September 23, 2022

Contemplating

Dalam dua bulan ini, dengan berbagai macam masalah yang datang silih berganti, saya jadi banyak merenung. Saya merasa tumpukan masalah paling banyak dimulai dari bulan Agustus. Mungkin ini bagian dari akibat saya tidak berusaha menyelesaikan satu-persatu masalah, malah mencoba cuek, dan hasilnya semua masalah itu minta diselesaikan secara berbarengan.

Apa yang terjadi kemudian? Saya jadi sakit. Saya rasa kombinasi flu, alergi, sesak napas, demam, kambuh semua, bahkan lebih parah rasanya dari kena COVID🤒. Malah reaksinya kena ke kulit, jadi banyak sekali jerawat dan ruam di badan. Rasanya tubuh lemah sekali. Jangankan mau jalan-jalan, keluar kamar aja berat sekali. Pusing dan ngilu tulang tak tertahankan. Ditambah kehilangan selera makan.

Mungkin ini dampak dari dosa-dosa saya selama ini. Jadi harus bersabar dan terus berikhtiar untuk sembuh. Saya minum obat banyak banget, ditambah obat oles dan wajib mandi dua kali sehari. Duh, udah flu berat, mandi harus dua kali sehari lagi. Lelah sekali rasanya. Tapi apa pun saran dokter, saya ikutin, sampai badan jadi tambah kurus karena sakit, saya terima saja. Nanti tinggal makan sehat kembali untuk proses pemulihan.

Mungkin sekitar satu minggu waktu yang saya butuhkan untuk agak pulih. Setelah itu sisa-sisa batuk berlangsung selama dua minggu. Saya kemudian melanjutkan minum antibiotik kulit dalam kurun waktu dua minggu. Mana harga antibiotiknya sebiji Rp. 32rb dan saya harus minum sebanyak 28 biji. Ditambah dengan antibiotik untuk flu, batuk, dan sesak napas, total saya sudah meminum 35 biji antibiotik. Subhanallah. Saya tetap pasrah saja, sekalian makan dan minum yang bergizi, perbanyak sayur dan buah untuk memperbaiki tekstur kulit yang rusak karena penyakit. Belum lagi stamina badan belum sembuh benar.

Mungkin ini salah satu dampak dari stres, dan obat terbaik adalah mendekatkan diri pada Allah subhanahu wata'ala. Saya kembali membaca buku-buku agama yang sudah saya beli dari ntah kapan, tapi hanya terpampang saja diatas lemari. Saya baca satu demi satu dan mulai membuka wawasan dan pikiran saya tentang tawakkal kepada Allahﷻ. Termasuk buku-buku yang membuat pola hidup saya berubah. Saya harus tidur cepat dan bangun sebelum Shubuh untuk menyempatkan diri shalat tahajjud. Setelah itu tidak boleh tidur lagi, sedekah di waktu Shubuh, Dhuha, dan tidur siang. Pola seperti ini justru membuat hidup saya merasa lebih baik. Di kala saya tidak bisa berharap banyak pada manusia tentang rezeki (sebenarnya memang wajib berharap hanya kepada Allah), justru Allah selalu mencukupkan rezeki. 
Merenung
Setelah pikiran lebih jernih, saya mulai fokus pada bisnis baru. Saya belajar mati-matian, siang dan malam, menelepon banyak orang, mengumpulkan banyak bahan, berdiskusi, menonton video para pakar, dan membuat catatan. Hal yang paling saya rasakan adalah bahwa dulu saya termasuk orang yang sombong. Baru diberikan sedikit lebih banyak rezeki dari orang lain, udah belagu. Padahal, harta itu akan di hisab di akhirat kelak. 

