Desember 30, 2020

Kuburan Lo'Ko Mata

Tujuan wisata berikutnya adalah kuburan batu besar bernama Lo'ko Mata yang berada di Desa Wisata Sesean Suloara', Kabupaten Toraja Utara. Dari pusat kota Toraja ke Lo'ko Mata dapat ditempuh dalam waktu 1 jam dengan jalan yang begitu berkelok-kelok. Udah mual perjalanan dari Makassar ke Toraja, lanjut mual lagi ke Lo'Ko Mata🤢. Saya meminta Gilang untuk mematikan AC mobil dan membuka jendela agar mengurangi rasa mual. Lagian, udara disini juga sudah sangat sejuk dan enak banget kalau buka jendela.

Rumah tongkonan
Pemandangan indah

Pemandangan sepanjang jalan sangat indah karena kami berjalan menyusuri dataran tinggi. Kita bisa melihat kota Rantepao dari ketinggian ditambah lagi di sisi kiri-kanan jalan banyak sekali pepohonan dan rumah tongkonan. Jadi terasa sekali "Toraja"-nya. Saya melempar senyum ke orang-orang yang kita temui di sepanjang jalan. Wajah mereka sangat khas Indonesia Timur. Penduduk sekitar sini lumayan sepi.

Batu-batu besar
Kuburan batu

Ternyata Tana Toraja ini agak mirip dengan Belitung dimana banyak sekali batu-batu super besar di sepanjang jalan menuju Lo'Ko Mata. Beberapa batu memang bisa dijadikan kuburan karena cukup untuk memasukkan keranda jenazah. Saya sampai berhenti untuk sekedar mengambil foto dan penasaran seperti apa sih kuburan batu tersebut? Masyarakat setempat bilang, daripada harus buka lahan tanah, memang jenazah lebih baik dikuburkan di dalam batu. Tapi jangan salah, untuk memahat batu juga diperlukan keahlian khusus dan biaya besar, sehingga konon katanya sebelum menggelar upacara kematian, keluarga jenazah menaruh mayat di rumah tongkonan sampai tabungan mereka cukup untuk menyelenggarakan upacara.

Sampai juga

Akhirnya sampai juga di Lo'Ko Mata yang merupakan salah satu objek wisata yang berupa batu sangat besar yang berisi mayat. Tempat ini menjadi salah satu tempat penyimpanan mayat masyarakat Toraja yang sudah sejak jaman dahulu kala. Masing-masing liang digunakan untuk memakamkan satu rumpun keluarga yang sudah meninggal. Pada waktu-waktu tertentu juga diadakan Upacara Tradisional Toraja "Ma'Nene", dimana mayat dibersihkan dan dipakaikan baju baru, kemudian dimasukkan kembali ke dalam batu.

Kuburan batu super besar
Lubang-lubang di batu
Ada tangga keatas

Loko Mata memiliki arti Lubang Mata. Ada banyak lubang pada batu besar tersebut, yang mana setiap lubang batu itu berisi lebih dari satu mayat yang memiliki hubungan keluarga. Ada pintu di setiap lubang dan nama jenazahnya. Saya membaca beberapa nama dan tanggal kematian mereka. Tidak ada jenazah yang meninggal dalam 3 tahun ini. Kalau tidak salah paling lama tahun 2013.
Pose dulu

Kegiatan yang bisa dilakukan disini memang hanya melihat batu kuburan. Seharusnya kita membayar tiket masuk pariwisata, tapi karena sudah sore tidak ada lagi penjaganya. Masyarakat yang berkunjung kesini juga tidak terlalu ramai sejak pandemi. Dulu katanya banyak banget bule' yang berkunjung sekaligus untuk melihat upacara Ma'Nene. Suasana mendung, hutan, kuburan, dan sepi, jadi menambah kesan angker tempat ini. Alhamdulillah saya tidak takut perhantuan.

Setelah puas berfoto, dan karena sudah hujan juga, kami kembali ke mobil. Selanjutnya kami mampir ke sebuah Restoran karena sudah lapar. Nanti saya lanjutkan lagi ya ceritanya. Sampai jumpa!

