Bangun pagi di hotel Pangeran Beach, saya baca grup kalau teman-teman sudah pada makan sahur, sedangkan saya belum berpuasa. Saya lalu ke Resto hotel untuk sarapan dan memang sepi sekali. Cuma ada 2-3 orang termasuk saya disana. Makanan juga tidak banyak lagi, mungkin sengaja tidak di refill karena memang mayoritas tamu hotel semua pada makan sahur.
Rempah-rempah di depan Resto hotel |
Ci Ling sempat mengajak saya untuk makan di pasar bersama Shinta, tapi saya menolak karena belum mandi dan pagi itu kita harus bersiap-siap menuju Bukittinggi. Ci Ling sih sudah mandi, jadi enak. Setelah saya mandi dan bersiap, kami turun ke lobi hotel sambil membawa koper masing-masing. Setelah semua tim komplit, kami pamit pada Ghulam, Deki, dan Shinta untuk melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi.
1. Kripik Balado Christine Hakim
Oh iya, kami mampir dulu di tempat beli oleh-oleh Christine Hakim karena mau beli keripik sinjay. Teringat nanti saya akan pulang ke Aceh sehingga harus beli banyak keripik untuk dibagikan ke saudara-saudara di kampung. Saya ambil keranjang, memasukkan keripik yang menurut saya menarik, dan tidak terasa ternyata saya belanjanya banyak juga😀. Untung tersedia jasa packing kardus, jadi nggak usah dibuka-buka lagi sampai pulang nanti ke Jakarta.
Keripik |
2. Air Terjun Lembah Anai
Perjalanan ke Bukittinggi pun dilanjutkan. Sewaktu mobil hi-ace kami berjalan, saya pun tidur. Jujur aja saya masih ngantuk setengah mati karena semalem tidur terlalu larut. Mungkin ada sekitar sejam lebih kita semua tertidur di mobil karena teman-teman juga pasti masih mengantuk. Saya terbangun ketika sudah sampai ke Air Terjun Lembah Anai, yaitu curug paling terkenal di Sumatra Barat karena lokasinya tepat di pinggir jalan menuju ke Bukittinggi, di kaki gunung Singgalang. Mobil lalu diparkir dan kita turun. Saya masih sempoyongan sewaktu keluar dari mobil karena saya tidur dengan sangat nyenyak.
Air terjun Lembah Anai |
Air Terjun Lembah Anai merupakan bagian dari aliran Sungai Batang Lurah, anak Sungai Batang Anai yang berhulu di Gunung Singgalang di ketinggian 400 Mdpl. Air terjun ini terletak di batas barat kawasan Cagar Alam Lembah Anai sehingga suasana masih alami dengan hutan lebat serta pepohonan rimbun. Disekitar air terjun pun terdapat monyet yang berkeliaran, dan saya jadi nggak mau memakai kacamata. Takut nanti malah diambil. Saya juga takut banget sama monyet gara-gara dulu di Monkey Forest Bali, banyak banget monyet yang tiba-tiba mendekat ke arah saya. Hiiiii, masih seram membayangkannya😰.
Demi Rancupid Travel |
Air terjun ini tampak segar banget deh, apalagi di bulan puasa (walaupun saya nggak puasa). Debit airnya lumayan deras dan hari itu tempat ini sangat sepi pengunjung. Jadi kita bisa berfoto dengan lebih leluasa. Sudah minta tolong bapak supir untuk mengambil foto kita, tapi selalu kurang pas. Sampai akhirnya saya agak ngomel supaya foto kita diambilkan dengan benar. Saya juga tidak mengeluarkan kamera disini, jadi hanya berfoto menggunakan hp. Setelah puas berfoto, kita kembali ke mobil.