Saya baru sadar, selama ini setiap saya menjadi pengajar, saya paling malas menjawab pertanyaan-pertanyaan sepele apalagi yang berulang-ulang ditanyakan padahal sudah saya jawab. Kenapa tadi enggak disimak? Ngapain sih nanya itu lagi itu lagi? Huft, I am a bad person. Ketika sekarang saya berbisnis di lingkungan baru, ntah berapa kali saya bertanya pertanyaan bodoh dan berulang, tapi semua orang mau menjawab dengan baik. Mungkin ini beda kasta kita dalam berilmu, bahwa semakin pintar seseorang, dia akan semakin tawadhu' (rendah hati). Kenapa saya sombong sekali selama ini? Padahal kalau dibandingkan kekayaannya, mereka jauuuh lebih kaya. Kalau dibandingkan pintarnya, mereka jauh lebih berilmu. Dan sikap mereka dalam menghadapi saya bisa santai saja, gampang memaafkan dan melupakan masalah, padahal ini bisnis, mereka bisa saja dirugikan karena saya, tapi mereka tetap baik sekali🥹.

Walaupun demikian, saya tetap bersyukur karena Allah telah memberi saya petunjuk kalau selama ini saya juga salah. Mungkin ada orang-orang yang memperlakukan saya kurang baik karena akibat dosa-dosa saya. Setiap nonton kajian di youtube, saya jadi lebih sadar diri kalau segala hal di dunia ini tidak abadi. Serahkan segala macam urusan kepada Allah ﷻ saja. Walaupun beberapa waktu yang lalu saya kehilangan banyak teman (yang saya kira) dekat, tapi Allah tetap mendekatkan dengan teman yang benar-benar baik, para pebisnis yang baik juga, dan mereka selalu mengingatkan saya untuk selalu beribadah kepada Allah ﷻ. Mereka juga mengingatkan saya untuk terus berdoa kepada Allah ﷻ, di semua waktu paling mustajab berdoa. Saya ikuti saja, semoga terus bisa istiqamah, dan hasilnya saya jadi lebih tenang. Penyakit di badan sudah 80% sembuh, penyakit hati pun berangsur-angsur membaik.


 أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوب

Artinya: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS 13:28).

Semoga Allahﷻ terus memberikan petunjuk kepada kita semua. Aamiin🤲. Saya akan mulai menuliskan blog lagi tentang seluruh perjalanan saya selama ini. Insya Allah. Silahkan di cek saja postingan yang lalu karena saya akan menuliskan sesuai tanggal kejadian.

Sampai jumpa!

September 01, 2022

Trust Issue

Sudah bulan September. Beberapa bulan lagi kita bakalan bertemu tahun 2023, Insya Allah. Nggak terasa ya. Seolah baru saja saya lolos Visa US di awal tahun 2022, berpikir tidak akan bisa dalam waktu dekat menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, tapi ternyata bisa, bahkan sampai dua kali, Alhamdulillah.

Tapi ternyata kehidupan saya dari Januari sampai September ini tidak semua sesuai harapan. Mungkin karena selama ini saya masih berharap pada 'manusia', sedangkan kita hanya boleh berharap penuh pada Allah SWT. Dimulai dengan menutup perusahaan sementara, sampai kehilangan beberapa teman dekat😢. Saya akan menceritakannya dalam postingan ini, tapi ada beberapa hal yang saya tulis berupa implisit, ambigu, atau secara samar agar melindungi privasi.

Pertemanan yang rumit...
Saya merasa hubungan dengan dia jadi lebih baik, apalagi setelah kami sama-sama berlibur di Disneyland, The happiest place on earth (tempat paling bahagia di dunia). Bulan Maret yang lalu, saya ke Amrik untuk urusan pekerjaan. Saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan seorang teman yang biasa sering jadi teman trip selama di Indonesia pada masa pandemi 2021. Setelah dia kuliah ke Amerika, kita jarang bertemu. Kebetulan ada kesempatan, kita menyempatkan untuk jalan-jalan walau hanya beberapa hari saja.