Sumber:

Desember 28, 2020

Welcome to Tana Toraja

Perjalanan menuju Makassar dari RM. Aroma Laut ditempuh dalam waktu 4 jam 30 menit, tapi tidak terasa karena asik ngobrol di mobil. Saya sudah ketiduran, bangun lagi, tidur lagi, dan akhirnya sampai juga ke Makassar pas magrib. Sebelum pulang ke rumah Dita, kami mengantarkan Rezki ke dokter kulit dulu, kemudian saya dan Dita melanjutkkan perjalanan ke TSM Makassar karena Dita mau belanja baju kembaran dengan saya. Biar bisa berfoto bersama😂. Padahal di Tebing Appalarang, kita sudah memakai baju yang sama, tapi malah nggak jadi berfoto karena sudah disibukkan dengan kegiatan disana😅.

Selesai dari TSM dan menjemput Rezki kembali, kami pulang ke rumah Dita. Si Gilang (suami Dita) sudah membelikan makan malam yaitu Mie Titi dalam porsi besar (nanti akan saya tuliskan selengkapnya di kuliner Makassar). Saya makan dengan lahap karena sudah kelaparan juga sejak di perjalanan dari Bulukumba tadi siang. Selesai makan, kami kemudian beristirahat karena besok mau ke Toraja pagi sekali.

Besoknya, saya, Dita, Gilang, dan Rezki berangkat menuju Tana Toraja. Kalau 2 hari yang lalu kami ke arah timur, sekarang kita ke utara. Saya baru menyadari kalau perjalanan ke Tana Toraja dari Makassar itu jauhhh sekali😮, yaitu menempuh perjalanan 8 jam melalui darat. Saya kira 5-6 jam saja, tapi ternyata jauh juga. Maka dari itu kami memulai perjalanan sejak pukul 7 pagi, agar paling tidak bisa mendapat satu destinasi wisata yaitu kuburan batu Lo'ko Mata.

Jalur yang ditempuh
Perjalanan dimulai melewati kota Parepare, kampungnya teman kuliah saya dulu. Ini pertama kalinya melihat kota Parepare yang terkenal dengan jembatan kembar berwarna kuning. Kotanya tidak terlalu besar tapi katanya kita bisa mendapatkan sunset terindah di waktu sore. 
Foto dari jembatan kuning Parepare
Kami terus melaju sampai Pinrang. Kata Gilang, ada jalan yang lebih bagus lagi selain melewati Pinrang tapi saya lupa lewat mana. Hanya saja kalau lewat jalan bagus, lebih lama lagi kita sampai. Ini saja sudah tidak berhenti sampai akhirnya kita tiba di Enrekang, salah satu kota tempat tinggal teman Gilang. Kami mampir di sebuah warung nasi untuk sarapan juga, karena tadi pagi cuma ngemil aja jadi masih lapar. Saya kemudian takjub sendiri melihat menu makanan, nasi kuning, telur, daging ayam, sayur dan lainnya ini untuk sarapan😮. Kalau porsi lengkap begini untuk sarapan, bagaimana untuk makan siang😱? Orang sini makannya banyak kali ya?
Sarapan guys
Saya berusaha makan sedikit demi sedikit semampu saya sambil mendengar Gilang mengobrol dengan temannya. Agak takut juga kalau kebanyakan makan, nanti saya malah muntah seperti perjalanan di Flores dulu🤮. Akhirnya saya menyerah tak kuat lagi. Maunya saya minta nasinya setengah aja, atau bagi dua dengan Dita. Kasihan juga nasinya jadi sisa banyak.
Toraja semakin dekat
Setelah makan, perjalanan dilanjutkan dan kali ini sangat berkelok-kelok. Haduh, saya mulai mual tapi dengan sekuat tenaga ditahan🤢. Untungnya pas adzan Zuhur sempat berhenti sejenak untuk shalat, sehingga saya bisa menikmati angin segar. Setelah shalat, Gilang kembali melajukan mobilnya sampai akhirnya terlihat tulisan Selamat Datang Kota Makale Toraya Maelo yang berarti sudah dekat dengan kabupaten Tana Toraja. Saya masih bersabar sambil mengurut-urut tengkuk agar tidak muntah. Alhamdulillah akhirnya sampai juga di pintu masuk Tana Toraja dan saya buru-buru turun karena sudah hampir muntah🤢. Untung nggak jadi.
Alhamdulillah sampai
Tana Toraja adalah suatu kabupaten di Sulawesi Selatan yang termasuk dalam bucketlist saya dari tahun ke tahun, tapi belum tersampaikan. Mungkin karena sulitnya akses dimana kita harus naik kendaraan lagi. Tiket pesawat kesini juga mahal karena tidak adanya rute AirAsia. Sebenarnya ada sih bandara kecil, tapi tidak selalu ada jadwal penerbangan ke bandara tersebut apalagi sejak pandemi. Alhamdulillah akhirnya bisa kesini, melihat rumah-rumah Tongkonan dengan ciri khasnya dan fungsinya untuk menaruh mayat. 
Patung di pusat kota
Kami sejenak mengitari pusat kota untuk menikmati suasana khas Tana Toraja yang dingin dan asri. Rumah Tongkonan sepertinya bukan saja menjadi tempat menyimpan mayat, tapi juga menjadi arsitektur khas untuk kantor pemerintah dan perhotelan. Saya bilang ke Dita kalau nanti kita harus menginap di hotel yang ada arsitektur rumah Tongkonan ya agar lebih terasa kalau kita sedang berada di Toraja. Si Dita sih hayuk-hayuk aja, hihihi....😆

