Postingan ini ditulis setelah obrolan ringan dengan tukang bakso ketika saya sedang pusing menghadapi kondisi perusahaan. Perlu diketahui bahwa cerita ini sudah dibumbui banyak penyedap, tetapi tidak mengurangi esensi dari inti cerita. Mari disimak!
***
Aku membuka dompet. Hmmm, sisa 100rban untuk seminggu ke depan karena tidak mungkin mengambil uang lagi. Uang cash memang sisa sedikit, tapi jangan tanya jumlah asetku yang sangat banyak itu tidak akan membantu kalau sedang butuh uang cash. Cuma bisa melihat laporan-laporan keuangan dari beberapa perusahaan dan menarik napas dalam.
Beginilah nasib pemilik perusahaan. Cicilan perbulan untuk properti sudah besar, membayar operasional rumah dan perusahaan juga besar, belum lagi biaya maintain diri sendiri mulai dari kesehatan dan kecantikan juga tidak murah. Ambisi untuk ekspansi perusahaan datang terus, berbagai tawaran rumah, apartemen, mobil, tiket pesawat, hotel mewah, semua menggiurkan. Belum lagi tawaran investasi di saham dan asuransi yang kadang langsung aku setujui tanpa memikirkan kalau duit sekarang sedang tidak ada.
Aku sempat sangat kaya raya, sering malah, dan pusing tujuh keliling ketika sedang diuji. Begitu terus sampai saat ini. Bahkan beberapa penasehat keuangan yang sudah dipekerjakan juga malah menambah beban, beban keuangan dan beban untuk terus berekspansi.
Diantara kepusingan yang terus melanda, aku memilih untuk makan bakso di tempat yang dulu sering aku datangi ketika masih ngekos. Si abang bakso sudah mengenalku dan terlihat sangat senang sekali karena sudah lama aku tidak mampir. Beliau langsung menawarkan untuk meracik bakso tanpa micin dan menemaniku mengobrol.
"Gimana perusahaan, dek?" tanyanya. Beliau selalu menyapaku dengan "adek", karena aku selalu memanggilnya "abang". Romantis juga kami ini😅.
"Pusing Bang. Baru buka perusahaan baru, berarti menambah masalah baru, dan hutang baru."
Abang bakso pun diam menatapku, dan aku mulai menyeruput kuah bakso.
"Lebih enak mana, jadi anak kos, kerja tiap jam 8 pagi dan pulang jam 5, trus nongkrong di tukang bakso seperti ini. Atau, jadi pemilik bisnis, kaya raya, tapi banyak masalah?"
Aku jawab, "Pengen kaya raya tanpa hutang dan masalah. Hehehe."
Abang bakso tertawa, "Bahkan untuk pilihan seperti ini saja kamu menawar ya."
Aku tertawa, tapi getir. Bingung sebenarnya.
"Itulah manusia, dek. Tidak ada pilihan seenak itu sebenarnya di dunia. Adek dari awal sudah keluar dari pekerjaan yang banyak orang anggap "enak", dan mencoba berbisnis agar hidup lebih "enak". Kaya raya, banyak properti, berubah jadi cantik banget karena perawatan kecantikan dan kesehatan ekstra, itu keinginan semua orang."
Aku diam sambil mengaduk-aduk kuah bakso.
"Tapi selalu ada harga yang harus dibayar. Ada tangisan, ada putus asa, ada cibiran, semua pasti ada. Tergantung adek mau milih yang mana."
"Kalau abang ya, mau aman aja. Jualan bakso, pelanggan banyak, hidup tenang, nggak ada hutang. Itu hanya kelihatannya saja."
Aku kemudian menatap abang bakso dalam-dalam.
"Abang juga pernah mau digusur, didatangi mafia, warung dibongkar paksa sama preman sehingga abang kehilangan penghasilan selama dua bulan. Belum lagi anak istri bahkan mertua harus dikasih makan."
"Biaya operasional kehidupan abang sebenarnya murah. Abang cukup dengan uang 5 juta sebulan, bisa kasih makan anak istri dan mertua. Sudah bayar uang sekolah dan les. Alhamdulillah anak abang pinter-pinter jadi sering dapat beasiswa."
Aku masih diam.