Trip terakhir saya dengannya yaitu ke Meksiko di bulan Mei. Saya mengira hubungan kita baik-baik saja sampai ketika dia sama sekali tidak punya waktu untuk bertemu selama saya ke New York City (NYC). Padahal, sebelum saya ke NYC, kita sudah janjian dulu kapan mau main, sehingga saya menyisihkan waktu. Ntah apa yang terjadi padanya, saya juga kurang tau. Tiba-tiba dia sangat lambat dalam membalas Whatsapp saya dan sangat jarang mau mengangkat telepon dari saya. Saya jadi bertanya-tanya alasan kenapa dia begitu, tapi tetap tidak ada jawaban. Sampai akhirnya saya terbang ke Maroko, kami pun tidak bertemu. Saya kira kita adalah teman dekat. Atau paling nggak, dia menyebutkan alasan yang masuk akal kenapa tidak bisa jalan-jalan di NYC karena usaha ke Amrik itu berbeda dengan ke Bandung. Butuh waktu, uang, dan tenaga, yang tidak sedikit. Seandainya dari awal memang tidak bisa jalan-jalan, mungkin saya akan langsung pulang saja ke Indonesia tanpa perlu menyiapkan rencana lainnya. Dan seandainya bilang dari awal, saya tidak akan kecewa seperti ini.

Dia sempat bilang akan main (bersama saya) di Indonesia saja karena dia akan pulang untuk Internship. Tapi tetap, dia tidak meresponse Whatsapp saya walaupun memposting Instagram Story sampai beberapa kali dimana dia bertemu dengan teman-temannya terus-menerus. Kenapa kita harus selalu posting di sosial media yang terkadang saya malas banget buka? Apalagi kalau sedang sakit atau sibuk. Bahkan ada beberapa teman menuliskan pengumuman di Instagram Story dimana kalau kita tidak segera baca, maka akan terlewatkan pengumuman itu. 

Saya jadi bertanya-tanya, kalau level pertemanan ada 10, mungkin saya berada di no. 2 atau 3 dimana sangat sangat tidak penting. Sempat sekali akhirnya kita bertemu, itu pun tidak sampai satu jam karena dia harus bertemu dengan temannya lagi. Belum pun sempat ngobrol banyak, udah minta pulang. Melihat hp yang selalu dia buka, sangat tidak mungkin untuk dia tidak membaca pesan atau melihat ada yang menelepon, kalau memang itu disengaja.
Always amazing
Mungkin saya selama ini salah menilainya. Kita memang kenal hanya 1,5 tahun yang berarti tidak ada apa-apa dibanding yang lain. Padahal menurut saya teman trip bisa lebih dekat secara emosional karena kita pernah melalui hal baik dan buruk selama perjalanan. Saya bisa menjaga pertemanan dengan banyak teman trip, tapi kenapa dengan dia enggak. Ya setiap orang boleh memilih siapa aja sebagai teman, dan mungkin saya bukan pilihannya. Sempat sedih sih, mengingat selama ini kita sering jalan-jalan bersama. Kita juga 'klik' kalau ngobrol. Mungkin usaha saya mengunjunginya ke Amrik tidak ada apa-apanya dibanding dengan teman-temannya yang selalu dia temui selama di Indonesia.

Sekarang dia sudah kembali ke Amrik. Semoga kuliahnya lancar, selalu dalam lindungan Allah subhanahu wata'ala, semoga teman-temannya di Indonesia bisa segera mengunjunginya kesana dan semoga dia bisa menemani mereka tanpa harus hilang begitu saja.

Ada hal lain lagi...
Kita sudah berteman lama, dan saya sudah merasa sangat dekat dengan beberapa orang. Tetapi setelah beberapa tahun bekerja bersama, ternyata kedekatan pertemanan itu bisa dipertanyakan. Saya sebagai terkadang merasa tidak dihargai, mereka merasa bisa seenaknya di perusahaan. Kadang datang, kadang enggak. Kadang mau meeting, kadang enggak. Kalau bukan saya yang mengingatkan untuk datang ke kantor, mereka tidak datang atas inisiatif sendiri, begitu pula dengan weekly meeting dengan zoom. Saya nggak bisa memaksa juga, hanya saja kepercayaan saya semakin lama semakin berkurang. Ada masalah di pemasukan perusahaan juga tidak terlalu mau mereka pikirkan, pencatatan laporan keuangan pun kadang telat.