Setelah mengitari pusat kota sejenak, perjalanan kami lanjutkan ke kuburan batu pertama yaitu Lo'Ko Mata. Nanti akan saya posting. Sampai jumpa!

Desember 26, 2020

Snorkeling di Pulau Liukang Loe

Tidak lengkap rasanya kalau pergi daerah pantai tapi nggak snorkeling. Saya dan teman-teman menyewa kapal seharga Rp. 300rb untuk mengantarkan kami snorkeling sampai pulang lagi ke Tanjung Bira. Mumpung masih pagi dan belum waktunya check-out, jadi kita bisa memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk menikmati keindahan bawah laut di sekitar Pulau Liukang Loe.

Kapal motor

Lokasi Pulau Liukang Loe ada di sebelah barat Pantai Tanjung Bira, sekitar 15-20 menggunakan kapal motor. Nama Liukang Loe berasal dari bahasa Konjo (bahasa daerah setempat) yaitu Liukang berarti kayu hitam dan Loe berarti banyak. Dari namanya saja sudah bisa ditebak kalau di Pulau ini memang banyak terdapat kayu hitam. Pulau ini juga dihuni oleh dua kampung yaitu Kampung Buntutuleng dan Passilohe. Sayangnya, kami tidak merapat ke pesisir pulau, hanya snorkeling saja di sekitar situ.

Mencuci alat snorkeling dengan sunlight

Sebelum memulai snorkeling, kami mencuci alat dengan sunlight yang sempat dibeli sewaktu sarapan tadi. Walaupun awak kapal bilang kalau alat snorkeling sudah direbus dan kumannya sudah mati, tetap saja kami mengantisipasi dengan mencuci pakai sabun cuci piring. Kayaknya kita memakai sabun kebanyakan, sehingga sewaktu dipakai di mulut, eh masih banyak gelembung-gelembung😄. Jadinya walaupun sudah turun ke laut, tetep aja harus membilas alat snorkeling lagi sampai benar-benar tidak berbusa. Baru deh mulai berenang.

Pulau Liukang Loe terkenal mempunyai keindahan bawah laut yang sangat mempesona dan menjadi daya tarik paling utama bagi para pengunjung agar mencoba diving dan snorkeling. Ikan-ikannya masih banyak, mengikuti kita berenang. Awalnya teman saya Dita masih takut berenang. Ntah kerasukan setan apa😄, eh dia malah berani banget nyebur sana-sini, berenang sampai jauh tanpa perlu ditemani. Berhubung saya masih agak trauma dengan laut, jadi saya berenangnya nggak terlalu jauh.

