Januari 05, 2021

Desa Adat Toraja, Kete Kesu

Sepulang dari Kampung Lolai, kami kembali ke hotel, sarapan, mandi, dan bersiap untuk menuju destinasi selanjutnya yang paling terkenal seantero Toraja, yaitu Desa Adat Kete Kesu. Lokasi desa adat ini sangat dekat dengan hotel, mungkin hanya 10 menit dengan mengendarai mobil. Karena masih pagi, kami bisa mendapatkan parkiran dengan cepat. Daerah rumah adat yang berbaris rapi berhadap-hadapan juga masih sepi sehingga kita bisa bebas berfoto. Kayaknya kalau datang agak lebih siang sedikit lagi, pasti mulai nggak bisa berfoto deh karena pasti bakalan ramai.

Diantara rumah adat
Foto bareng

Rumah-rumah adat di desa Kete Kesu ini sebagian diperkirakan berumur sekitar 300 tahun dan diletakkan berhadapan dengan lumbung padi kecil. Tidak hanya terdiri dari 6 rumah tongkonan dan 12 lumbung padi, Kete Kesu juga memiliki tanah seremonial yang dihiasi oleh 20 menhir. Kalian juga bisa melihat begitu banyak pedagang souvenir di jalan menuju desa dan di jalan menuju kuburan di tebing. Kalau belum sempat berbelanja kain khas Toraja, silahkan beli disini karena harganya jauh lebih murah daripada di kota Rantepao.

Proses pemotretan
Bersama rancupidtravel

Selesai berfoto di desa adat, saatnya menuju ke kuburan batu. Agak deg-degan sih, tapi balik lagi saya tidak takut perhantuan tapi nggak mau takabbur juga😆. Jangan lupa berdoa la hawla wala quwwata illa billah agar selalu selamat dari segala macam jin yang mengganggu. 

Menuju kuburan
Kiri-kanan bisa belanja oleh-oleh

Suku Toraja memiliki kepercayaan Alu Todolo, yaitu tidak menguburkan mayat di tanah karena dapat mengotorinya sebagai tempat tumbuh makanan. Karena itu mereka menguburkan keluarga yang telah meninggal di gua-gua di tebing bukit batu. Satu gua bisa berisi satu keluarga yang terdiri beberapa mayat. Di dalamnya juga dikuburkan baju, tempat makanan, minum, dan barang-barang si mayat selama hidupnya.

Tanduk kerbau
Cerita sejarah sedikit, biasanya di Kete Kesu digelar acara kematian Rambu Solo. Masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya. Yang unik, tanduk kerbau digantung di bagian muka rumah menjadi hiasan melainkan sebagai penanda berapa banyak kerbau yang disumbang oleh saudara-saudara saat keluarga pemilik rumah menggelar pesta kematian Rambu Solo
Sebelum naik ke kuburan tebing

Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan. Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau tongkonan. Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Ada yang bilang juga pada bulan Desember karena sebentar lagi waktunya Natal, sehingga saya memutuskan untuk datang di bulan ini. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara. Sayangnya karena pandemi COVID19, acara Rambu Solo tidak bisa digelar waktu itu untuk menghindari kerumunan warga. Yahhh sedih deh🥲!

Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana. Maka dari itu kita dapat melihat banyak peti jenazah di tebing-tebing yang tinggi. Bagi kalangan bangsawan yang meninggal, maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau belang (berwarna pink) yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.

Kuburan keramat di tebing-tebing
Ada kuburan baru juga yang diatas

Dalam meletakkan jenazah di tebing-tebing ini, ada tiga cara dan proses penempatannya. Yang pertama adalah dengan menempatkan jenazah-jenazah di dalam peti, kemudian simpan di dalam goa. Selanjutnya dibuatlah patung-patung kayu yang dikenal dengan istilah "Tau-tau" sebagai manifestasi dari mereka yang sudah meninggal.

Tau-tau

Yang kedua, jenazah ditempatkan dalam rumah kecil dari batu yang diukir. Biasanya makam model ini hanya dimiliki oleh keluarga kaya raya karena pembuatan makan batu seperti itu membutuhkan biaya yang besar.