Karena sudah tidur agak lama, jadinya udah pada nggak ngantuk. Akhirnya teman-teman menyalakan musik di mobil yang kebetulan ada fasilitas karaoke juga. Mulailah mereka bernyanyi secara bergantian dengan heboh. Suara musik sangat keras dan mereka pada bernyanyi secara bergantian. Saya hanya merekam momennya saja, tanpa ikut bernyanyi. Males juga, karena saya nggak pernah terlalu heboh seperti itu di bulan Ramadhan. Saya lagi bad mood juga, apalagi barusan melihat instagram story yang membuat mood saya hilang seketika. Saya berusaha seru-seruan bareng teman-teman tapi tetap aja nggak bisa maksimal. Setelah mereka capek bernyanyi, lalu mengobrol. Saya tetap nggak ikut nimbrung.
3. Minangkabau Culture Documentation and Information Center
Hari sudah siang dan supir ingin shalat Jumat. Kami mampir di salah satu museum yang berbentuk rumah gadang yang sangat indah dan megah bernama Museum Minangkabau Culture Documentation and Information Center. Sebenarnya kami tidak wajib shalat Jumat karena masih tergolong musafir, tapi supir bersikeras mau shalat, jadi teman-teman cowok pada ikut. Saya, Baitil, Ci Ling, dan Mbak Asri menunggu di museum. Daripada bingung mau ngapain, saya mengeluarkan drone dan ini adalah pertama kalinya saya bermain drone milik sendiri😆.
Berfoto dari drone |
Hujan mulai turun rintik-rintik, saya jadi takut main drone. Tapi kalau nggak dimainin, nanti nggak bisa-bisa. Saya terus berusaha memainkan remote control, sambil takut-takut, akhirnya terbang juga dronenya😂. Saya lalu memberikan remote control pada Baitil dan saya minta dia untuk merekam saya. Kita masih kaku banget mainnya dan nggak terasa udah sejam karena cowok-cowok udah pada pulang shalat. Saya kemudian mengeluarkan kamera untuk berfoto dengan berlatarkan museum ini, tapi percikan hujan lumayan mengganggu lensa.
Lensa terpercik air hujan |
Kami lalu masuk ke dalam museum untuk melihat-lihat ada apa isinya. Hal utama yang melatarbelakangi pendirian museum ini salah satunya adalah adanya asumsi bahwa masyarakat Minangkabau tidak memiliki bukti-bukti sejarah tertulis yang baik, karena orang Minang terbiasa dengan budaya tutur yang diturunkan turun temurun. Pada kenyataannya memang dokumentasi tentang Minangkabau lebih banyak ditemui di luar Minangkabau, misalnya di Museum Nasional Indonesia, Jakarta atau Museum Leiden, Belanda.
Untuk melestarikan dan mendekatkan dokumen tentang kebudayaan Minangkabau dengan orang Minangkabau itu sendiri, maka bapak Bustanil Arifin, Mantan Menteri Koperasi Republik Indonesia pada masa Orde Baru, berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga non-profit berupa wadah untuk menghimpun berbagai dokumen dan informasi tentang kebudayaan Minangkabau. Kemudian pada 8 Januari 1988 didirikanlah Yayasan Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (YDIKM) yang yang kemudian di pamerkan di museum ini.
Setelah berkeliling museum yang tidak terlalu luas, kami kemudian berfoto diantara jendela-jendela. Mbak Asri sebenarnya ingin sekali berfoto menggunakan pakaian adat, tapi kita semua nggak ada yang mood (terutama saya) untuk melakukannya. Mungkin karena masih ngantuk dan capek di perjalanan, jadi rasanya malesss deh🥱. Akhirnya sebelum hujan turun lebih deras, kami pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
4. Danau Singkarak
Sudah siang, saya kembali mengantuk dan tidur lagi. Mulai terasa lapar dan cuma bisa minum doang. Awalnya saya membawa martabak semalem, tapi ternyata sudah basi. Ya udah deh, cuma bisa puasa makan saja tapi tetap minum. Saya salut dengan teman-teman yang tidak tidur karena kerja seperti Doni. Dia benar-benar membawa laptop kemana pun dan nggak mual di perjalanan walaupun harus menatap layar.