Ikannya banyak
Terumbu karang
Saya mencoba melepas life vest
Baru enak berenang tapi tetap memegang tali kapal
Ikannya semakin banyak
Terumbu karang yang cantik

Setelah sejam snorkeling, kami kembali ke kapal. Bapak nahkoda menyarankan kita untuk pergi ke penangkaran penyu. Kami sih langsung oke aja, mumpung masih ada waktu sebelum check out hotel. Kapal kemudian diarahkan menuju dermaga pulau, tempat penangkaran penyu di rumah apung. Kami cukup membayar Rp. 5000 perorang untuk berenang bersama penyu. Awalnya saya agak takut karena penyunya gede bangeeet😲😲😲, Masya Allah! Tapi lama-lama seru juga. Apalagi melihat Dita berani banget nyebur sana sini dan berenang bersama penyu😄.

Penyu gedeee
Penyu terlihat dari dekat
Diantara jaring
Kami menghabiskan waktu berenang bersama penyu kurang lebih sekitar 30 menit. Setelah itu kita naik ke kapal untuk kembali ke Tanjung Bira. Seru sekali hari itu, walaupun waktunya sangat singkat dan sangat menguras tenaga. Semoga suatu hari bisa kesini lagi.

Sampai penginapan, saya mandi, beres-beres koper, lalu checkout. Karena sudah siang dan laper berat setelah kecapekan snorkeling, tempat yang kami cari pertama kali adalah Restoran. Kita nggak mau lagi sampai telat makan seperti kemarin, takut jadi lemes ketika tiba di Makassar nanti. Kami lalu mampir di RM. Aroma Laut, Bulukumba, yang jaraknya sekitar 20 menit dari Tanjung Bira. Restonya nyaman banget dan ada AC. Kita pesan banyak makanan seperti ikan bakar, cumi goreng tepung, sayur toge, udang telur asin, dan sambal. Selagi menunggu makanan datang, kami shalat secara bergantian.

Pesanan kita
Padahal kita shalat cuma 15 menit, tapi semua makanan sudah terhidang setelah kita selesai shalat. Berbeda sekali dengan warung pinggi dermaga, tempat kami makan malam kemarin yang membuat kita menunggu sampai satu jam. Langsung saja semua makanan di lahap dengan cepat, saking laparnya. Saya sampai memesan 2 gelas minuman biar kenyang, hahaha😂😂.

Alhamdulillah kenyang dan kita hanya membayar Rp. 197,000 saja untuk makanan sebanyak itu. Setelah membayar, kami melanjutkan perjalanan ke Makassar yang menempuh jarak 4 jam. Selama perjalanan saya selonjoran di jok belakang dan bercerita banyak hal dengan teman-teman sehingga jarak mulai tidak terasa. Baiklah, nanti saya lanjutkan cerita lagi. Sampai jumpa!

Desember 24, 2020

2 Tanjung Kembar - Bira & Bara

Perjalanan dari Tebing Appalarang ke Tanjung Bira memakan waktu sekitar 30 menit. Yang jadi masalah adalah karena kita belum memesan hotel. Agak takut kesorean juga sih, mana kita belum makan siang. Untuk bisa memasuki kawasan Pantai Tanjung Bira Bulukumba, kita dikenai biaya Rp 15.000 perorang, ditambah Rp. 10.000 untuk mobil. Saya mengira masuk ke kawasan pantai bakalan gratis apalagi di kala pandemi seperti ini, tapi ya sudahlah. Mereka pasti membutuhkan biaya untuk mengelola pariwisata.

Kami menuju ke kawasan Pantai Tanjung Bara terlebih dahulu untuk mencari-cari penginapan. Semula mau memilih kamar di sisi pantai yang disarankan oleh teman saya Dita. Tapi ntah kenapa semenjak pandemi, kamarnya seperti tidak diurus. Kamar berjamur, bau lembab, banyak sarang laba-laba🤢. Padahal kata Dita, setahun yang lalu kamar ini dipersiapkan untuk bos-bos karena luas dan langsung menghadap ke pantai.