"Tapi abang merasa kurang berguna bagi masyarakat kalau dibandingkan dengan adek. Teringat dulu adek pernah bercerita ke abang kalau baru saja melatih petani dan pengrajin untuk bisa melakukan ekspor, sehingga kehidupan mereka lebih baik. Abang juga ingat kalau adek pernah bercerita kalau sedang mengumpulkan para pengusaha untuk bersama-sama menembus pasar Amerika dan Inggris. Agar sama-sama menaikkan hajat hidup masyarakat kecil. Belum lagi adek adalah pelanggan bakso yang paling dermawan yang pernah abang temukan. Abang tidak menyangka, anak kosan yang dulunya lusuh, sekarang mulai berpengaruh di dunia."
 |
Enterpreneur Quote |
Aku mulai tercekat dan air mataku menetes sambil terus mengaduk bakso. Abang bakso memberikanku es jeruk dan aku langsung meminumnya.
"Manusia tidak akan pernah berhenti dilanda masalah, dan juga tidak akan pernah puas. Masalah akan berhenti ketika kita mati, dan kepuasan hanya akan dinikmati ketika kita masuk surga seperti yang Allah firmankan di Al-Qur'an."
"Selagi masih hidup dek, kita masih bisa terus berusaha dan berdoa. Abang juga berdoa agar tidak ada lagi preman yang datang mengobrak-abrik warung, cukup makan, dan punya anak sholeh-sholehah. Mungkin abang merasa cukup hanya dengan doa begitu. Berarti adek harus lebih dari itu berdoanya. Mungkin adek bisa meminta seisi dunia, insya Allah dikabulkan."
"Cukup bang, nanti adek nangis terisak-isak nih!" kataku sambil mengelap air mata dengan tisu. Aku merasa tertohok dengan semua perkataan beliau.
Abang bakso tertawa. "Paling kalau ada yang nanya, abang jawab aja kamu pake cabe kebanyakan, hahaha."
Aku ikut tertawa, kemudian jadi diam berpikir. Abang bakso meminta ijin sejenak untuk membantu anak buahnya yang sedang meracik bakso karena pembeli mulai membludak. Aku merenung, rasanya memang selalu ingin menyerah, tapi balik lagi aku harus selalu berusaha. Menjadi pengusaha sukses adalah hal yang aku sudah cita-citakan dari kecil, dan ternyata sulit sekali untuk mewujudkannya. Terkadang aku berpikir, seandainya memang sesulit ini, aku ingin berhenti saja bahkan tidak akan mau memulai. Sebuah kegalauan yang terus datang menghinggapi kalau permasalahan sedang banyak.
Aku melihat abang bakso yang dengan cekatan meracik bakso, tampaknya sangat gampang, lebih gampang dari membayar hutang dan berekspansi bisnis. Tapi, benarkah hal itu lebih gampang? Selalu ada harga yang harus dibayar...
5 bulan kemudian...
Aku kembali lagi ke warung bakso seraya membawa banyak hadiah. Abang bakso sangat gembira ketika menerimanya.
"Melihat senyum seperti ini, abang tebak kalau perusahaan sedang baik-baik saja ya?" tanya abang bakso seraya menerima hadiah dengan senyum lebar.
Aku mengangguk dan tertawa.
"Ah iya, abang baca di majalah 2 minggu yang lalu," beliau menaruh hadiah, masuk ke bilik warung, dan membawa majalah seraya membolak-balikkan halaman. Si abang berhenti dihalaman yang ada fotoku, "Ini."
Aku tersenyum. Sebulan yang lalu aku memang pernah di wawancara eksklusif oleh sebuah majalah bisnis. "Berkat semangat dari abang waktu itu. Adek jadi kerja keras lagi."
"Alhamdulillah. Semua pasti ada balasannya ya."
"Yah, walaupun ntah apa yang akan terjadi nanti, tapi adek akan terus berusaha. Tidak akan menyerah. Kalau pun mau menyerah, nanti adek datang lagi ke warung abang. Abang kasih nasehat lagi ya!"
"SIAP!" katanya sambil memberikan jempol.
Pada akhirnya, konsistensi, pantang menyerah, mau belajar, dan berdoa 🤲 kepada Pemilik langit dan bumi, akan menyelesaikan semua masalah. SEMANGAT!