Destinasi wisata berikutnya adalah Danau Singkarak, sebuah danau yang membentang di dua kabupaten yang terdapat di provinsi Sumatra Barat, Indonesia, yaitu kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar. Danau ini memiliki luas 107,8 km² dan merupakan danau terluas kedua di pulau Sumatra setelah danau toba di Sumatra Utara. Danau ini merupakan hulu dari sungai atau Batang Ombilin, namun sebagian air danau ini dialirkan melalui terowongan menembus Bukit Barisan ke Batang Anai untuk menggerakkan generator PLTA Singkarak di dekat Lubuk Alung, kabupaten Padang Pariaman.
Danau Singkarak |
Kami turun dari mobil untuk menepi ke danau. Saya tidak lupa membawa kamera untuk mengambil beberapa foto. Danau ini tenang dan indah, tapi jadi bikin kita mengantuk. Angin sepoi-sepoi, langit yang mendung, haduuuh bikin ngantuk lagi🥱. Tidak sampai setengah jam kami disini karena memang cuma bisa berfoto-foto doang. Mana sepi banget. Setelah itu kita kembali ke mobil.
Angin cepoi-cepoi |
5. Desa Terindah di Dunia Nagari Tuo Pariangan
Saya agak bingung sewaktu bapak supir bilang kalau kita akan diajak ke salah satu desa terindah di dunia bernama Desa Nagari Pariangan. Desa ini terletak di Lereng Gunung Marapi, tepatnya di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Lokasinya sekitar 95 kilometer dari utara Kota Padang, dan 35 kilometer dari Kota Bukittinggi. Nagari Pariangan juga berada di antara Kota Batusangkar dan Padang Panjang. Dari desa ini pulalah, lahir sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau yang disebut dengan nagari. Saya baru tau kalau nagari ini adalah sistem pemerintahan😅.
Parkir di depan mesjid |
Kami kemudian parkir di sebuah mesjid pas di waktu shalat Ashar. Suara shalat dan mengaji terdengar sangat kencang. Menurut saya, dari segi bangunan rumah-rumah terlihat masih terjaga bentuk dasarnya dari jaman dahulu. Apalagi desa ini berada di ketinggian sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut membuat udara di Nagari Pariangan begitu sejuk. Desanya juga bersih, warganya ramah, terlihat banyak anak-anak dan ibu-ibu yang menyapa kami. Tidak heran kalau media pariwisata dari New York, Amerika, Travel Budget (www.budgettravel.com) pada 2012 menjadikan Nagari Pariangan sebagai desa terindah di dunia bersama desa lainnya, seperti Niagara on The Lake di Kanada, Cresky Krumlov di Republik Ceko, Wengen di Swiss, Shirakawa-go di Jepang, dan Eze di Prancis.
Saya mengajak Baitil untuk berkeliling desa sejenak. Karena banyak dataran yang menaik dan menurun, kami jadi cepat lelah untuk berjalanan menanjak. Mungkin karena lapar juga, tenaga jadi berkurang. Di tambah lagi, sudah banyak ibu-ibu yang berjualan makanan untuk berbuka puasa. Duh, saya jadi tambah lapar. Sebenarnya saya bisa aja sih membeli makanan sekarang dan menyantapnya di dalam mobil, tapi nanti malah kurang nikmat ketika berbuka puasa. Akhirnya saya tahan saja, walaupun wanginya semerbak sekali.
Anak desa |
Waktu sudah semakin sore dan kami harus check in penginapan dulu sebelum pergi ke Rumah Makan Itiak Lado Mudo yang terkenal itu untuk berbuka puasa. Akhirnya kami menyudahi perjalanan hari itu dan kembali ke mobil. Kalau dipikir-pikir, banyak juga ya tempat yang sudah kita kunjungi di hari itu. Memang puasa bukan jadi penghalang untuk menjadi musafir dan bertafakkur.
Baiklah, nanti saya akan posting tentang buka puasa di Bukittinggi. Sampai jumpa!
0 comments:
Posting Komentar