Akhirnya kami jadi harus mencari hotel lagi dan hal ini sungguh melelahkan😫. Saran saya memang dari awal sudah di booking secara online biar nggak kehabisan energi untuk mencari dan bernegosiasi. Beberapa penginapan atau hotel yang ber-AC menaruh harga Rp. 750,000 permalam dan nggak mau sama sekali menurunkan harga, meskipun nggak ada pengunjung hari itu😫. Padahal 'kan lumayan kalau kami mengambil kamar 2 malam seharga sejuta, mereka udah dapat duit gitu. Tapi mereka tetap nggak mau menjual seharga Rp. 500,000, dan hampir semua resort begitu. Kalau mau yang tidak pakai AC sih banyak yang dibawah Rp. 500rban. Duh, suasana pantai begini, mana enak nggak pakai AC🥵. Para penjaga penginapan bilang, dulu bule'-bule' lebih suka yang nggak ada AC, biar lebih natural. Hadoh, apaan natural, panassss🥵🥵🥵! 

Suasana penginapan tanpa AC

Akhirnya kami mencari kamar yang agak jauh dari pantai seharga Rp. 350,000 dengan fasilitas seadanya banget (yang penting ber-AC) di Tanjung Bira. Udah capek juga untuk bernegosiasi. Kalau mau mencari penginapan murah memang lebih baik ke Tanjung Bira. Kalau air laut nggak pasang, kita bisa jalan menyusuri bibir pantai sampai ke Bara. Hari itu karena sudah lelah, setelah mandi sore kami mencari makan di sisi dermaga. Agak bingung mau makan apa karena pilihan makanan di tempat ini tidak sebanyak di Makassar. 

Dermaga
Kami memesan ikan bakar rica, sup ikan, dan kangkung untuk bertiga. Sekaligus es jeruk dengan porsi nasi yang sungguh banyak. Kalian tau, makanannya baru datang sejam kemudian😮. Bayangkan udah lapar, makanan lama datang, sampe kita jadi nonton sinetron di Indosiar yang ada di rumah makan, saking udah nggak tau mau ngapain lagi. Sesaat setelah makanan datang, karena kita lapar berat, semua makanan ini bisa langsung dihabiskan tanpa bersisa hanya dalam waktu 15 menit. Nunggunya sejam, habisnya cuma dalam beberapa menit saja😓. Total harga makanan kita adalah Rp. 115,000.
Makanan yang datang sejam kemudian
Setelah makan, awalnya mau jalan-jalan dulu melihat kampung sekitar di malam hari. Tapi setelah magrib aja udah sepi banget, hampir nggak ada orang di jalan. Kirain bakalan seperti Bali 'gitu dimana Cafe atau Resto buka di malam hari. Mungkin karena pandemi juga, sudah banyak pertokoan tutup. Ya udah deh, balik ke penginapan aja untuk beristirahat. Agar besok bisa puas main di pantai.
Jangan buang sampah sembarang ya

Besok paginya, saya langsung berganti baju renang bahkan sebelum sarapan. Niatnya mau mandi di pantai terlebih dahulu bareng Dita. Kita pakai mobil ke Tanjung Bara karena nggak bisa menyusuri garis pantai ke arah barat. Pagi itu air laut sedang pasang, jadi agak serem juga kalau jalan kaki dengan air laut yang tinggi, takut terus bertambah tinggi.

Pertokoan di sisi pantai Tanjung Bara

Sesampai di Tanjung Bara, saya dan Dita sibuk berfoto di pinggir pantai sampai kami mulai bosan. Ntah kenapa pagi itu pasir di Tanjung Bara kurang putih untuk berfoto. Akhirnya kami mengajak Rezki untuk kembali ke Tanjung Bira sekalian menyewa perahu ke Pulau Liukang Loe yang katanya memiliki pemandangan bawah laut yang mempesona.

Foto Tanjung Bara
Pose dulu dari belakang
Kami memarkir mobil di penginapan, lalu sarapan mie instan pakai telur dulu di warung depan. Kalau mau snorkeling harus mengisi perut terlebih dahulu biar ada tenaga karena pasti capek banget. Setelah makan, matahari pun semakin naik, dan terlihat pasir sangat putih memukau. Masya Allah cantiknya😍! Mungkin karena panasnya cahaya matahari mengeringkan pasir sehingga teksturnya halus seperti bedak dan berwarna putih cemerlang. Ditambahkan gradasi hijau tosca dan biru muda menambah keindahan pantai.
Pantai Tanjung Bira

