidak bisa memotong jarak tempuh dengan signifikan. Enak banget melihat orang Flores turun gunung, seolah-olah nggak ada ngos-ngosannya dan kakinya nggak terpeleset, padahal cuma pakai sendal jepit. Mereka sudah terbiasa naik turun gunung.
Mari turun gunung
Sempat bertemu beberapa orang yang mulai mendaki dan saya menyemangati mereka kalau jalan masih panjang🤭. Jadi harus bersemangat! Jadi kasihan melihat wajah letih orang-orang yang kecapekan padahal belum pun sampai POS 1. Semangat ya teman-teman! 

Alhamdulillah saya sampai ke bawah juga. Fiuhhhh! Teman-teman sudah duluan berhenti di air terjun sejenak untuk menyegarkan diri dengan membasuh muka dan berfoto. Rasanya segar sekali memang melihat air begitu deras dari bebatuan. Tapi kami tidak berlama-lama disini karena kasihan ojek motor sudah menunggu. Kami kemudian berjalan beberapa meter lagi ke parkiran motor, naik ke motor yang sama, menuju parkiran mobil.
Bahagia ketemu air terjun
Saran saya (menurut pengalaman pribadi) kalau mau mendaki ke desa Wae Rebo adalah sebagai berikut:
  1. Siapkan alas kaki yang mengigit supaya nggak terpeleset ketika trekking. Boleh sendal gunung atau sepatu. Saya pakai sepatu boots kemarin karena takut ada pacet. Tapi kalau tidak sedang musim hujan, pacet jarang ditemukan. Sewaktu ngetrip kemarin, cuma Rezki yang kena pacet sedangkan kita semua nggak ada yang kena.
  2. Bawa isi ransel sedikit saja, yaitu : handuk kecil dan tipis, alat mandi, baju ganti 1 helai, skin care dan makeup ala kadarnya aja dan dimasukkan ke tempat-tempat kecil. Ingat! kalian hanya akan mandi sekali, jadi nggak usah bawa piyama, baju malam, baju siang, dan lain-lain yang bikin berat.
  3. Bawa satu jaket aja. Mending bawa jaket thermal (Ultra Light Jacket Uniqlo) seperti saya yang bisa dilipat sangat kecil seperti mukenah. Selain ringan, jaket thermal juga sangat ampuh menahan dingin, angin, dan hujan.
  4. Bawa kamera dengan lensa wide aja, nggak usah bawa dua lensa (seperti saya). Kecuali kalau mau berbagi lensa dengan teman seperjalanan. Jadi ada yang bawa lensa wide, ada yang bawa lensa normal, dan ada yang bawa tripod. Jangan satu orang bawa semuanya kecuali kalau sanggup. Kamera gopro boleh juga karena kecil dan ringan.
  5. Bawa powerbank yang tipis saja. Kalau bisa semua gadget sudah di cas duluan sebelum ke Wae Rebo untuk menghindari bawa banyak kabel. Mungkin bisa sharing power atau batre kamera sama teman-teman seperjalanan.
  6. Kalau bisa bawa ransel kain aja yang berbahan ringan, bukan yang tebal seperti merk Herchel yang saya bawa bikin berat aja😑.
  7. Bawa air minum sebotol aja.
  8. Kalau memungkinkan, jangan lupa bawa permen, buku bacaan, buku dan alat tulis, yang bisa dibagi-bagikan ke anak-anak di Wae Rebo.
Sebelum ke Wae rebo, saya terlalu banyak membaca blog yang suruh bawa ini-itu, tetapi ternyata nggak dipake. Bahkan ada yang menyuruh bawa sleeping bag, bantal, selimut, emang mau kemping? Untung nggak disuruh bawa tenda sekalian. Bawa barang yang penting saja karena selimut, bantal, dan kasur sudah tersedia. Kamar mandi juga cukup baik dan bersih di desa Wae Rebo. Jujur aja saya paling nggak bisa ke suatu daerah kalau kamar mandinya nggak baik. Saya nggak bisa kalau harus pipis di areal terbuka atau mandi di sungai seperti gadis-gadis desa🤭.

Baiklah, sekian tulisan saya yang panjang ini. Destinasi berikutnya adalah mengunjungi sawah berbentuk jaring laba-laba. Sampai jumpa!