Saya membaca buku tentang kepemimpinan di masa Rasulullah SAW, beliau hanya menempatkan orang-orang pada posisi tertentu yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Disitu saya merasa salah, sekitar dua tahun kebelakang, saya merasa kalau bekerja hanya dengan orang-orang yang tidak sungguh-sungguh di posisinya. Apakah mereka hanya menghargai saya sebagai teman, sehingga tidak berani untuk resign? Atau memang peraturan perusahaan yang sangat sangat longgar, sehingga semua karyawan ngelunjak. Mana mungkin bisa seperti itu di perusahaan lain. Dan saya sama sekali tidak tegas, tidak membuat KPI, tidak membuat target juga, huft! Yang pusing siapa? Ya saya sendiri pada akhirnya😅.
Memory
Setelah saya menutup sementara perusahaan, fokus pertama saya adalah membereskan perhutangan. Hal ini tidak berjalan terlalu mulus. Tiba-tiba saja semua sumber mata pencarian untuk menebus hutang malah tutup, bertepatan dengan jadwal saya harus ke Amrik. Awalnya saya memang sudah bercerita tentang rencana ke Amrik pada beberapa orang. Saya mengira mereka mendukung kepergian saya ntah itu untuk mencari peluang bisnis baru, atau ilmu baru. Tapi ternyata tidak semanis itu... Apalagi mereka tau kalau bisnis di Amrik nilai besar. Siapa yang tidak tergiur?

Saya sudah berusaha untuk memastikan semua hutang tetap terbayar, tapi tiba-tiba ada masalah itu diluar kuasa saya. Uang yang saya alokasikan untuk ke Amrik tidak mungkin mendadak harus saya alokasikan untuk membayar hutang karena saya pada saat itu sudah (tengah) berada di Amerika. Sejak saat itu, mulailah muncul sifat hasad dari beberapa orang. Mereka tidak akan memperhitungkan usaha saya untuk tetap berusaha mengatasi masalah yang ada, atau paling tidak bisa membantu menyumbang ide. Yang mereka lihat adalah saya jalan-jalan ke Amerika tapi urusan banyak yang belum selesai. Padahal yang berhutang adalah perusahan, dimana dulu berhutang juga untuk kegiatan operasional. Saya rasa hampir semua perusahaan memiliki hutang, baik yang sudah besar sekali pun. Tinggal bagaimana cara mengatasinya saja. Tapi kita memang tidak bisa menahan semua orang untuk berpikiran negatif. Pasti ada saja cara setan mengganggu...

Lalu bagaimana sekarang? Bisnis baru tetap jalan dan insya Allah jauh lebih baik, hutang-hutang perusahaan tetap diusahakan bayar, tapi untuk berteman dengan mereka, jujur saja jadi agak malas. Padahal cara terbaik untuk move on adalah memaafkan. Kita berteman sejak awal untuk membangun kepercayaan dari hal-hal sepele. Berharap pada hal yang lebih besar. Tapi hidup seperti roller coaster yang terkadang diatas, lalu terjun ke bawah sampai hancur lebur. Mungkin selama ini adalah kesalahan saya, terlalu berharap, terlalu percaya. Tapi mungkin saya hanya manusia biasa yang ingin memulai sesuatu dengan hal-hal baik dulu, yaitu mempercayai orang, dan berharap nanti kedepannya bisa lebih baik. Tapi balik lagi, jangan berharap pada manusia.

"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia." - Ali bin Abi Thalib

Follow me

My Trip