Indah sekali Masya Allah 😍

Menikmati pantai sambil duduk di warung
Setelah bernegosiasi, kami mendapatkan harga Rp. 100rb/orang untuk menyewa kapal, lengkap dengan life vest dan alat snorkeling. Selagi awak mengambil kapal di dermaga, kami duduk-duduk di Cafe sambil minum air kelapa dengan pemandangan yang Masya Allah indahnya😍. Kalau kata orang, pantai Tanjung Bara lebih indah. Tapi hari itu menurut saya Tanjung Bira jauh lebih indah. Suasana pantai indah seperti ini memang bikin betah berlama-lama nongkrong atau mandi di pantai.

Setengah jam kemudian, kapal kami pun datang. Kami naik dan perjalanan menyusuri lautan pun dimulai. Nanti kan posting saya selanjutnya ya. Stay tuned!

Desember 21, 2020

Tebing Apparalang, Bulukumba

Hari ini kita bertujuan untuk menjelajah Kabupaten Bulukumba yang sangat terkenal akan keindahan pantai dan lautnya. Dari setelah shalat Shubuh saya nggak tidur lagi saking excitednya🤩, sarapan sebentar di rumah Dita, lalu sekitar pukul 7 pagi kita berangkat. Jarak tempuh dari Kota Makassar ke Kabupaten Bulukumba sekitar 200 km atau 4 jam perjalanan. Rezki yang menyetir, Dita duduk di sebelahnya dan bertidak sebagai navigator juga, sedangkan saya di jok belakang sambil tiduran bermain hp. 

Kincir angin

Jalanan menuju Bulukumba juga nggak berkelok-kelok, lurussss aja, sehingga nggak membuat saya mual. Jadi teringat perjalanan di Bajawa yang Subhanallah memusingkan😵. Sesekali saya bangun untuk melihat pemandangan sekitar, lalu tiduran lagi kalau merasa mulai tidak ada panorama yang menarik. Setelah 2 jam perjalanan, kami berhenti sebentar di sebuah Cafe pinggir pantai untuk beristirahat dan meluruskan kaki. Kita memesan cemilan es kelapa muda (khas minuman pinggir pantai), sekalian untuk berleyeh-leyeh bersantai menikmati pantai. Selain Pantai Losari, baru ini saya melihat pantai di Pulau Sulawesi. 

Pohon kelapa pinggir pantai dan angkot merah
Pantaiiiii🏖️

Tidak ada yang terlalu istimewa di pantai ini. Setelah menyegarkan tubuh sedikit, perjalanan dilanjutkan. Saya kemudian tertidur di jok mobil sampai akhirnya kami tiba di Bulukumba. Tidak terasa, kita ternyata sudah menempuh 4 jam perjalanan loh. Destinasi pertama kita di Bulukumba adalah Tebing Apparalang. Posisi tebing ini tepatnya ada di Desa Ara (sekitar 40 km lagi dari pusat kota Bulukumba), Kecamatan Bontobahari. Menurut artikel yang saya baca, tempat ini menawarkan panorama pantai sangat indah berupa tebing curam dan bebatuan karang berbaris membentuk formasi mempesona😍.

Nah, yang agak merepotkan adalah perjalanan menuju Tebing Apparalang memang harus melalui rute yang sedikit sulit karena jalurnya belum diaspal halus. Belum lagi kadang Google Maps suka memberikan arah tak jelas sehingga kita harus bertanya lagi kepada orang kampung atau membaca penunjuk jalan. Mengendarai mobil bolak-balik ditambah nyasar ntah kemana cukup menghabiskan waktu. Pastikan mobil kita dalam kondisi prima kalau mau ke tebing ini daripada ban meletus di jalan, ntah dimana ada tukang tambal ban disini.

