Perjalanan menuju Makassar dari RM. Aroma Laut ditempuh dalam waktu 4 jam 30 menit, tapi tidak terasa karena asik ngobrol di mobil. Saya sudah ketiduran, bangun lagi, tidur lagi, dan akhirnya sampai juga ke Makassar pas magrib. Sebelum pulang ke rumah Dita, kami mengantarkan Rezki ke dokter kulit dulu, kemudian saya dan Dita melanjutkkan perjalanan ke TSM Makassar karena Dita mau belanja baju kembaran dengan saya. Biar bisa berfoto bersama😂. Padahal di Tebing Appalarang, kita sudah memakai baju yang sama, tapi malah nggak jadi berfoto karena sudah disibukkan dengan kegiatan disana😅.
Selesai dari TSM dan menjemput Rezki kembali, kami pulang ke rumah Dita. Si Gilang (suami Dita) sudah membelikan makan malam yaitu Mie Titi dalam porsi besar (nanti akan saya tuliskan selengkapnya di kuliner Makassar). Saya makan dengan lahap karena sudah kelaparan juga sejak di perjalanan dari Bulukumba tadi siang. Selesai makan, kami kemudian beristirahat karena besok mau ke Toraja pagi sekali.
Besoknya, saya, Dita, Gilang, dan Rezki berangkat menuju Tana Toraja. Kalau 2 hari yang lalu kami ke arah timur, sekarang kita ke utara. Saya baru menyadari kalau perjalanan ke Tana Toraja dari Makassar itu jauhhh sekali😮, yaitu menempuh perjalanan 8 jam melalui darat. Saya kira 5-6 jam saja, tapi ternyata jauh juga. Maka dari itu kami memulai perjalanan sejak pukul 7 pagi, agar paling tidak bisa mendapat satu destinasi wisata yaitu kuburan batu Lo'ko Mata.
 |
Jalur yang ditempuh |
Perjalanan dimulai melewati kota Parepare, kampungnya teman kuliah saya dulu. Ini pertama kalinya melihat kota Parepare yang terkenal dengan jembatan kembar berwarna kuning. Kotanya tidak terlalu besar tapi katanya kita bisa mendapatkan sunset terindah di waktu sore.
 |
Foto dari jembatan kuning Parepare |
Kami terus melaju sampai Pinrang. Kata Gilang, ada jalan yang lebih bagus lagi selain melewati Pinrang tapi saya lupa lewat mana. Hanya saja kalau lewat jalan bagus, lebih lama lagi kita sampai. Ini saja sudah tidak berhenti sampai akhirnya kita tiba di Enrekang, salah satu kota tempat tinggal teman Gilang. Kami mampir di sebuah warung nasi untuk sarapan juga, karena tadi pagi cuma ngemil aja jadi masih lapar. Saya kemudian takjub sendiri melihat menu makanan, nasi kuning, telur, daging ayam, sayur dan lainnya ini untuk sarapan😮. Kalau porsi lengkap begini untuk sarapan, bagaimana untuk makan siang😱? Orang sini makannya banyak kali ya?
 |
Sarapan guys |
Saya berusaha makan sedikit demi sedikit semampu saya sambil mendengar Gilang mengobrol dengan temannya. Agak takut juga kalau kebanyakan makan, nanti saya malah muntah seperti perjalanan di Flores dulu🤮. Akhirnya saya menyerah tak kuat lagi. Maunya saya minta nasinya setengah aja, atau bagi dua dengan Dita. Kasihan juga nasinya jadi sisa banyak.
 |
Toraja semakin dekat |
Setelah makan, perjalanan dilanjutkan dan kali ini sangat berkelok-kelok. Haduh, saya mulai mual tapi dengan sekuat tenaga ditahan🤢. Untungnya pas adzan Zuhur sempat berhenti sejenak untuk shalat, sehingga saya bisa menikmati angin segar. Setelah shalat, Gilang kembali melajukan mobilnya sampai akhirnya terlihat tulisan Selamat Datang Kota Makale Toraya Maelo yang berarti sudah dekat dengan kabupaten Tana Toraja. Saya masih bersabar sambil mengurut-urut tengkuk agar tidak muntah. Alhamdulillah akhirnya sampai juga di pintu masuk Tana Toraja dan saya buru-buru turun karena sudah hampir muntah🤢. Untung nggak jadi.
 |
Alhamdulillah sampai |
Tana Toraja adalah suatu kabupaten di Sulawesi Selatan yang termasuk dalam bucketlist saya dari tahun ke tahun, tapi belum tersampaikan. Mungkin karena sulitnya akses dimana kita harus naik kendaraan lagi. Tiket pesawat kesini juga mahal karena tidak adanya rute AirAsia. Sebenarnya ada sih bandara kecil, tapi tidak selalu ada jadwal penerbangan ke bandara tersebut apalagi sejak pandemi. Alhamdulillah akhirnya bisa kesini, melihat rumah-rumah Tongkonan dengan ciri khasnya dan fungsinya untuk menaruh mayat.
 |
Patung di pusat kota |
Kami sejenak mengitari pusat kota untuk menikmati suasana khas Tana Toraja yang dingin dan asri. Rumah Tongkonan sepertinya bukan saja menjadi tempat menyimpan mayat, tapi juga menjadi arsitektur khas untuk kantor pemerintah dan perhotelan. Saya bilang ke Dita kalau nanti kita harus menginap di hotel yang ada arsitektur rumah Tongkonan ya agar lebih terasa kalau kita sedang berada di Toraja. Si Dita sih hayuk-hayuk aja, hihihi....😆
Setelah mengitari pusat kota sejenak, perjalanan kami lanjutkan ke kuburan batu pertama yaitu Lo'Ko Mata. Nanti akan saya posting. Sampai jumpa!
0 comments:
Posting Komentar