Makam batu

Yang ketiga adalah model menggantung. Tulang-belulang jenazah diletakkan dalam peti kayu, kemudian diletakkan di bibir tebing dengan penyangga dibawahnya atau ditaruh di tanah begitu saja. Kami jadi harus menaiki tangga tebing dengan jarak anak tangga yang jauh untuk masuk ke dalam kuburan goa. Di pintu masuk sendiri sudah ada jenazah yang baru diletakkan beberapa bulan. Yang jadi masalah kenapa di pintu masuk banget 'gitu jenazahnya, kan serem😫😫😫. Baru melihat saja saya sudah panik dan kaget duluan. Balik lagi jenazah seharusnya sudah nggak bisa ngapa-ngapain, jadi kenapa harus takut.

Jenazah di pintu Goa

Kami membayar guide untuk menemani masuk ke dalam Goa dan menyewa lampu LED. Kalau tidak salah, saya membayar Rp. 50,000 untuk jasa guide dan 2 lampu LED. Saya berdoa agar selamat di dalam Goa, lalu masuk dengan mengucapkan bismillah. Kalau kalian memiliki Claustrophobia (ketakutan yang berlebihan terhadap ruang sempit atau tertutup) atau Nyctophobia (kondisi ketakutan ekstrem pada kegelapan atau malam hari) mendingan nggak usah masuk deh. Selain karena kalian bisa sesak napas, kombinasi gelap dan sempit bisa membuat kalian sangat tidak nyaman.
Mari menjelajah Goa
Di dalam goa kebanyakan ada tulang-belulang manusia dan peti mati. Ada peti mati yang berisi rangka serta barang-barang kesayangan jenazah ketika masih hidup seperti boneka, baju, dan lainnya. Semakin masuk ke dalam, semakin gelap, dan saya merasa ada bayangan hitam mengikuti. Kata temen saya, jangan baca ayat kursi karena di dalam itu sarang jin. Nanti goanya bisa runtuh😨. Serem juga sih, jadi saya hanya berdzikir saja agar tidak ada jin yang mengganggu.
Peti jenazah dengan berbagai macam barang di dalamnya
Semakin masuk ke dalam, semakin gelap. Mas Guide mengajak kita turun ke kuburan dimana tempat berbarisnya peti mati jaman dulu. Saya sudah merasa tidak nyaman karena ada asma dan kadar udara semakin sedikit. Jadi saya menunggu saja di bibir lorong tempat dimana ada peti-peti mati. Saya menyuruh Mas Guide merekam saja di dalam. Katanya dia nggak bisa juga masuk ke dalam tempat peti bersusun karena becek sekali. Maklumlah, semalam baru hujan.

Setelah Mas Guide kembali, kami memutuskan untuk keluar Goa. Saya melihat banyak sekali botol aqua atau soft drink dan saya mengira ini adalah sampah yang dibuang pengunjung. Ternyata minuman-minuman tersebut adalah sesajen yang akan diganti ketika keluarga mereka berziarah nanti. Ada juga orang-orang yang melakukan vandalisme dengan mencoret-coret kepala kerangka manusia. Katanya setelah dicoret, orang tersebut langsung kerasukan. Lagian, ngapain sih sampai harus corat-coret segala.
Kepala rangka manusia yg dicoret

Belakangan ini sebagian besar dari masyarakat Toraja sudah mulai tidak menguburkan sanak keluarganya di tebing bukit kapur. Lantaran dalam satu keluarga di masyarakat Toraja tersebut multiagama, termasuk Muslim dimana jenazah seorang muslim harus dikuburkan tanpa melanggar hukum agama. Sebenarnya menurut mereka, sistem penguburan di tebing khas masyarakat Toraja adalah untuk menjaga hubungan kekeluargaan. Meski mereka terpisah secara agama tetapi hubungan emosional harus dijaga.

Oh iya, katanya di dalam salah satu Tongkonan terdapat museum yang berisi koleksi benda adat kuno Toraja, mulai dari ukiran, senjata tajam, keramik, patung, kain dari Cina, dan bendera Merah Putih yang konon disebutkan merupakan bendera pertama yang dikibarkan di Toraja. Selain itu, di dalam museum ini juga terdapat pusat pelatihan pembuatan kerajinan dari bambu. Sayangnya karena keterbatasan waktu, kami tidak mengunjunginya.

Cukup seru pengalaman saya di Kete Kesu karena sekalian untuk uji nyali, hahaha😂. Walaupun demikian, desa adat ini menyimpan sangat banyak sejarah yang bisa ketahui bahwa Indonesia sangat kaya akan tradisi. Baiklah, cerita akan saya lanjutkan lagi nanti. Sampai jumpa!

0 comments:

Follow me

My Trip