Akhirnya kami sampai ke parkiran tebing. Kita parkir mobil, lalu duduk sebentar di warung untuk mengisi perut. Rasanya lapar sekali karena capek di jalan dan memang sudah masuk jam makan siang. Tidak ada menu yang spesial di warung, hanya bisa memesan pop mie dan pisang goreng saja disini. Lumayanlah untuk mengisi perut biar nggak lapar-lapar banget. Sejak pandemi memang banyak warung tutup sehingga sudah tidak banyak lagi pilihan makanan yang bisa kita santap. Setelah makan, kami berjalan menuju tebing yang Masya Allah indahnyaaaa😍😍😍. Lautan hijau muda membentang sejauh mata memandang dengan tebing yang sangat curam. Terbayarkan sudah kelelahan selama 4 jam lebih perjalanan. Oh ya, harga tiket masuk tempat wisata ini adalah Rp. 10,000 perorang dan biaya parkir Rp. 20,000 permobil.

Tebing yang sangat indah

Kami berjalan menelusuri tebing curam untuk mencari tempat berfoto. Kalian harus memakai sepatu dengan sol tebal disini karena banyak sekali bebatuan yang tajam. Untuk duduk di pinggiran tebing saja kita memilih bebatuan yang agak landai, walaupun hampir nggak ada. Jadilah harus duduk diantara bebatuan runcing-runcing yang membuat pantat sakit, ouch🤭! Demi foto terkece, ya udah ditahan sedikit deh sakitnya.

Sambil menahan sakit

Setelah berfoto di pinggir tebing yang lumayan bikin deg-degan, kami berpindah spot foto. Kali ini sambil berjalan di sisi tebing sambil menikmati debur ombak yang menghempas bebatuan dan desir angin yang sangat menentramkan. Melihat pemandangan lautan lepas dari tepi tebing memang selalu berhasil memberikan sensasi tersendiri. Ada rasa kagum, ada rasa takut (jatuh) juga. Tak jarang banyak yang menyebut Tebing Appalarang sebagai Raja Ampatnya kabupaten Bulukumba. Masya Allah😍!

Tebing sangat indah

Sebenarnya kalian bisa snorkeling atau berlayar dengan perahu di lautan yang berada di kaki tebing. Sayangnya sejak pandemi, banyak sekali aktivitas yang sudah tidak ada lagi disini. Kami hanya bisa turun sampai pinggir dermaga untuk berfoto, bukan untuk naik perahu. Dulu bahkan kalian bisa sekalian snorkeling disini karena (katanya) pemandangan di bawah laut tebing ini sangat memukau. Mungkin nanti suatu hari, ketika bumi sudah pulih sepenuhnya dan masih diberikan kesempatan oleh Allah, aminnn🤲!

Tangga curam menuju dermaga
Selesai berfoto-foto di tebing, kami berpindah ke spot sebuah kapal besar dan keren. Kami ingin berfoto di atas kapal. Sayangnya hujan deras pada saat itu dan kami harus berteduh dulu baru bisa naik ke kapal. Oh ya kalau mau berfoto di kapal, kita harus membayar Rp. 7,000 perorang. Agak seram juga naik ke kapal ini karena pemandangan di bawahnya langsung ke lautan lepas. Jadi kebayang kalau kapalnya jatuh, ya udah kita berlayar deh. Uggghhh astaghfirullah😱.

Sungguh tinggi😱

Kapal yang besar
Pose dulu
Awalnya objek wisata kapal ini sepi, nggak ada orang sama sekali. Giliran kita berfoto-foto disini, baru sadar udah banyak banget orang mengantri untuk menunggu kita selesai berfoto. Padahal tadi nggak ada orang deh, ntah sejak kapan orang-orang ramai berdatangan😅. Akhirnya kami mengalah dan bergantian dengan orang lain.

Karena sudah pukul 2 siang dan kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Tanjung Bira, maka kita sudahi saja bermain-main di Tebing Appalarang. Yang terlupa adalah foto bareng Dita, padahal udah pakai baju kembaran, hahaha😂. Oh iya sebenarnya kita bisa juga belanja oleh-oleh disini, tapi balik lagi karena pandemi, sudah hampir semua toko tutup. Hiks sedih deh😢. Kita akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bira yang berjarak hanya 30 menit dari Desa Ara.

Nanti saya akan melanjutkan cerita di Tanjung Bira dan Bara ya. Sampai jumpa!

