Saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali ke Parapat🤔, Sumatra Utara. Dulu sewaktu masih kecil, Papa pernah mengajak kami sekeluarga berlibur ke kota dengan pemandangan di sisi Danau Toba (danau terbesar di Indonesia) dan pada saat itu saya masih sangat kecil. Bahkan adik yang paling kecil aja belum bisa jalan, berarti mungkin sekitar tahun 1991. Saya bahkan tidak ingat lagi bagaimana suasana kota Parapat. Sewaktu abang saya mengajak ke Parapat, saya langsung mau.
 |
Tol Tebing Tinggi |
Abang bilang kalau sekarang ke Parapat terasa lebih singkat karena kita bisa melewati tol Tebing Tinggi dan membuat jarak ke Pematang Siantar jadi dekat sekali hanya sekitar 2 jam. Setelah itu kami terus melewati jalan berkelok-kelok dengan berlomba dengan abang Batak yang mengendarai mobil sangat kencang tapi hampir tidak pernah kecelakaan😅. Mungkin nyawanya ada 1000 kali ya, hahaha😂. Sepanjang jalan saya tertidur, bangun lagi, tertidur lagi, baru akhirnya sampai di rumah makan. Ntah kenapa saya suka banget segala makanan di Sumatra Utara karena masih kental dengan masakan Melayu. Begitu banyak rumah makan yang menyediakan makanan Melayu.
 |
Sate dan cumi saus padang |
Perjalanan dari Medan ke Parapat termasuk makan siang menghabiskan waktu sekitar 4,5 jam. Kami lalu check in Hotel Niagara, baru nantinya mau nongkrong di tepi danau. Ternyata hotel ini tuh bagus banget pemandangannya, diapit oleh gunung-gunung dan bisa melihat langsung ke arah Danau Toba. Rencana semula mau check in doang dan menaruh koper, eh malah main dan berfoto dulu di area hotel.
 |
Parkiran hotel |
 |
Pemandangan indah Masya Allah |
Kalau kalian punya waktu lebih lama, bisa memulai eksplorasi hotel mulai dari kolam renang. Disitu kalian bisa melihat Danau Toba yang Masya Allah luasnya, bahkan tidak terlihat ujungnya. Saya takjub melihat danau yang seperti lautan karena tidak terlihat batasnya. Biasanya kan kalau kita ke danau, pasti tau sampai mana perbatasannya.
 |
Danau tanpa batas |
Kalian bisa terus berjalan ke area halaman hotel yang dipenuhi bunga. Bahkan ada sebuah gapura yang dikelilingi oleh bunga yang bermekaran indah. Karena kota Parapat adalah dataran tinggi, maka disini bunga-bunga bisa mekar dengan ukuran sangat besar. Jangan lupa bawa lensa potrait untuk berfoto cantik diantara bunga warna-warni.
 |
Diantara bunga warna-warni |
Yang jadi masalah adalah kami sudah membooking hotel 2 malam di Parapat, tapi kakak ipar saya mendadak harus menghadiri acara di Universitas Sumatra Utara (USU) keesokan harinya. Duh, USU bikin acara kok tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya ya. Mana hotel nggak bisa di refund. Sempat sedih juga karena harus menghanguskan uang hotel satu malam, tapi kasihan juga si kakak. Ya udah deh, besok pagi-pagi sekali kita harus balik ke Medan lagi.
 |
Santai di pinggir danau |
Untuk makan malam, abang mengajak ke sebuah hotel yang bersisian persis dengan danau. Kalau tidak salah namanya Inna Parapat. Sayangnya karena bukan menginap di hotel tersebut, kami nggak bisa turun sampai menyentuh air danau. Sebenarnya sebelum pandemi melanda negara kita, orang luar (tidak menginap di hotel) bisa bebas masuk ke area danau. Tapi untuk menaatin protokol kesehatan, sekarang hanya boleh penghuni hotel saja yang dapat turun ke pinggir danau banget. Ya sudah deh, nggak apa-apa. Kita duduk nongkrong bercerita sampai malam di resto hotel yang juga bisa terlihat danaunya seraya menikmati lampu-lampu yang berkelap-kelip.
 |
Teh tarik |
 |
Malam di hotel |
Udara semakin dingin dan kami sudah lelah. Saya dan keluarga memutuskan untuk kembali ke hotel. Saya juga mau menikmati kamar hotel yang hanya bisa satu malam saja. Padahal kamarnya enak dan luas, tapi ya mau bagaimana lagi. Saya suka hotel ini tapi karena lift sedang diperbaiki, agak capek juga kalau harus naik tangga seraya menenteng koper ke lantai 3 (tempat dimana kami menginap). Mungkin sekarang sudah bener liftnya, jadi kalian bisa naik lift aja biar nggak capek.
Baiklah, nanti saya akan bercerita lagi tentang Berastagi. Sampai jumpa!
0 comments:
Posting Komentar