Sumber:
https://travel.kompas.com/read/2013/10/28/1117022/Yosef.Katup.Menjaga.Warisan.Leluhur.di.Wae.Rebo?page=all
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/wae-rebo-kisah-sebuah-kampung-di-atas-awan
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/03/23/153100227/5-fakta-menarik-tentang-wae-rebo-di-flores

Wae Rebo was declared by UNESCO as World Cultural Heritage in August 2012 aside 42 other countries. So I was very enthusiastic to visit this place. It was like a dream come true where you can see a very beautiful village laying above the clouds.

From Komodo International Airport, you can ride a motor cycle or rent a car to go to Denge, a village that is very close to Wae Rebo. But you have to know that there's a shortcut road and it doesn't even exist on the Google Maps. I talked to some foreigners who stay with me on Wae Rebo that they have to ride motorbike from Labuan Bajo then crossing Ruteng, after finally reach Denge. That journey took more than 5 hours and it wasn't good at all sitting on the motor bike that long time. It'd broke my backbone or I'll get backache.

Maybe because we rent a car with local people as a driver, so we can get so many shortcut when we gone overland Flores. Google Maps only detect the big road like "Lintas Flores", that's why not only foreigners crossing that road but also Indonesian people. Our journey only took 3 hours and 45 minutes from Labuan Bajo to Denge. If you brave enough, you can ask local people where to go to Wae Rebo, despite of following Google Maps.

Although the journey was kinda short, but you'll experience the winding road almost all of the journey. I felt dizzy, my friend already vomit, but we reached the destination faster. We parked our car in front of an Inn in Denge, then have lunch. At 4.30 PM, we were going on trekking. If you felt insecure about the possibility reach Wae Rebo at night, you can overnight in Denge. There's so may Inn to stay a night. But because we hired a local guide (price IDR 50,000 per person), we just go on trekking. The guide will accompany us until we came back to Denge. We took a motorbike ride (called "ojek") for IDR 100,000 vice versa to the place that very close to the mountain so we can save the energy to go on trekking. So many people walk from the Inn to the mountain just to save money. In this case, for me, saving the energy better that saving money. 

The trekking took about 2 hours until you reach Wae Rebo. Because it's already 6.30 PM, so we're not attend the ceremonial event that must be followed by all of the people who stay overnight in Wae Rebo to respect the spirit of the ancestor. You have to pay IDR 325,000 cash if you wish to stay overnight included dinner and breakfast. We ate dinner together on the center of the house with all of the guests and the house owner. This kind of ambience really good for me as the people who live on the big city.

After dinner, it's better to sleep while the sky getting clearer to take the Milky Way shoot. That night was so foggy so we can't see anything outside. At midnight, the sky became clearer but I still didn't take the Milky Way shoot because one of my friends said that there's no milky way outside. I suspected him not knowing how to see the sign of the Milky way but I just trust him and continue sleeping.

Wae Rebo is very beautiful in the morning. After took a very freezing shower, I went outside and enjoy the morning with my friends before the ceremonial event we have to follow. I thought the event is just like a dance or some ritual will be shown but I was wrong. The village head talked to us using Manggarai language then he also prayed to spirit of the ancestor, may we have safe trip going back home.

We took so many pictures here until the breakfast time. After that, we prepared our backpack to go back to Denge. Going down the mountain took 1 hour and 45 minutes. The road a bit slippery because of the foggy last night.

Before we reach the motor bike parking lot, we stop by the waterfall at the end of the footsteps. It's really refreshing when you met a waterfall after a very tiring trekking. But we didn't spent so much time on it. We need to continue our journey to next destination.

Things to know about Wae Rebo:
1. Their ancestors (Maro) were from West Sumatra called Minangkabau. After internal conflict in the Wriloka (their home village), they live nomadic, moved from one village to the other village several times and finally end up in Wae Rebo.
2. Because you will get into long trekking, I suggest you to wear comfortable and non-slippery shoes. It's dangerous and sometimes if the road got slippery because of the rain or the fog. Beware of the cliff.
3. Bring a lite backpack so you can't easily get tired.
4. Bring Powerbank.
5. If you're lucky enough, at night you'll capture one of the best and the clearest milky way ever in Indonesia.

See you on the next post!

Follow me

My Trip