Desember 19, 2020

Odontektomi Kedua

Setelah menunda terus, akhirnya saya melakukan operasi gigi bungsu (odontectomy) lagi. Kali ini giliran gigi pojok sebelah kanan yang menjadi korban😨. Sebenarnya sudah saya usahakan untuk tidak dicabut, karena kalau dilihat dari hasil rotgen panoramic memang gigi ini tidak terlalu mendesak gigi depannya. Tetapi giginya sudah terlalu sering ditambal dan rusak lagi tambalannya. Terlalu sering juga cenat-cenut yang membuat gusi saya bengkak. Yang paling menyebalkan adalah saya jadi susah mengunyah di sisi sebelah kanan. Setelah konsultasi ke beberapa dokter, akhirnya saya putuskan untuk dicabut saja.

Yang kuning bakalan dicabut, yang merah sudah dicabut

Saya putuskan untuk operasi di Banda Aceh dengan Dr. Syahrial Sp.Pros. Saya biasanya memang suka ditambal atau dioperasi oleh beliau karena kita sudah berteman sejak lama. Jadi kalau kesakitan masih enak bilangnya, "Bang, sakit bang😭😭!" Berbeda dengan operasi potong gusi kemaren yang membuat saya ketakutan dan nangis belakangan karena sewaktu proses operasi saya tegang banget. Padahal dokter Arbi Sp.BM (Spesialis Bedah Mulut) baik banget.

Tidak perlu menunggu lama, saya datang ke klinik, konsultasi sebentar, lalu langsung ditindak. Bang Syahrial menyuntik bius ke gusi dan rongga mulut berkali-kali sampai menetes air mata ini. Setelah itu mulailah pisau belah, tang, dan bor mengobok-ngobok rongga mulut saya. Memang sih nggak sakit, tapi ketika di bor itu dengungnya bikin sakit kepala. Ntah karena saya punya vertigo, jadi terasa nguuuunngggg banget😵.

Mari mulai operasi
Bang Syahrial bilang, karena di gigi geraham saya ada kawat gigi, jadi proses operasi agak sulit. Takut kena ke behelnya jadi harus pelan-pelan. Akhirnya si abang mengeluarkan tang dan mencabut gigi saya dengan cara di goyang-goyang dan bunyi krak, krek, kruk! OMG😵😵! Langsung deh terlihat gigi saya dikeluarkan dari dalam mulut. Ugh horor banget sihhh😵, melihat gigi sendiri diatas meja dokter.
Gusi bolong
Sebelum dijahit, bang Syahrial menunjukkan kondisi bolong di gusi bekas tempat gigi saya. Haduwh, terlihat seram sekali karena penuh darah. Akhirnya gusi saya dijahit sebanyak 2 jahitan, maka selesailah proses operasi hari ini. Ntah kenapa beberapa menit kemudian mulai terasa sakitttt banget. Padahal di bagian bibir masih kebas, tapi di bagian tulang gigi sakittt banget😭😭😭. Saya langsung merasa pusing saking sakitnya. Bang Syahrial lalu memberikan resep obat dan harus diminum segera agar rasa sakitnya bisa hilang.

Saya buru-buru ke apotek untuk menebus obat. Haduh rasa sakitnya semakin menjadi-jadi 😭😭tapi saya masih sanggup menahannya. Sampai di rumah saya makan kebab dulu, lalu minum obat. Seraya menunggu reaksi obat, saya main dulu dengan keponakan, tapi ternyata sudah tidak bisa ditahan. Saya masuk kamar, tanpa cuci muka dan sikat gigi, langsung tidur. Pipi mulai bengkak dan nyeri sekali.

Besok paginya rasa sakit di gigi sudah jauh berkurang. Saya bercermin dan mendapati wajah sangaaaat bengkak, hahahaha😂😂😂. Bahkan kulit pipi sampai ketarik ke sebelah kanan dan mengkilat saking gedenya bengkak. Memang kalau operasi rongga mulut pasti bakalan bengkak dan muka jadi aneh banget. Ya udah deh, sabar aja. Nanti juga seminggu kemudian sudah kembali normal.
Wajah bengkak sudah mulai berkurang setelah 5 hari

Kutaraja Dental Center Banda Aceh (Drg. Syahrial Sp. Pros)

  • Odentectomy/Impasi Tipe 1 Rp. 1,550,000
  • Administrasi Rp. 10,000

Follow me

My Trip