Perjalanan dari Tebing Appalarang ke Tanjung Bira memakan waktu sekitar 30 menit. Yang jadi masalah adalah karena kita belum memesan hotel. Agak takut kesorean juga sih, mana kita belum makan siang. Untuk bisa memasuki kawasan Pantai Tanjung Bira Bulukumba, kita dikenai biaya Rp 15.000 perorang, ditambah Rp. 10.000 untuk mobil. Saya mengira masuk ke kawasan pantai bakalan gratis apalagi di kala pandemi seperti ini, tapi ya sudahlah. Mereka pasti membutuhkan biaya untuk mengelola pariwisata.
Kami menuju ke kawasan Pantai Tanjung Bara terlebih dahulu untuk mencari-cari penginapan. Semula mau memilih kamar di sisi pantai yang disarankan oleh teman saya Dita. Tapi ntah kenapa semenjak pandemi, kamarnya seperti tidak diurus. Kamar berjamur, bau lembab, banyak sarang laba-laba🤢. Padahal kata Dita, setahun yang lalu kamar ini dipersiapkan untuk bos-bos karena luas dan langsung menghadap ke pantai.
Akhirnya kami jadi harus mencari hotel lagi dan hal ini sungguh melelahkan😫. Saran saya memang dari awal sudah di booking secara online biar nggak kehabisan energi untuk mencari dan bernegosiasi. Beberapa penginapan atau hotel yang ber-AC menaruh harga Rp. 750,000 permalam dan nggak mau sama sekali menurunkan harga, meskipun nggak ada pengunjung hari itu😫. Padahal 'kan lumayan kalau kami mengambil kamar 2 malam seharga sejuta, mereka udah dapat duit gitu. Tapi mereka tetap nggak mau menjual seharga Rp. 500,000, dan hampir semua resort begitu. Kalau mau yang tidak pakai AC sih banyak yang dibawah Rp. 500rban. Duh, suasana pantai begini, mana enak nggak pakai AC🥵. Para penjaga penginapan bilang, dulu bule'-bule' lebih suka yang nggak ada AC, biar lebih natural. Hadoh, apaan natural, panassss🥵🥵🥵!
 |
Suasana penginapan tanpa AC |
Akhirnya kami mencari kamar yang agak jauh dari pantai seharga Rp. 350,000 dengan fasilitas seadanya banget (yang penting ber-AC) di Tanjung Bira. Udah capek juga untuk bernegosiasi. Kalau mau mencari penginapan murah memang lebih baik ke Tanjung Bira. Kalau air laut nggak pasang, kita bisa jalan menyusuri bibir pantai sampai ke Bara. Hari itu karena sudah lelah, setelah mandi sore kami mencari makan di sisi dermaga. Agak bingung mau makan apa karena pilihan makanan di tempat ini tidak sebanyak di Makassar.
 |
Dermaga |
Kami memesan ikan bakar rica, sup ikan, dan kangkung untuk bertiga. Sekaligus es jeruk dengan porsi nasi yang sungguh banyak. Kalian tau, makanannya baru datang sejam kemudian😮. Bayangkan udah lapar, makanan lama datang, sampe kita jadi nonton sinetron di Indosiar yang ada di rumah makan, saking udah nggak tau mau ngapain lagi. Sesaat setelah makanan datang, karena kita lapar berat, semua makanan ini bisa langsung dihabiskan tanpa bersisa hanya dalam waktu 15 menit. Nunggunya sejam, habisnya cuma dalam beberapa menit saja😓. Total harga makanan kita adalah Rp. 115,000.
 |
Makanan yang datang sejam kemudian |
Setelah makan, awalnya mau jalan-jalan dulu melihat kampung sekitar di malam hari. Tapi setelah magrib aja udah sepi banget, hampir nggak ada orang di jalan. Kirain bakalan seperti Bali 'gitu dimana Cafe atau Resto buka di malam hari. Mungkin karena pandemi juga, sudah banyak pertokoan tutup. Ya udah deh, balik ke penginapan aja untuk beristirahat. Agar besok bisa puas main di pantai.
 |
Jangan buang sampah sembarang ya |
Besok paginya, saya langsung berganti baju renang bahkan sebelum sarapan. Niatnya mau mandi di pantai terlebih dahulu bareng Dita. Kita pakai mobil ke Tanjung Bara karena nggak bisa menyusuri garis pantai ke arah barat. Pagi itu air laut sedang pasang, jadi agak serem juga kalau jalan kaki dengan air laut yang tinggi, takut terus bertambah tinggi.
 |
Pertokoan di sisi pantai Tanjung Bara |
Sesampai di Tanjung Bara, saya dan Dita sibuk berfoto di pinggir pantai sampai kami mulai bosan. Ntah kenapa pagi itu pasir di Tanjung Bara kurang putih untuk berfoto. Akhirnya kami mengajak Rezki untuk kembali ke Tanjung Bira sekalian menyewa perahu ke Pulau Liukang Loe yang katanya memiliki pemandangan bawah laut yang mempesona.
 |
Foto Tanjung Bara |
 |
Pose dulu dari belakang |
Kami memarkir mobil di penginapan, lalu sarapan mie instan pakai telur dulu di warung depan. Kalau mau snorkeling harus mengisi perut terlebih dahulu biar ada tenaga karena pasti capek banget. Setelah makan, matahari pun semakin naik, dan terlihat pasir sangat putih memukau. Masya Allah cantiknya😍! Mungkin karena panasnya cahaya matahari mengeringkan pasir sehingga teksturnya halus seperti bedak dan berwarna putih cemerlang. Ditambahkan gradasi hijau tosca dan biru muda menambah keindahan pantai.
 |
Pantai Tanjung Bira |
 |
Indah sekali Masya Allah 😍 |
 |
Menikmati pantai sambil duduk di warung |
Setelah bernegosiasi, kami mendapatkan harga Rp. 100rb/orang untuk menyewa kapal, lengkap dengan life vest dan alat snorkeling. Selagi awak mengambil kapal di dermaga, kami duduk-duduk di Cafe sambil minum air kelapa dengan pemandangan yang Masya Allah indahnya😍. Kalau kata orang, pantai Tanjung Bara lebih indah. Tapi hari itu menurut saya Tanjung Bira jauh lebih indah. Suasana pantai indah seperti ini memang bikin betah berlama-lama nongkrong atau mandi di pantai.
Setengah jam kemudian, kapal kami pun datang. Kami naik dan perjalanan menyusuri lautan pun dimulai. Nanti kan posting saya selanjutnya ya. Stay tuned!